Mongabay.co.id

Enung, Sang Pemberdaya dari Kaki Gunung Gede Pangrango

 

 

Wajah sumringah dengan senyum ramah membuat siapa pun yang berada dekat Enung Nuraeni merasa betah mendengarkan setiap ceritanya. Perempuan asal Desa Nyalindung, Kecamatan Cugeneng, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, dikenal sebagai perempuan penggerak di kampung kelahirannya.

Selama hampir 9 tahun, Enung memimpin ibu – ibu di kampungnya untuk mengolah potensi ekonomi yang tercecer di sekitar mereka. Lewat proses panjang, kerja keras mereka memberi contoh. Hidup rukun bersama alam.

“Kami hanya sedikit berupaya mencintai alam dengan cara sederhana,” kata Enung kepada Mongabay-Indonesia, belum lama ini.

Enung memang bukan sarjana ekonomi. Bukan pula ahli di bidang konservasi. Tetapi, upaya ibu yang gemar mengajar ini berhasil menghidupkan keduanya.

Lahir dan besar di kaki Gunung Gede Pangrango yang subur, membuatnya mengenal beberapa jenis tanaman lokal yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Enung berpikir bagaimana caranya membuat kampanye pelestarian lingkungan lewat potensi itu.

Ide Enung mengolah tanaman lokal sebagai bahan pangan secara serius muncul ditengah – tengah masalah di desanya. Sampah, satu dari hal yang jadi perhatian memecut ide itu muncul.

“Karena tinggal di daerah sentra sayur, saya perhatikan tiap hari ada saja sayuran yang terbuang, bahkan menumpuk. Padahal dari kualitas masih layak untuk dikonsumsi,” ujar Enung, “Dari situlah saya punya ide. Pikir saya ini harus dibuat sesuatu yang bermanfaat.”

Ide adalah kunci, katanya. Percaya jika ide punya kaki, seperti gema kata-kata petuah yang ia pernah dengar. Enung menafsirkan kata – kata menjadi sesuatu karya.

baca : Dari Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Air Mengalir Sampai Jauh

 

Kebun sayur di Kecamatan Cugeneng, Cianjur, Jabar. Foto : Ditjen Hortikultura Kementan/Mongabay Indonesia

 

Sebuah kebun sayur di Desa Nyalindung, Kecamatan Cugeneng, Cianjur, Jabar. Foto : Ika Rosmalasari/TNGGP/Mongabay Indonesia

 

Sop Kering

Rajin berselancar di internet dan membaca banyak referensi, Enung berhasil mengkreasikan sisa sayuran basah hasil panen dari wilayah Cugeneng yang tak laku dijual ke super market menjadi sop kering instan. Maklum Kecamatan Cugeneng di lereng timur Gunung Gede Pangrango merupakan wilayah penghasil sayuran seperti wortel, tomat, kubis, dan sebagainya.

Berawal dari sinilah ibu dua anak ini tertarik terhadap isu-isu sosial dan lingkungan. Ia memutuskan untuk ambil bagian. “Sop kering dibuat atas dasar kepedulian sosial saja awalnya. Dibuat untuk menjamin asupan gizi keluarga,” terangnya. Produk sop kering ini memang ditujukan untuk para ibu bekerja yang tidak punya banyak waktu untuk memasak di rumah.

Satu bungkus sop kering instan dihargai Rp12.000. Isinya, sama sepeti kemasan mie instan dalam wadah tetapi bobot gizinya jauh berbeda. Namun, kendalanya hanyalah pemasaran. Enung mesti bersiasat dari mulai mengikuti kontes event, pameran ke pameran demi mendapatkan pesanan. Sekalipun, produknya ini tak memiliki pesaing sama sekali.

“Bahkan produk sop kering ini telah dikenal oleh orang Jepang dan Korea yang pernah datang kesini. Tapi untuk pemasaran sampai kesana, kami merasa tidak percaya diri. Waktu Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) datang ke Sarongge, juga tahu produk kami ini produk,” kata Enung.

baca juga : Menikmati Panorama Alam Gunung Gede

 

Enung sedang menjelaskan proses pembuatan sop kering instan. Foto : Ika Rosmalasari/TNGGP/Mongabay Indonesia

 

Di sela mengerjakan pekerjaan rutin sebagai pendidik di Pendidikan anak usia dini (Paud). Ia bergerilya. Mengajak banyak orang terutama kaum perempuan berkreasi sambil menjaga lingkungan.

Perempuan yang pertama diajak adalah para orang tua murid. “Awalnya gusar saja melihat ibu-ibu yang hanya menunggui anaknya sampai proses belajar usai. Sayang banyak waktu nganggur. Lalu saya ajak mereka untuk bisa produktif,” kata Enung bercerita.

Bujukan berkarya demi menunjang dompet suami, sukses menggaet hati sebanyak 20-an ibu. Mereka luluh dan mau untuk diberdayakan.

Menurut Enung, perempuan memegang peranan penting dalam menumbuhkan kesadaran lingkungan atau bahkan, turut mengkampanyekannya, terutama melalui cara informal dalam kesehariannya. Namun, peran perempuan kurang diakui dan minim perhatian.

Kondisi ini mempelopori berdirinya pondok pelatihan bagi ibu-ibu. Uniknya, pelatihan di rumah-rumah para anggota. Otak Enung lagi-lagi ada dibalik semua ini.

Di pondok inilah ibu-ibu tak hanya diajarkan cara membuat sop kering tetapi juga mulai mengembangkan karya berupa kerajinan berbahan dasar barang bekas. Inilah hal pokok yang membuat Enung kukuh melakoni idenya.

“Setiap ibu mendapat bayaran Rp50.000 tiap hari, meski saya harus nombok dulu karena kesulitan dalam pemasaran. Yang terpenting adalah rasa kepedulian terhadap lingkungan. Harapannya kepedulian itu bisa ditularkan minimal ke anaknya,” terang Enung.

Hingga suatu ketika, kabar kiprah Enung didengar pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Informasinya, karena dinilai membantu mensosialisasikan Cagar Biosfer Cibodas (CBC), perbatasan antara kawasan hutan dengan pemukiman penduduk. Misinya menjaga lingkungan tetap baik dan sekaligus memberdayakan masyarakat pinggir hutan.

baca juga : Surga Tersembunyi Di Kaki Gunung Pangrango

 

Bahan-bahan pembuatan sop kering instan produk Kelompok Indung dari Desa Nyalindung, Cugeneng, Cianjur, Jabar memperlihatkan sop kering instan buatannya.Foto : Ika Rosmalasari/TNGGP/Mongabay Indonesia

 

Kerja Sama

Harapan mulai muncul sejak mereka menandatangani kerja sama dengan TNGP di tahun 2011. Upaya Enung kian terarah. Kelompoknya mendapat pendampingan melalui skema pengelolaan kolaboratif untuk tujuan pembangunan berkelanjutan.

Tahun tersebut seolah jadi tahun penting. Ibu–ibu binaan Enung resmi bersalin rupa menjadi Kelompok Indung berdasarkan Surat Keputusan Kepala Desa Nyalindung. Enung melangkah mantap.

Di tengah peningkatan jumlah penduduk yang memicu ketersediaan pangan, alternatif sangat dibutuhkan. Konsep semacam ini diharapkan menjadikan masyarakat garda terdepan mempertahankan kearifan lokal. Salah satunya melalui pangan lokal.

“Ada 16 jenis pangan lokal yang sudah dikembangkan sekarang,” katanya. Setelah kerja sama ini berjalan, produk olahan Enung dan ibu-ibu di Desa Nyalindung pernah menembus omzet Rp30 juta dalam sebulan.

 

Enung memegang produk sop kering instan buatan Kelompok Indung dari Desa Nyalindung, Cugeneng, Cianjur, Jabar. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Staf Pengendali Ekosistem Hutan TNGGP, Ade Bagja, berharap pengembangan program yang sudah dirintis di Desa Nyalindung dapat dijadikan percontohan model daerah penyangga mandiri berwawasan konservasi berbasis pemberdayaan masyarakat.

Kerja sama ini, katanya, juga membuka peluang pasar yang lebih luas. TNGP menggandeng pihak terkait, seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, juga Dinas Kesehatan Cianjur guna memperkenalkan olahan organik sekaligus mendukung ekonomi kerakyatan.

Ketika pasar yang pasti sudah ada di depan mata, para ibu optimistis bisa menghasilkan lebih banyak produk dengan hasil berkualitas. Kini, Enung terus merenda asa.

Tak ingin sekedar mendulang untung dari konservasi dan ekonomi. Rencananya, TNGP telah bersiap memfasiltasi pengembangan program eduwisata. Tujuannya, penyadartahuan yang lebih luas tentang kawasan biosfer sebagai kawasan penyangga yang vital.

“CBC (untuk kawasan TNGP) ini sudah ditetapkan UNESCO pada tahun 1977. Penting sekali peranan masyarakat di sekitarnya untuk menjaga itu. Maka pesan dari pendampingan ini sesungguhnya adalah kesejahteraan masyarakat dapat menjaga lestarinya alam,” ucap Ade Bagja.

Langkah yang dilakukan Enung tergolong satu dari sekian banyak solusi dalam menyikapi isu perubahan iklim yang kerap menghadirkan nestapa dan menjauhkan dari kesejahteraan. Kendati tantangan berat, hal itu bukan alasan untuk berhenti berkarya.

Agaknya, karena itulah Enung mudah mendapat dukungan. Kali ini Social Corporate Law Society (Socolas), Lembaga non-pemerintah yang bergerak pendampingan hukum ini tergerak. Ketua Socolas, Gita Syahrani mengapresiasi kerja keras Enung dan para ibu jaman now-nya di Desa Nyalindung.

 

Enung bersama perempuan anggota Kelompok Indung dari Desa Nyalindung, Cugeneng, Cianjur, Jabar memperlihatkan sop kering instan buatannya. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Pendampingan dimaksudkan untuk memperkuat nilai-nilai di Kelompok Indung. Harapan besarnya, kiprah kelompok tersebut tak padam sebelum beregenerasi. Dari para ibu ini yang menjadi orang tua, para anak-anaknya tahu soal pemanasan global. Ini akan menstimulus mereka untuk melakukan sesuatu. Andaikan itu dapat terjadi, gerakan mencegah pemanasan global punya harapan baru yang segar.

Di ujung cerita panjangnya sore itu, Enung mengatakan,“Saya ingin terus memberdayakan perempuan. Entah, barangkali jiwa saya ada di sana.”

 

Exit mobile version