Sosok Sarip, 56 tahun, bagi warga di Desa Cihanjawar, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sangatlah berarti. Kehadirannya selalu dinanti dan dirindukan. Dia bukanlah seorang yang memiliki harta yang banyak, tapi dia juga bukanlah seorang yang memiliki jabatan tinggi. Dia hanyalah warga desa yang selalu berbakti untuk masyarakat di sekitarnya.
Sarip menjadi sosok berharga, karena setiap hari selalu menjadi penentu nasib setiap rumah tangga di desa tersebut untuk mendapatkan air. Perannya dalam distribusi air bersih, sangat vital dan bisa mempengaruhi kondisi sosial di sekitar tempat tinggalnya. Karenanya, Sarip selalu dinanti dan dirindukan.
Saat ditemui Mongabay di Kampung Panyusuhan, Desa Cihanjawar, Rabu (23/11/2016), Sarip nampak bersiaga di pusat penyaluran air bersih yang berlokasi di kampung tersebut. Tangannya yang kekar, nampak terlatih menjaga debit air yang mengalir dari sumber air dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP).
Kulit keriput yang membungkus tubuhnya yang sudah menua, tak menghalangi niatnya untuk membantu warga sekitar. Dia dengan sabar dan telaten selalu menyalurkan pasokan air bersih ke setiap rumah di beberapa kampung. Dari kepiawaiannya mengatur pasokan air, warga bisa menikmati air bersih dengan leluasa, dan tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Sembari mengatur pasokan air, Sarip bercerita, perannya saat ini sangatlah vital. Sedikit saja lengah atau salah dalam menyalurkan pasokan air bersih ke rumah-rumah, maka akan ada banyak rumah lain yang merasakan kerugian besar. Itu artinya, akan ada rumah yang tidak mendapatkan air bersih dalam sehari penuh.
“Saya harus ingat dan hafal dengan jatah-jatah untuk setiap rumah. Bisa didemo nanti saya,” ujarnya dihiasi seringai senyum yang tulus.
Dalam sehari, Sarip mengatakan, ada tiga jadwal pembagian air yang harus dilakukan dengan tepat. Ketiga jadwal itu, dimulai dari pukul 06.00 WIB atau saat udara pagi di sekitar kampung terasa sangat dingin. Di jam tersebut, Sarip mulai menyalurkan air untuk 15 kepala keluarga (KK) selama sejam atau hingga pukul 07.00 WIB.
Setelah jatah selama sejam habis, Sarip kemudian mulai menyetop pasokan dan segera mencabut selang paralon dan memindahkannya ke saluran air yang lain. Untuk penyaluran yang kedua, waktunya ditetapkan selama dua jam. Itu terjadi, karena rumah KK yang harus diberi air bersih, jumlahnya mencapai 20 KK.
“Itu sampai jam sembilan pagi. Setelah itu, saya harus menyalurkannya untuk rumah yang lain lagi,” jelas dia.
Untuk jadwal ketiga yang dimulai pukul 09.00 WIB, menurut Sarip, itu dilakukan selama tiga jam atau hingga pukul 12.00 WIB. Waktu selama itu dibutuhkan, karena rumah yang harus dialiri air bersih, jumlahnya mencapai 30 KK.
“Jika jadwal ketiga sudah selesai, maka selang paralon akan dicabut lagi dan dipindahkan ke selang lain yang mengalirkan air bersih ke rumah lainnya. Biasanya, untuk yang terakhir ini adalah rumah-rumah yang berdekatan dengan pos air dan jumlahnya tidak terlalu banyak,” jelas dia.
Selain di Kampung Panyusuhan, masih ada dua titik pos pembagian air bersih lainnya di Desa Cihanjawar. Keduanya ada di Kampung Pasirbuntu dan Kampung Lamping. Untuk Panyusuhan, sumber air diketahui berasal dari mata air Pamancingan. Kemudian, untuk Pasirbuntu dan Lamping diketahui dari mata air Situhiang.
Begitu vitalnya pos pembagian air tersebut, Sarip mengaku sampai pihak kampung membuat manajemen pengaturan lebih detil. Termasuk, pengaturan keuangan untuk menggaji petugas yang menjaga pos air dan juga untuk kas yang berfungsi sebagai dana cadangan.
Semua itu dilakukan, karena Sarip bersama warga menyadari, pasokan air bersih sangat diperlukan dan menjadi urutan pertama untuk kebutuhan sehari-hari. Sebelum ada pos pembagian air, warga terbiasa harus pergi sejauh 1 km ke sumber air terdekat. Di sana, selain melakukan aktivitas mandi, cuci, dan kakus (MCK), warga juga mengambil airnya untuk dibawa ke rumah.
“Makanya, sekarang ini warga berusaha untuk menjaga keberadaan sumber air tersebut,” tutur dia.
West Java Program Manager Conservation International (CI) Indonesia Anton Ario di Kampung Panyusuhan, mengatakan, dibangunnya pos penyaluran air bersih, tak lain karena warga di tiga kampung tersebut berlokasi di punggung gunung yang menyebabkan sumber air tanah sulit didapatkan.
“Sedalam apapun membuat sumur, airnya susah keluar. Kecuali, ya dibuat sumur artesis,” jelas dia.
94 Mata Air di TNGGP
Kepala Balai Besar TNGGP Suyatno Sukandar mengungkapkan, dua mata air yang menjadi sumber utama pasokan air bersih untuk warga di Desa Cihanjawar, merupakan bagian kecil dari mata air yang ada di TNGGP. Kata dia, hingga 2015, sedikitnya terdapat 94 titik mata air yang tersebar di kedua gunung.
Dari 94 mata air yang ada tersebut, Suyatno mengatakan, debit airnya mencapai 594,6 miliar liter per tahun atau setara dengan 191,1 juta liter per detik. Jumlah tersebut, mampu mengaliri air bersih ke rumah-rumah di sekitar TNGPP yang penduduknya diperkirakan berjumlah 30 juta orang.
Potensi yang besar tersebut, menurut Suyatno sudah seharusnya dijaga oleh semua orang yang ada dan tinggal di sekitar TNGGP. Karena, keberadaan mata-mata air tersebut masih sangat tergantung pada kondisi ekosistem di dalam TNGGP.
“Jika ekosistemnya rusak, maka mata air akan menghilang. Karena, daya serap pada air juga tidak akan ada lagi dari hutan-hutan yang ada di dalam kawasan TNGGP ini,” tutur dia.
Menurut Suyatno, saat ini saja masih ada seluas 2.000 ha kawasan yang di dalamnya diperlukan segera restorasi. Upaya restorasi terebut, tidak lain untuk mengembalikan kondisi hutan menjadi tertutup rapat dengan tegakan-tegakan pohon yang berasal dari jenis endemik di dalam TNGGP.
Jika sudah dilakukan restorasi, Suyatno sangat optimis, mata air jumlahnya pasti akan bertambah lagi. Dan tidak itu saja, jika restorasi berhasil dilakukan, maka kekayaan flora dan fauna juga akan semakin terjaga. Itu artinya, masa depan hutan akan tetap lestari hingga jangka waktu yang lama.
“Kami masih perlukan dukungan dan kesadaran banyak pihak untuk mendukung pelestarian kawasan hutan penting ini,” ungkap dia saat berbicara kepada wartawan di Nusantara Organic SRI Center (NSOC) di Nagrak, Kabupaten Sukabumi.
Suyatno menyebut, TNGPP berstatus sebagai World Network of Biosphere Reserves (WNBR) dan itu diberikan langsung dari UNESCO Kawasan tersebut merupakan kawasan yang unik karena di dalamnya ada demonstrasi hubungan yang seimbang antara manusia dan alam. Letaknya juga hanya 80 kilometer saja dari Jakarta.
Kawasan TNGGP, kata Suyatno, adalah kawasan yang menjadi bagian dari daerah aliran sungai yang menyaring dan menyediakan air bersih bagi masyarakat di Bogor, Sukabumi, Cianjur, Depok, Jakarta dan sekitarnya.
Tak hanya itu, TNGGP juga menjadi habitat sejumlah spesies endemik termasuk owa jawa, macan tutul jawa, elang jawa, surili dan kukang jawa. Tak lupa, TNGGP juga ikut berperan menjaga dampak perubahan iklim, mencegah banjir, dan longsor.
Sementara itu Anton Ario mengatakan, program restorasi di sekitar kawasan TNGGP sudah dilakukan sejak 2008 dan tercatat sudah ditanam sebanyak 120.000 pohon pada lahan seluas 300 ha. Dari lahan seluas itu, dia memperkirakan, ada pasokan air bersih yang volumenya mencapai 3,15 juta meter kubik per tahun.
Anton menyebut, upaya restorasi tidak akan pernah cukup untuk melestarikan alam di hutan TNGGP. Lebih dari itu, dia berkeyakinan bahwa pemberian edukasi kepada masyarakat sekitar sangat penting untuk dilakukan. Terutama, kepada generasi muda yang akan menjadi penerus di kampung-kampung sekitar TNGGP.
“Melihat pentingnya edukasi, bersama mitra kami mengembangkan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol pada tahun 1998 untuk memperkenalkan keunikan hutan hujan tropis kepada siswa dan masyarakat melalui program edukasi, ekowisata dan penelitian,” papar dia.
Sementara, Kepala Resor Bodogol Tangguh Tri Pajawan yang ditemui langsung di Resor Bodogol mengatakan, meski keberadaan Resor Bodogol berperan sebagai pusat edukasi untuk warga dan masyarakat luar TNGGP, namun pada kenyataannya hingga saat ini masih ada saja warga yang belum menyadari tentang konsep alam dan hutan lestari.
Kondisi itu, menurut Tangguh, bisa terjadi karena memang sumber daya manusia (SDM) yang ada di Resor Bodogol masih sangat kurang. Dengan luas 2.300 ha, Resor Bodogol saat ini hanya dijaga 4 orang saja. Meskipun pihaknya sudah merangkul warga lokal untuk ikut menjaga, namun luasnya hutan masih menjadi kendala yang belum teratasi hingga kini.
“Dengan keterbatasan itu, penyadartahuan tentang konservasi kepada warga sekitar menjadi kunci untuk pelestarian di sini. Harapannya, warga di sekitar tidak perlu lagi masuk ke dalam hutan dan mengambil sumber daya di dalamnya,” ujar dia.
Untuk diketahui, TNGGP ditetapkan sebagai Taman Nasional pada 1980 atau 36 tahun lalu. Saat ini, dengan luas 24.278,85 hektar, kawasan Taman Nasional ini merupakan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan.
Selain potensi flora dan fauna, potensi hidrologinya sangat tinggi karena merupakan hulu dari 4 DAS besar (Ciliwung, Cisadane, Citarum, Cimandiri) dengan 60 sungainya, sebagai pembangkit 4 PLTA (Saguling, Cirata, Jatiluhur dan Cimandiri). Serta potensi bentang alam berupa keindahan ekosistem hutan hujan tropis Indonesia.