Mongabay.co.id

Pekak Taro, Tak Lelah Mendongeng Alam dan Manusianya

 

Tiga generasi pendongeng duduk di depan puluhan anak-anak. Generasi pertama adalah pekak (kakek) Taro, anaknya I Made Tarmada, dan cucu laki-lakinya.

Pekak Made Taro adalah legenda hidup pendongeng alam dan manusianya dari Bali. Sampai kini, ia tak pernah lelah bercerita, memainkan alat musik tradisional, bernyanyi, dan bermain membumikan hikayat semesta pada siapa saja.

Nama lahirnya adalah Ketut Nesa, kemudian diubah orangtuanya jadi Made Taro, kelahiran 1939. Meski kini berusia 80 tahun, dia masih bersemangat memandu gending rare (lagu tradisional anak) berbahasa Bali tentang satwa, pohon, dan hubungan manusia dengan lingkungan. Di Sanggar Kukuruyuk, anak-anak masih bisa menikmati dongeng sambil bermain ini.

Pelestari tradisi lisan ini jadi oase bagi sedikitnya 70 anak-anak yang mengikuti sesi dongeng di Festival Tepi Sawah di Omah Apik, Pejeng, Gianyar, pada Minggu (7/7/2019). Tak hanya anak-anak, juga orang dewasa termasuk warga asing. Di bawah pohon beringin besar, dongeng dan bermain bersama ini terasa istimewa. Hal yang makin langka saat ini.

baca : Film Negeri Dongeng, Cerita Ironi Negeri yang Kaya Warisan Alam

 

Pendongeng dari Bali, Made Taro, 80 tahun, salah satu legenda hidup tradisi lisan di Indonesia. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pekak Taro mudah beradaptasi, ia mengisahkan dongengnya dalam bahasa Bali, Indonesia, dan Inggris. Ia berkisah tentang pohon apel. Sebatang pohon kuat yang mengorbankan diri untuk manusia dengan memberikan kayu, buah, dan daun. Made Taro mengajak anak-anak merefleksikan pengorbanan pohon itu dengan kehidupan sehari-hari. Ceritanya tak terasa sampai lebih setengah jam karena dikombinasikan suara cungklik, alat musik tradisional dari bilah-bilah bambu yang dimainkan anak laki-lakinya, Tarmada.

Dongeng berlanjut sambil bermain, tentang seorang nenek yang kehilangan telur ayam karena diusili anak-anak. “Dadong dauh ngelah siap putih, sube metaluh reko, minab ade limolas taluhne, nanging lacur ade nak nepukin, anak cerik-cerik bes keliwat usil ipun…” Artinya, seorang nenek punya ayam putih yang bertelur 15. Sekelompok anak-anak melihat dan mengambilnya.

Anak-anak menyimak dongeng ini sambil bermain, menyembunyikan dan menghitung telur ayam. Mereka mengenali binatang, perilakunya, tidak bersikap jahat pada binatang, dan peternak.

Dongeng berlanjut tentang Burung Camar yang kini terancam karena sampah plastik di laut makin banyak. Sejumlah kata kunci disisipkan dalam cerita seperti “kurangi, gunakan kembali, daur ulang”. Usai mendongeng, cerita Burung Camar dibumikan dengan workshop mengolah sampah plastik jadi benda bermanfaat oleh Arum, fasilitator lainnya.

Wajah Pekak Made Taro terlihat lelah setelah lebih dua jam berinteraksi dengan anak-anak. Namun senyumnya tak pudar. Ia mengajak istri dan cucunya beristirahat.

baca juga : Keliling Sumatera, Samsudin Cerita Penyelamatan Satwa kepada Anak-anak

 

Hingga kini, Made Taro dan anaknya aktif mendatangi anak-anak untuk mendongeng dan bermain bersama. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Sejak 1979

Made Taro menjalankan aktivitas dongeng dan bermainnya ini lewat Sanggar dan Teater Kukuruyuk didirikan pada 1979, sebagai ruang interaksi dan melanjutkan generasi muda pada tradisi lisan. “Mula-mula sanggar berdiri diremehkan, menampilkan budaya yang yang sudah tak diperhatikan, tentang alam,” jelasnya.

Ia gemar menulis puisi dan cerpen sejak Sekolah Guru Atas, kemudian menggeluti cerita rakyat. Ia makin menekuni sastra dan sejarah ketika kuliah di jurusan Arkeologi Universitas Udayana. Mulai 1993 ia produktif menulis aneka cerita rakyat, menerbitkan, bahkan menjualnya langsung. Sebuah film dokumenter karya Agung Yudha pada 2018 berjudul Pekak Kukuruyuk memperlihatkan bagaimana tekunnya Made Taro menulis dan mendistribusikan bukunya ke toko-toko buku, di sela-sela aktivitas mendongeng dan merawat istrinya yang terkena diabetes.

Dari puluhan judul buku cerita yang ditulisnya, ada yang sudah menjadi referensi game dan kartun, diantaranya Goak Maling Taluh, Goak Maling Pitik, Dongeng Karmaphala. “Dari buku tidak seberapa, tapi ini jadi obat (untuk istri) termasuk untuk saya agar terus berkarya,” jelasnya dalam film itu. Made Taro kerap ditemani istrinya ke acara-acara mendongeng, bahkan ikut memainkan alat musik dengan kondisi fisik terbatas.

Karya-karyanya yang lain adalah Bawang dan Kesuna (Balai Pustaka, 1997), Traditional Balinese Game (Taksu Foundation, 2000), Randu dan Sahabatnya (Kanisius, 2002), Balingkang (Grasindo, 2004), Bebek Punyah (Balai Bahasa, 2004), dan lain-lain. Sejumlah penghargaan atas ketekunanya di antaranya Rare Award dari komunitas Penggak Men Mersi, penghargaan Adi Karya dari IKAPI tahun 1998, dan Anugerah Sastra Rancage 2005.

menarik dibaca : Nixon Watem, Penyebar Virus Konservasi pada Anak-anak Kofiau

 

Made Taro (kanan) dan anaknya, Gede Tarmada sedang mendongeng di sebuah acara di Thailand, Februari 2017. Foto : balisaja.com/Mongabay Indonesia

 

Digitalisasi Dongeng

Made Taro mengatakan dari sejumlah penelitian minat baca orang Indonesia rendah, ini sangat menyedihkan. “Konon di Asia Tenggara paling rendah. Sastra lisan adalah bahasa komunikatif. Dongeng asalnya lisan,” urainya. Jika dongeng dijadikan tertulis ada kiatnya. Bagaimana agar satu kalimat menarik. Dongeng dari kisah-kisah masa lampau, tapi sangat bermanfaat untuk masa kini.

Ia bersyukur masih banyak mahasiswa jurusan teknologi dan informasi merespon karyanya sehingga bisa dinikmati dalam sejumlah bentuk (multi platform). Para mahasiswa berusaha mengangkat dongeng, gending rare, permainan tradisi ini dan dikemas ulang misalnya karya berjudul Men Sugih Men Tiwas, Cupak Grantang, lagu Putri Cening Ayu, dan plalianan (permainan tradisional) dalam bentuk video.

“Saya bangga sekali kalau dongeng disosialisasikan sesuai zamannya. Kita kagumi budaya sendiri dulu karena dongeng kita ketinggalan. Padahal sangat berbobot dalam pendidikan nation building, karakter,” paparnya.

Karena kurang dinarasikan dan dibumikan, ia tak heran banyak konsep dan filosofi lokal pelestarian lingkungan yang tak tersampaikan, hanya jargon. Taro menyontohkan Tri Hita Karana dan Karmaphala.

Keduanya adalah konsep menjaga keseimbangan alam makro dan mikro kosmos. Bagaimana hubungan manusia dengan alam, antar manusia, dan Tuhan. Sementara Karmaphala adalah konsepsi hubungan timbal balik, sebab akibat jika melakukan sesuatu. Misalnya jika menyakiti pohon, satwa, makan akan mendapat karma buruk. Saat ini, nanti, atau di kelahiran kembali.

baca juga : Akhir Misi 1.500 Kilometer Gowes Samsudin untuk Satwa Sumatera

 

Legenda pendongeng dari Bali, Made Taro. Foto : basabali.org/Mongabay Indonesia

Arie, seorang bapak menceritakan bagaimana anaknya menikmati dongeng yang diceritakan Made Taro. Dari anak yang hanya menyukai Batman dan Ironman kini minta didongengkan cerita-cerita rakyat. “Saya ingin mendokumentasikan suara pak Taro. Dari komik saya geser ke dongeng karena ada kejujuran yang dirasakan dari suara pak Taro,” katanya.

Upaya digitalisasi karya Made Taro lewat beragam bentuk terus dilakukan, agar tak tergantung pada buku cetak. Misalnya aplikasi Library Tantraz dan lainnya.

Mewariskan dongeng sebagai penggugah empati terus dipelihara di keluarga Made Taro. Ia sudah menyiapkan generasi pendongeng berikut, anak laki-laki dan cucunya. Taro sendiri kerap didongengkan bapaknya, Pekak Mangku. Untuk mengingat warisan ini, Taro menulis buku “Dongeng-dongeng Pekak Mangku” yang diilhami almarhum bapaknya.

Setiap pekan, Taro dan anaknya tetap datang ke Sekolah Dasar No.18 Dauh Puri, Denpasar untuk bermain bersama anak-anak. Mendongeng ayam, burung, dan pepohonan lewat imaji dan gerak tubuh. Pengalaman istimewa dan makin langka saat ini.

 

Exit mobile version