Mongabay.co.id

Dikawal, Proses Hukum 8 Perusahaan di Sumatera Selatan yang Disegel KLHK

Palembang bebas asap selama penyelenggaraan Asian Games 2018 diadakan, namun berarti bukan bebas dari titik api. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Dampak karhutla [kebakaran hutan dan lahan] di Sumatera Selatan tahun 2019 ini, membuat delapan lokasi yang dikelola perusahaan sawit dan tebu disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK]. Areal tersebut disegel karena diduga melanggar Pasal 108 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Apa yang harus dilakukan masyarakat sipil?

Delapan areal perusahaan yang disegel Jumat [04/10/2019] lalu adalah tiga perusahaan di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] yakni PT. DGS, MBJ dan WAG; dua perusahaan di Musi Banyuasin yakni PT. HBL dan PT. TAC; dua perusahaan di Musirawas yakni PT. DIL dan TIA; serta satu perusahaan di Ogan Komering Ulu [OKU] yakni PT. LPI yang merupakan perusahaan asal Singapura.

Dikutip dari sejumlah media massa, Sugeng Priyanto, Ketua Satgas Gakkum Karhutla KLHK, di Palembang, mengatakan langkah yang diambil baru penyegelan dan tengah dipersiapkan analisis keseluruhan terkait peristiwa kebakaran tersebut. Penyegelan berupa pemasangan spanduk pemberitahuan yang berisi larangan bagi setiap orang melakukan kegiatan apa pun di areal yang disegel pemerintah.

Baca: Tidak Lagi Terbakar, Dua Desa Ini Kembangkan Wisata Sejarah dan Ekowisata

 

Palembang bebas asap selama penyelenggaraan Asian Games 2018, meski berarti bukan berarti bebas titik api. Namun, pada 2019, karhutla hebat terjadi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Luasan lahan delapan perusahaan yang disegel itu sekitar 5.200 hektar, dan yang terluas areal PT. TAC di Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Muba. Diduga pula, sebagian dari delapan perusahaan tersebut, arealnya terbakar pada karhutla 2015.

Sejauh ini KLHK sudah menyegel 65 areal perusahaan di Indonesia, yang tersebar di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.

Sebelumnya, pertengahan September 2019, Kepolisian Daerah [Polda] Sumatera Selatan, telah menetapkan 23 tersangka pelaku pembakaran hutan dan lahan. Satu orang merupakan pimpinan sebuah perusahaan.

Luasan lahan terbakar untuk sementara, berdasarkan informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] yang disampaikan ke media, sekitar 80.125 hektar. Terbesar di Kabupaten Muba [24.304 hektar], Kabupaten OKI [24.129 hektar] dan Kabupaten Banyuasin [14.612 hektar].

Upaya pemadaman terus dilakukan pada sejumlah titik api di Sumatera Selatan. Beberapa helikopter yang akan melakukan water bombing hampir setiap hari melintas di langit Palembang.

Baca: Karhutla Membara, Jangan Frustasi Hadapi Perusak Lingkungan

 

Pemadaman dengan cara water bombing dari udara di perkebunan yang terbakar di Sumatera Selatan pada 2019 ini. Foto: BPBD Sumsel

 

Dikawal proses hukum dan cabut izin

Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi dari UIN Raden Fatah Palembang, mengatakan harus ada pengawalan dari masyarakat sipil terkait upaya penegakan hukum itu.

“Yang pertama mengawal keseriusan KLHK, terutama dalam mengumpulkan bukti, sehingga bukti-bukti tersebut jika dibawa ke pengadilan cukup kuat. Selain itu sejak awal juga mengawal proses di kejaksaan dan pengadilan. Harus dilihat dan dipantau jaksa dan hakim yang memproses persidangan, sudah memiliki sertifikasi lingkungan atau belum,” katanya.

“Jika ini dikawal, tidak akan seperti kejadian 2015 lalu, KLHK kalah dalam gugatan hukumnya di Pengadilan Negeri Palembang,” ujarnya.

Muhammad Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Sumsel mengatakan, kita [masyarakat sipil] butuh pencabutan izin perusahaan yang arealnya terbakar tersebut. Kalau segel menyegel hanya ‘gaya-gayaan’ percuma saja.

“Segel setiap tahun dilakukan KLHK, tapi buktinya tidak berdampak jera. Karhutla terus terjadi. Hal ini terbukti juga bahwa wilayah terbakar sebagian besar adalah perusahaan yang sama, dan lokasi IUP baru di lahan gambut. Sampai sekarang, khusus di Sumsel, belum ada satu pun perusahaan pembakar lahan yang dicabut izinnya,” terangnya Sabtu [05/10/2019].

Pada 2019 ini, kita lebih ketat kawal proses hukumnya. “Dari proses pengumpulan data hingga ranah pengadilan, jika memang upaya tersebut dilakukan,” katanya.

Mengutip pernyataan Hakim Agung I Gusti Sumanatha kepada Mongabay Indonesia di sela lokakarya Implementasi Pedoman Penomoran Perkara Lingkungan Hidup yang digelar Mahkamah Agung (MA), KLHK dan REDD+UNDP di Palembang, Selasa [26/04/2016] lalu, penempatan para hakim bersertifikasi lingkungan hidup akan diprioritaskan pada daerah yang terjadi karhutla. Saat itu, MA menagetkan setiap tahun minimal 80 hakim bersertifikat lingkungan hidup.

Baca: Koordinasi, Kunci Awal Cegah Terjadinya Karhutla

 

Memadamkan api di lahan yang terbakar, bukan pekerjaan mudah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perubahan kebijakan

Dr. Edwin Martin, peneliti dari Litbang LHK Palembang, menyatakan penyegelan oleh penegak hukum merupakan tindakan pertama mereka di lapangan atas sebuah proses indikasi pelanggaran administrasi, pidana, atau perdata.

Bagi masyarakat sipil, penyegelan bisa disikapi sebagai indikasi negara mengakui telah terjadi tindak kesalahan oleh subjek hukum, dalam bentuk karhutla.

“Ini hendaknya dikawal bukan hanya apakah proses hukum dijalankan dengan sebenar-benarnya. Lebih penting adalah perubahan kebijakan, program, dan perilaku penyelenggara negara sebagai prinsipal, dan pihak terduga atau tersangka, dalam hal ini perusahaan, sebagai agen,” terangnya, Sabtu [05/10/2019].

Penegakan hukum harus selalu tajam bermata dua. Satu sisi memberi efek jera terduga pelaku, sisi lain menjadikan pihak lain yang juga berperan sebagai subjek hukum, tetapi kebetulan tidak dikenai kasus, menjadi hati-hati dalam mengambil keputusan dan tindakan.

Perubahan kebijakan tersebut, salah satu contoh adalah, setelah kejadian karhutla 2019, pemerintah akan menurunkan tensi kebijakan yang pro growth menjadi sedikit pro lingkungan. Selama ini, investasi atau dana dari luar diharapkan menggerakkan roda ekonomi, baru setelah itu dipikirkan aspek lingkungan, seperti persyaratan amdal dan lain-lain.

“Lebih baik, jika kebijakan pemanfaatan lahan mendahulukan aspek lingkungan, ecological aspect first investment later. Misalnya, investor dipersilakan datangkan mesin pertumbuhan ekonominya, produksi biomassa, setelah mereka melakukan perbaikan lingkungan. Juga, memastikan kawasan lindung tidak berubah fungsi, menggenangi kembali kubah gambut, dan sebagainya,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version