Mongabay.co.id

Survei CTC : Terumbu Karang Pulau Banda Sehat, Ada 23 Jenis Ikan Bernilai Tinggi

 

Coral Triangle Center (CTC) yang didukung oleh proyek Sustainable Ecoystem Advanced (SEA) dari USAID kembali menggelar survei untuk mengetahui kondisi terumbu karang, ikan dan berbagai keanekaragaman hayati di laut Pulau Banda, Maluku.

CTC adalah lembaga yang membantu pemerintah membentuk kawasan konservasi laut (KKL) di perairan Banda, Sula, Lease dan Buano. Sementara USAID adalah lembaga Amerika yang turut mendukung Pemerintah Indonesia dalam tata kelola perikanan dan konservasi laut.

Tim survey CTC itu didukung tenaga ahli dari Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan (FKIP) Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Taman Wisata Perairan Laut (TWPL) Banda dan sebuah yayasan yang bekerja untuk melihat proses bertelurnya karang.

Hasil survei sementara menunjukkan terumbu karang, ikan dan berbagai keanekaragaman hayati laut di Pulau Banda dalam kondisi sehat. Tidak mengalami perubahan berarti selama 7 tahun terakhir.

Evi Nurul Ihsan, Koordinator Proyek Konservasi SEA USAID kepada Mongabay Indonesia, Minggu (3/11/2019) mengatakan sejak 2012, CTC telah, melakukan penilaian singkat kelautan (marine rapid assessment) bersama para ahli karang dan ikan, salah satunya dari FKIP Unpatti Ambon.

baca : Kajian Cepat Kelautan Temukan 96 Jenis Karang Baru di Kepulauan Banda

 

Survey terumbu karang oleh tim CTC bersama TWPL Banda dan FKIP Universitas Pattimur di laut Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Foto: CTC/Mongabay Indonesia

 

Saat ini CTC membantu pembentukan jaringan kawasan konservasi laut (KKL) Banda serta menetapkan Taman Wisata Perairan Laut (TWPL) Banda, dan membantu proses penetapan TWPL di Pulau Ay, Maluku Tengah. “Tahun ini kita melakukan survei khusus, dengan pengulangan metode serupa di tahun 2012. Pada lokasi yang sama kita ambil data lagi untuk membandingkan data-data sebelumnya,” katanya.

Survei tahun ini, CTC menggunakan metode point intercept transect (PIT) untuk mencatat tutupan substrat dasar perairan, mulai pasir, karang keras, karang lunak, pecahan karang hingga biota-biota lain.

CTC juga mencatat penyakit pada karang untuk melihat seberapa besar ancaman terhadap karang akibat perubahan iklim, kenaikan suhu air laut, aktivitas manusia.

Sedangkan survei ikan menggunakan metode underwater visual sensus, dengan hasil ada sekitar 23 famili ikan bernilai ekonomis tinggi, termasuk ditemukan ikan langka napoleon, berukuran besar diatas satu meter, penyu hijau dan banyak kelompok biota laut lainnya.

“Seperti ikan kerapu, kakap, bobara. Kita juga mencatat ikan-ikan terkait dengan terumbu karang, misalnya ikan-ikan mayor, angelfish, damselfish. Terdapat beberapa ikan-ikan baru yang tidak ditemukan di tahun 2012,” katanya.

baca juga : Menikmati Banda Neira: Dari Pala hingga Biota Lautnya

 

Ikan napoleon di Kepulauan Banda, Maluku dengan panjang sekitar 2 meter saat ditemukan pada survei terumbu karang oleh CTC pada tahun 2012. Foto: Marthen Welly/CTC/Mongabay Indonesia

 

Jika dibandingkan daerah lain di Maluku, kelimpahan dan ukuran ikan perairan Kepulauan Banda bernilai lebih tinggi. Ini menjadi daya tarik pariwisata di Pulau Banda.

“Saat ini tidak ditemukan penyakit dalam jumlah besar. Kita juga belum menemukan ancaman lain seperti dari buluh seribu. Kita lakukan pendataan di dua kedalam, yakni dangkal dan dalam. Perairan dangkal kita menyelam pada kedalaman 3-4 meter, sementara perairan dalam mulai dari 8-12 meter,” katanya.

Selain itu, saat menyelam di tepian laut, tepatnya di seputar kaki Gunung Api Banda, tim menemukan sampah yang cukup banyak. Bahkan ada yang sampai ke bawah laut. Meski demikan, kondisinya masih cukup baik untuk kesehatan karang.

Terkait kendala lapangan, Evi mengaku, memang ada masyarakat yang tidak suka lantaran mendengar berita bohong jika proses konservasi yang dilakukan CTC untuk menjual laut di Pulau Banda. “Ada yang senang, tapi ada pula yang tidak senang. Mungkin mereka dengar berita-berita tidak benar,” katanya.

Noike Rijoly, Dosen FKIP Unpatti Ambon mengatakan pihak dilibatkan untuk mendata jenis ikan pada kedalaman 1-30 meter dan hasilnya bakal selesai sebulan mendatang.

Noike mengatakan CTC memiliki metode yang berbeda dengan lembaga lain yang melakukan survei. “Kalau lembaga lain hanya mencari ikan-ikan target dan tidak melibatkan ahli-ahli kelautan,” katanya.

perlu dibaca : Pantau Banda Neira Demi Jaga Kekayaan Segitiga Terumbu Karang Dunia

 

Survey terumbu karang oleh tim CTC bersama TWPL Banda dan FKIP Universitas Pattimur di laut Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Survei dilakukan pada dua kedalaman, yakni 3-4 meter dan 8-12 meter. Foto: CTC/Mongabay Indonesia

 

Konservasi Pulau Ay

Selain menyasar laut, CTC didukung proyek SEA USAID mempunyai program pelatihan dan sosialisasi konservasi kepada masyarakat setempat, seperti di Pulau Ay, Kepulauan Banda, Maluku Tengah.

CTC bermitra dengan Tim Konservasi Pengelola Sumber Daya Alam (PSDA) di Pulau Ay yang dibentuk oleh pemerintah desa, tokoh agama dan pemuda Pulau Ay pada Desember 2014.

Andre L Sondak, Sekretaris Tim Konservasi PSDA Desa Pulau Ay kepada Mongabay Indonesia, Senin (4/11/2019) mengatakan kehadiran CTC membantu laut terjaga. Terbukti dengan tidak ada lagi pencurian teripang, lobster dan ikan mola.

Bahkan Pemerintah Desa Pulay Ay bersama CTC telah mengeluarkan peraturan desa (perdes) merujuk kepada peraturan Kementerian Perikanan dan Kelautan, berisi pelarangan penangkapan ikan yang merusak seperti dengan bom dan potassium, pelarangan pengambilan lobster, teripang dan ikan mola, perusakan terumbu karang.

Perdes menugaskan tim konservasi melakukan patroli laut, pembersihan pantai, dan pembersihan kampung dilengkapi sanksi darat dan sasi laut. “Kalau sanksi darat yakni buah pala. Jika warga kedapatan mengambil satu buah pala, mereka akan kena sanksi Rp50.000. Sementara untuk sasi laut, jangan ambil lobster, teripang dan juga mola,” kata Andre.

baca juga : Program Rumah Bambu, Solusi Pulau Banda Terhindar dari Bencana. Seperti Apa?

 

Ilustrasi. Mola-mola, ikan raksasa yang bersahabat dengan para penyelam. Foto: Miguel Pereira. Screenshot via ViralHog/YouTube

 

Juga dikeluarkan Perdes pariwisata seperti pungutan retribusi bagi wisatawan sesuai Undang-undang No.28/2009 tentang Retribusi.

“Kalau ada yang datang untuk diving, wisatawan harus bayar Rp.50.000 per orang. Sementara untuk kapal Rp500.000. Retribusi tersebut nantinya disalurkan kepada rumah-rumah ibadah dan sisanya untuk keperluan patroli laut,” jelas Andre.

Keberadaan CTC dengan program konservasinya juga dirasakan Ramalan Harun, Sekretaris Desa  Pulau Ay dengan mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat setempat. Termasuk soal dampak buruk keberadaan sampah, sebagian masyarakat mulai mengolah sampah menjadi bahan yang bermanfaat dan bernilai ekonomi.

Harun menjelaskan sebelum dibentuk Tim Konservasi PSDA Pulau Ay, masyarakat sewenang-wenang merusak laut maupun darat. “Setelah tim konservasi dan Perdes dibentuk, semuanya mulai membaik. Meski wajar saja kalau ada masyarakat yang belum terima,” ujarnya.

Harun berprinsip masyarakat senang dengan kehadiran berbagai pihak termasuk CTC yang sudah melakukan banyak perubahan di sektor konservasi laut. Dia berharap kehadiran CTC dengan program pemberdayaan dan sosialisasi makin membuat masyarakat sadar konservasi.

 

Diskusi warga Pulau Ay, Kepulauan Banda, Maluku Tengh bersama CTC dan proyek SEA USAID tentang pengelolaan laut berkelanjutan dan pengelolaan sampah. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia.

 

Sedangkan Jason Seuc, Deputi Direktur Lingkungan USAID dalam diskusi terbatas (FGD) bersama masyarakat Desa Ay dan CTC, di Pulau Ay, Senin (4/11/2019), meminta, warga terus melestarikan laut.

“Pulau Banda ini sangat indah, sumber daya lautnya tinggi sekali. Sayang, jika kita tidak menjaganya. Tapi saya juga senang karena masyarakat mulai sadar sampah plastik merupakan masalah besar di pulau-pulau kecil seperti di Desa Ay,” katanya.

Jason berjanji USAID dan CTC akan membangun sarana pengolahan daur ulang sampah seperti yang diusulkan masyarakat. “Semoga kita akan kerjasama. Itu pemikiran bagus dari masyarakat untuk kita menggabungkan pengolahan sampah,” katanya.

Jason mengatakan di wilayah Banda, USAID membantu pengelolaan perikanan dan kelautan yang berkelanjutan, termasuk pariwisata untuk pertumbuhan ekonomi setempat.

“Kami berterima kasih atas kemitraan yang kuat dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, khususnya tiga Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat,” cetusnya.

 

Exit mobile version