Mongabay.co.id

Kala Warga Wawonii Tolak Tambang Terjerat Hukum, KKP Temukan Pelanggaran Perusahaan

Masbudi, memperlihatkan kopra putih. Ini hasil dari kebun kopra milik warga. Harga dari koprah putih Rp7.000 . Kini, berkurang karena masyarakat dominan bertani mete. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Hidup warga Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, tak lagi tenang dan damai. Setelah perusahaan tambang masuk bertahun lalu, mereka hidup diselimuti was-was hingga kini. Khawatir lahan dan alam mereka rusak karena pertambangan dan takut dikejar-kejar polisi karena menolak perusahaan tambang.

Sebanyak 27 warga Wawonii dilaporkan ke polisi oleh perusahaan PT Gema Kreasi Perdana (GKP), perusahaan tambang nikel yang berkonflik lahan dengan masyarakat ini. Bentuk laporan perusahaan kepada polisi berbeda-beda untuk masing-masing warga. Kesamaan mereka, getol menolak kehadiran perusahaan tambang dicsana.

Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan

Dari 27 warga itu, Jasmin, pada 24 November, dibawa ke Polda Sulawesi Tenggara, dengan dijemput paksa. Menurut polisi, tiga kali panggilan dilayangkan kepada Jasmin, tetapi tak pernah digubris. Polisi pun menjemput paksa.

AKBP Hary Goldenhart, Kabid Humas Polda Sultra, kala dikonfirmasi tak memberikan jawaban terkait peristiwa itu.

Beberapa kali ditanyakan melalui pesan WhatsApp, Hary tidak memberikan jawaban. Namun dalam surat pemanggilan kepada Jasmin, yang beredar di media sosial, Jasmin diduga melanggar Pasal 333 berkaitan merampas kemerdekaan orang lain.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), melalui Ketua Komisi I, Rifki Saefulah Razak menekankan, kepada polisi agar tidak bertindak semena-mena kepada masyarakat.

Apalagi, katanya, kasus ini saling lapor antara masyarakat dan warga. Rifki mengatakan, polisi jangan lebih mementingkan perusahaan.

“Kita tahu secara bersama, warga juga melapor, tapi kenapa hanya laporan perusahaan yang dikerjakan? Polisi jangan menitikberatkan kasus ini kepada masyarakat,” katanya di Gedung DPRD Sultra, Senin (25/11/19).

Baca juga: Gubernur Sultra Cabut 9 Izin di Wawonii, Bekukan 6 Lainnya

DPRD, katanya, akan rapat internal untuk evaluasi Polda Sultra terkait kasus ini. Alasan penolakan tambang, katanya, karena Wawonii masuk kategori pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir.

“Ditakutkan alam rusak dan laut tercemar. Kemudian di Wawonii sudah terjadi konflik sosial, harusnya ini dulu diselesaikan,” katanya.

Aktivis Wawonii, Mando Maskuri yang mengawal kasus ini saat dihubungi menerangkan, duduk perkara soal penangkapan Jasmin. Bahwa, anak usaha Harita Group ini, telah melaporkan 27 warga Wawonii ke polisi. Tuduhan kepada warga bermacam-macam, dan cenderung mengada-ada.

Mulai dugaan menghalang-halangi aktivitas tambang, tindak pidana perampasan kemerdekaan terhadap seseorang, tindak pidana penganiayaan, sampai tindak pidana pengancaman.

Buntut dari laporan ini sejumlah warga, Jasmin ditangkap polisi pada 24 November 2019, sekitar pukul 17.00, di rumah kediaman kakaknya di Kota Kendari.

 

Biji mete hasil kebun warga di Kecamatan Wawonii Tenggara. Ini hasil dari panen warga selama ini kemudian dijual ke Surabaya. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

“Jasmin, bersama 21 warga lain, sebelumnya dilaporkan ke polisi oleh pelapor atas nama Marlion, karyawan PT GKP, pada 24 Agustus 2019, dengan tuduhan dugaan tindak pidana perampasan kemerdekaan terhadap seseorang,” kata Mando.

Dia menilai, kepolisian seakan dintervensi GKP. Bagaimana tidak, katanya, empat hari sebelum penangkapan Jasmin, pada 20 November 2019, sekelompok massa yang diduga dimobilisasi GKP mendemo Polda Sultra mendesak polisi memproses hukum seluruh warga yang dilaporkan perusahaan.

“Ini kami nilai sebagai bentuk nyata intervensi perusahaan terhadap kepolisian.”

Pelaporan terhadap Jasmin dan warga Wawonii lain, sampai penangkapan, patut dipertanyakan. Sebab, lahan-lahan yang warga pertahankan itu milik sah masyarakat. Tanah tidak pernah warga serahkan atau dijual ke perusahaan untuk jadi jalan tambang (hauling).

Baca juga: Pemerintah Sultra akan Cabut 15 Izin Tambang di Wawonii

Dengan kata lain, katanya, yang mesti diproses hukum oleh polisi adalah tindak kejahatan GKP yang menerobos lahan milik masyarakat. Bahkan, GKP, termasuk seluruh perusahaan tambang di Wawonii diduga tak sesuai aturan. Kalau merujuk UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Wawonii adalah pulau kecil dengan luas 708,32 km2.

Berdasarkan UU No 1/2014 tentang Perubahan atas UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil peruntukan, bukan untuk kegiatan pertambangan.

Tak hanya itu, katanya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Sultra, peruntukkan Wawonii tidak untuk pertambangan.

Jadi, penangkapan Jasmin, berikut 26 warga lain yang telah dilaporkan ke polisi, patut diduga atas ‘pesanan’ GKP kepada polisi. Tujuannya, untuk membungkam suara penolakan tambang dari masyarakat Wawonii dan memuluskan niat perusahaan mengeruk perut pulau kecil itu.

Dugaan ini beralasan, mengingat GKP, dikawal ketat aparat kepolisian, tercatat sudah tiga kali masuk lahan masyarakat untuk membangun jalan tambang. Pertama, pada 9 Juli 2019 di lahan milik Marwah, kedua, pada 16 Juli 2019 di lahan Idris, dan ketiga, tengah malam pada 22 Agustus 2019, lahan milik Amin, Wa Ana, dan Labaa.

Masuk lahan warga berulang-ulang itu, telah dilaporkan warga kepada polisi. Idris, warga Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, misal, melaporkan GKP ke Polres Kendari pada 14 Agustus 2019. Laporan itu sudah diterima dan diregistrasi dengan Laporan Pengaduan Nomor: B/591/VIII/2019/Reskrim.

Sayangnya, laporan warga ini seakan terhembus angin, alias tak ada tindak lanjut dari kepolisian.

“Kami mendesak Kapolri memerintahkan Kapolda Sultra hentikan seluruh proses hukum atas 27 warga Wawonii yang dilaporkan GKP, serta bebaskan segera warga yang ditangkap polisi,” katanya.

 

Imran, memegang dua tuna hasil tangkapan di Perairan Wawonii. Penghasilan ikan dari rutinitas nelayan mencapai 15 ton perbulan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Berbagai temuan pelanggaran

Akhir September lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kunjungan lapangan ke Pulau Wawonii, bersama sejumlah lembaga pemerintah dan sipil. Hasilnya, sejumlah pelanggaran mulai izin tambang hingga izin pembangunan terminal khusus di pesisir Pulau Wawonii.

Ditjen Penataan Ruang Laut KKP melaporkan hasil temuan lapangan kepada Ditjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Awal November, Ditjen PSDKP turun melakukan penyidikan.

Masyarakat sipil berharap KKP segera menyegel pertambangan di Wawonii.

Ahmad Aris, Kasubdit Pulau-pulau Kecil dan Terluar KKP mengatakan, terdapat kegiatan pertambangan mineral oleh enam perusahaan di tujuh lokasi. Tambang terdiri dari satu PMA dan lima modal dalam negeri dengan status IUP operasi produksi aktif ini diterbitkan gubernur atau bupati sejak 2000-2012.

Perusahaan dengan IUP operasi porduksi di Pulai Wawonii yakni PT Derawan Berjaya Mining, perusahaan modal asing dapat IUP 2010, berakhir Juli 2023. Perusahaan lain dengan modal dalam negeri yakni PT Alotama Karya, PT Bumi Konawe Mining, PT Konawe Bakti Pratama, PT Kimco Citra Mandiri dan PT Gema Kreasi Perdana dengan dua IUP.

Masa berakhir IUP ini beragam sejak 2023 hingga 2032 dengan komoditi nikel dan kromit.

Untuk keperluan tambang juga sedang dibangun terminal khusus (telsus) oleh PT Gema Kreasi Perdana berdasarkan SK Menteri Perhubungan No 1334/2018 tentang penetapan lokasi terminal khusus pertambangan PP GKP. Izin itu bertanggal 23 Agustus 2018.

“Pertambangan dan pembangunan telsus tambang di Pulau Wawonii telah mendapat penolakan masyarakat, menyebabkan konflik sosial, pertikaian warga, keresahan dan hilangnya lahan dan mata pencaharian,” kata Ahmad.

Ahmad menjelaskan, dalam rancangan RTRW Konawe Kepulauan tidak mengalokasikan ruang untuk pertambangan. Ini mengacu pada UU No 27/2007, Pasal 1 angka 3 dan Pasal 35 huruf k, dan Pasal 73 ayat 1 huruf f, serta pertimbangan kelestarian ekosistem.

Yang menjadi sorortan KKP saat ini, katanya, pembangunan telsus di Desa Sukarela Jaya, Wawoni Tenggara, Konawe Kepulauan. Masalahnya, kata Ahmad, SK telsus keluar sebulan sebelum penetapan Perda No 9/2018 Sultra tentang RZWP3K yakni pada 31 Desember 2018.

 

Abdul Majid, di lahan yang ditumbuhi ratusan pohon mete. Lahan ini tidak mau dia lepaskan kepada perusahaan. Memberikan lahan kepada perusahaan sama dengan bertaruh nyawa. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Selain tarsus, izin reklamasi juga keluar oleh Kementerian Perhubungan berdasarkan Perpres No 122/2012 tentang reklamasi di wilayah peissir dan pulau-pulau kecil untuk GKP.

“Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra tidak memberikan rekomendasi ruang telsus di Desa Sukarela Jaya untuk GKP,” kata Ahmad.

Dia bilang, ada ketidaksesuaian alokasi ruang sebagaimana diatur dalam Perda No 9/2018 yang seharusnya merupakan kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan perikanan tangkap, namun untuk telsus.

KKP juga menemukan aktivitas penurunan alat berat di lokasi tarsus GKP.

Dari segi hukum, kata Ahmad, sesuai Perda No 9/2018 Pasal 85 huruf b angka 2 untuk telsus yang sudah jalan, pemanfaatan ruang sampai izin operasional habis masa berlak, dan penyesuaian fungsi kawasan beradasarkan perda.

Namun, Pasal 85 huruf b angka 3 dan 4 juga mengamanatkan bagi yang sudah pembangunan dan tak mungkin penyesuaian kawasan, izin yang terbit dapat dibatalkan. Tambahan lagi, terhadap kerugian yang timbul sebagai karena pembatalan izin dapat diberikan penggantian layak sesuai ketentuan perundang-undangan.

Ahmad menambahkan, sesuai Pasal 21 Permen KP No 12/2013 tentang Pengawasan Pengelolaan WP3K, yang berwenang mengawasi dan mengendalikan wilayah adalah polisis khusus PWP3K dari PNS di pemda provinsi atau PNS KKP.

Kalau merujuk lampiran pembagian urusan pemerintahan bidang ESDM UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, provinsi punya urusan penerbitan urusan pertambangan mineral logam dan batubara buat penanam modal dalam negeri. Ini pada wilayah izin usaha pertambangan daerah dalam satu provinsi termasuk wilayah laut sejauh sampai 12 mil laut.

“Di sini masalahnya. Izin pembangunan telsus memang kewenangan Kementerian Perhubungan,” kata Ahmad. Dengan demikian, pelaksanaan pembanguna telsus mestinya berkoordinasi antara Bupati Konawe Kepulauan, Gubernur Sultra dan Menteri Perhubungan.

Yang jelas, katanya, izin yang terbit bisa batal kalau tak sesuai Perda No 9 dan tak mungkin penyesuaian fungsi kawasan.

Dia bilang, apabila terjadi pelanggaran terhadap UU No 27/2007 jo UU No 1/2014 maka yang berwenang penegakan hukum adalah penyidik polri, PPNS Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan (PSDKP) dan pemerintah daerah. Ini sesuai Pasal 70 UU No 27/2007.

Dari hasil kunjungan lapangan pada akhir September lalu, KKP menemukan, Gubernur Sultra meyakini bahwa perizinan pertambangan GKP lengkap, sesuai prosedur, dan clean and clear.

Gubernur tak mau memenuhi tuntutan masyarakat mencabut IUP GKP. Kalau ditemukan dua bukti pelanggaran perusahaan, gubernur akan langsung mencabut izin.

 

Tampak dari kejauhan bascamp dan pelabuhan khusus atau jetty milik PT Gema Kreasi Perdana, yang saat ini IUP dijalankan PT Harita Grup. Sebelumnya, ratusan kelapa berada di pesisir ini. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Temuan lain, GKP sudah membangun dan menggunakan dermaga telsus dengan cara reklamasi. Masalahnya, GKP belum punya izin lingkungan pembangunan terminal di Desa Sukarela Jaya ini.

Sisi lain, Bupati dan Pemkab Konawe Kepulauan secara kelembagaan menolak tambang di Pulau Wawonii. Secara legal juga sudah dituangkan dalam RTRW Konawe Kepulauan. Pemkab juga mengirim surat pada gubernur untuk menyampaikan tuntutan masyarakat untuk mencabut IUP di Pulau Wawonii.

“Masyarakat Desa Roko-roko yang mayoritas menolak tambang, menuntut IUP-IUP di Pulau Wawonii dicabut dan izin tarsus GKP dibatalkan,” kata Ahmad.

Pemerintah pusat juga menemukan telah terjadi konflik sosial antara masyarakat dan perusahaan tambang yang menimbulkan kekerasan fisik, ketakutan, dan kekhawatiran akan penyerobotan lahan dan kebun masyaratkat yang beirisi jambu mete, kelapa dan palawija lain.

Temuan penting lain, yakni, terjadi pergeseran dan ketidaksesuaian lokasi titik koordinat terminal GKP yang dibangun dengan titik koordinat sesusai surat penetapan lokasi dari Menteri Perhubungan.

Menindaklanjuti ini, kata Ahmad, Ditjen PRL telah melaporkan kepada Ditjen PSDKP KKP dan sudah penyidikan. Ditjen PSDKP telah melakukan kunjungan lapangan ke Pulau Wawonii pada 5-8 November lalu.

“Rekomendasi kami adalah kami minta disegel. PSDKP butuh proses untuk menemukan bukti hingga bisa meneruskan kasus ini,” katanya.

Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, mengatakan, selain pelanggaran UU No 27/2007, masalah juga timbul akibat Perda No 2/2014 tentang RTRW Sultra. Dalam batang tubuh Perda tak disebutkan, ada kawasan peruntukan tambang di Konawe Kepulauan. Dalam lampiran peta terdapat arsiran IUP dan WPN di Konawe Kepulauan.

“Terdapat kontradiksi status peruntukan Pulau Wawonii di antara batang tubuh perda dan lampiran,” kata Melky.

Karena itu, Jatam menduga ada penyelundupan hukum untuk memuluskan pertambangan sejak dalam penyusunan perda.

Pelanggaran lain, Jatam mencatat, GKP setidaknya tiga kali melakukan penerobasan lahan masyarakat. Padahal, Pasal 135 UU No 4/2009 jelas menyatakan pemegang IUP eksplorasi atau IUPK eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatan setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.

“Lahan-lahan ini milik masyarakat, dan dikelola lebih dari 30 tahun,” kata Melky.

Mengenai pembangunan terminal khusus, kata Jatam, surat Bupati Konawe pada 19 Agustus 2011 yang menjadi rekomendasi pembangunan jalan dan dermaga, diduga cacat hukum. Surat ini terbit sebelum pemekaran Konawe Kepulauan pada 2003.

Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra juga merespon surat dengan mengatakan, tidak ada alokasi ruang untuk pertambangan dan ranperda RTRW Konawe Kepulauan.

“Kami menduga terjadi tindak pidana korupsi dan penyelahgunaan kewenangan melalui lahirnya surat dari Kementerian Perhubungan,” katanya sembari menambahkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk penambangan di pulau kecil ini juga diduga melanggar hukum.

Hingga kini catatan KontraS, setidaknya sudah ada 27 warga yang dikriminalisasi karena mempertahankan lahan dan kebun. Jatam meminta, kepolisian menarik mundur personil polri yang cenderung melindungi perusahaan tambang dan menakut-nakuti warga Pulau Wawonii.

Kepada KKP, Jatam meminta KKP menindaklanjuti pelanggaran yang diduga dilakukan PT GKP, dan meminta Kementrian ATR BPN untuk menyegel lokasi dan aktivitas PT GKP di Pulau Wawonii. Gubernur Sultra dan Kementerian ESDM juga diminta mencabut semua IUP yang ada di Pulau Wawonii.

Sekjend Kiara, Susan Herawati mengatakan, berbagai masalah di Pulau Wawonii makin memberikan banyak tekanan kepada masyarakat bahari.

 

Kebun warga yang dijual perusahaan. Nampak jalan lingkar yang dibuat perusahaan dari lokasi penambangan menuju jetty atau pelabuhan khusus PT GKP. Di Wawonii Tenggara, terdapat warga pro dan kontra perusahaan, mayoritas menolak. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

“Tak ada pilihan baik KKP maupun Kemenhub selain membatalkan dan tidak meneruskan izin terminal dan tambang.”

Sejak pemekaran 2013, tak ada data jelas soal nelayan di Pulau Wawonii. Dinas Kelautan dan Perikanan mencatat, 2.136 nelayan tercatat tinggal di area ini. Namun tak ada catatan produksi perikanan tangkap, yang ada hanya perikanan budidaya.

Menurut Susan, ada upaya sistematis menghilangkan profesi nelayan tangkap.

Catatan Kiara, rata-rata masyarakat adalah nelayan kecil yang melaut dengan perahu kurang dari 10 gross ton dengan 2-3 awak kabin.

Sebelum pembangunan terminal, kalau musim baik nelayan bisa membawa pulang 50 kilogram tangkapan sehari.

“Sejak ada tambang, 10 kg sehari aja udah bagus dengan rentang jarak melaut yang lebih jauh,” kata Susan, seraya bilang, biasa nelayan cukup melaut 10-20 mil, kini bisa 20-40 mil. Bahkan sejumlah nelayan melaut hingga ke bagian timur Indonesia.

Dengan kehadiran tambang, Kiara menemukan secara ekologis aktivitas perusahaan merusak Pesisir Masolo. Menurut nelayan, setidaknya satu hektar terumbu karang sudah rusak karena tambang.

Selain penolakan masyarakat, aktivitas tambang juga merusak ekosistem pesisir karena limbah ke laut dan bikin penurunan drastis hasil tangkapan nelayan.

Belum lagi jarak tangkap nelayan jauh menimbulkan masalah sosial lain.

“Ketika jarak tangkap berubah pola hidup juga berubah. Mereka mulai meminjam, gadai barang-barang untuk modal melaut.”

Biasa nelayan bisa balik modal dengan 10 jam perjalanan, kini hingga 15-20 jam sehari dengan kebutuhan bahan bakar meningkat dari lima liter untuk sekali melaut jadi 20 liter. Penghasilan pun menurun drastis dari Rp1-3 juta perhari jadi Rp300-500 ribu perhari.

Beban perempuan, kata Susan, juga berlipat ganda karena kondisi ini. Belum lagi risiko kerentanan bencana karena kawasan kepulauan yang tidak untuk tambang riskan merusak sumber mata air warga.

Kiara juga meminta KKP mengambil sikap segera menyegel lokasi tersus dan segala aktivitas tambang di Pulau Wawonii.

“KKP adalah rumah bagi masyarakat bahari,” kata Susan.

 

Keterangan foto utama: Masbudi, memperlihatkan kopra putih. Ini hasil dari kebun kopra milik warga. Harga dari koprah putih Rp7.000 . Kini, berkurang karena masyarakat dominan bertani mete. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Fatria, salah satu perempuan Wowanii, yang berjuang menolak tambang. Dia meneteskan air mata usai mendengar pernyataan Lukman Abunawas yang akan mencabut 15 IUP di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version