Mongabay.co.id

Pentingnya Sinergi Antar Daerah untuk Hentikan Bencana Banjir Jakarta

 

Pemerintah Daerah dan Provinsi harus bisa bergandengan tangan untuk mengatasi persoalan banjir yang melanda kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mulai Rabu (1/1/2020). Bencana alam tersebut muncul, karena belum ada yang siap menerima kondisi cuaca yang sangat ekstrim seperti saat pergantian tahun 2019 ke 2020 itu.

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Wilayah dan Kota (IAP) Hendricus Andy Simarmata mengatakan hujan ekstrim yang turun pada momen liburan Tahun Baru 2020 tersebut itu tidak hanya menjadi persoalan serius Jakarta, tetapi daerah lain di seputar ibu kota Negara yang geografis berdekatan.

“Saya hanya melihatnya sebagai (persoalan) Jabodetabekpunjur,” ucapnya menyebut kawasan Jabodetabek dengan tambahan Puncak dan Cianjur.

baca : Korban Tewas Banjir Jabodetabek 60 Orang, BNPB Sebut Tambang Penyebab Bencana di Lebak

 

Luapan air yang sangat deras di Bendung Katulampa, Bogor pada Rabu (1/1/2020) sore. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Andy yang dihubungi Mongabay pada Sabtu (4/1/2020), menjelaskan kalau persoalan banjir berawal dari ketidaksiapan tata ruang wilayah Jabodetabekpunjur. Bahkan, pembiaran tata ruang selama bertahun-tahun di kawasan tersebut.

Pembiaran itu termasuk tidak adanya kerja sama antar daerah di kawasan hulu, tengah, dan hilir. Menurutnya, ketidakmampuan menjalin kerja sama, memicu terjadinya banjir saat hujan turun dengan intensitas yang ekstrim.

Kerja sama yang dimaksud mencakup konsentrasi di kawasan hilir yaitu pesisir Jakarta melalui sistem polder dan juga tanggul laut. Kemudian, di bagian tengah terdapat daerah seperti Kota Depok, Kabupaten Bogor, dan Kota Tangerang Selatan yang s masuk provinsi Jawa Barat dan Banten.

“Harusnya, daerah-daerah tersebut bisa melindungi setu-setu alam yang sudah ada. Keberadaan Setu akan bermanfaat saat hujan deras terjadi, karena bisa menjadi tempat penampungan air yang sangat efektif,” ungkap Urban Reader pada Thamrin School of Sustainability and Climate Change itu.

Daerah-daerah bagian Tengah itu juga harus bisa menambah sempadan setu melalui penghijauan yang dilakukan secara rutin dan terencana untuk mengurangi resiko terjadinya banjir.

Selanjutnya melaksanakan program pengerukan anak sungai yang menjadi percabangan dari sungai besar seperti Ciliwung, untuk mengurangi endapan sungai dan menambah volume air yang mengalir dari hulu.

“Sempadan sungai itu harus ditanamani vegetasi yang bisa memperkuat struktur tanah. Jangan malah sempadan dibangun perumahan. Lalu, dengan pengerukan, itu juga akan membantu aliran air saat curah hujan sedang tinggi,” tutur dosen dan peneliti senior pada program S2- Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia

baca juga : BMKG : Curah Hujan Paling Ekstrim Dalam Sejarah Jadi Pemicu Banjir Jakarta

 

Foto udara kali Ciliwung yang meluap di seputar Jakarta Pusat Rabu (1/1/2020). Foto : BNPB/Mongabay Indonesia

 

Hulu ke Hilir

Pengelolaan juga harus dilakukan di bagian hulu yang menjadi awal dari pergerakan air menuju Jakarta. Di hulu, jangan sampai konversi lahan terus berjalan masif dan mengorbankan lahan hijau dikonversi menjadi kawasan komersial ataupun permukiman yang akan memicu terjadinya banyak dampak negatif.

Untuk bisa mengontrol konversi lahan, Andi juga menyebut kalau pengelolaan air di hulu akan semakin baik jika dua bendungan yakni Ciawi dan Sukamahi yang sedang dibangun sekarang sudah selesai. Keduanya bendungan di Kabupaten Bogor itu, diyakini akan bisa menampung kelebihan air saat hujan sedang turun dengan intensitas tinggi.

Khusus untuk pengelolaan Setu, sampai saat ini masih banyak pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Sementara, kewenangan untuk izin mendirikan bangunan itu justru ada di Pemerintah Daerah, yang mengakibatkan banyaknya bangunan di sempadan Setu dan tidak terkontrol dengan baik dari waktu ke waktu.

“Banyak persoalan, pembiaran urbanisasi tidak terkontrol. Urbanisasi di sini sebagai pengkotaan wilayah,” sebutnya.

perlu dibaca : Ruang Terbuka Biru Jabodetabek Memprihatinkan, Mengapa?

 

Banjir yang menggenangi pemukiman di Jakarta Pusat , Rabu (1/1/2020). Foto : BNPB/Mongabay Indonesia

 

 

Di luar hulu dan tengah, pengelolaan limpasan air hujan juga akan semakin baik dan efektif jika di bagian hilir dilakukan langkah yang sama. Pemprov DKI Jakarta yang berperan sebagai pemimpin di bagian hilir, harus melakukan pengelolaan dengan baik dari berbagai sisi, karena Jakarta harus siap menerima limpasan air dari hulu di Bogor dan tengah di Depok.

“Kemampuan DKI Jakarta untuk menyerap air saat ini tinggal sembilan persen saja. Harus ada upaya keras untuk bisa menambah kemampuan daya serap airnya,” jelasnya.

Salah satu yang harus diperhatikan oleh DKI, adalah mengelola kawasan di sekitar sungai Ciliwung yang mengalir di DKI Jakarta. Di sana, meski pengelolaan dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI, namun masing-masing bisa menjalankan perannya untuk mengelola kawasan di sepanjang sungai yang menjadi muara dari sungai-sungai di sekitarnya.

Kata Andi, jika memang Pemprov DKI saat ini memiliki program naturalisasi sungai, maka itu menjadi program yang bagus dan tidak untuk dipertentangkan. Program tersebut, adalah dengan membangun pertahanan dari sempadan sungai dengan cara menghijaukan kawasan tersebut dan menatanya menjadi lebih tertib.

Namun, program tersebut juga harus bisa dikombinasikan dengan program sebelumnya, yakni normalisasi sungai. Program tersebut, sama-sama memiliki tujuan untuk membangun pertahanan dari banjir di sempadan sungai, namun dengan cara membangun dinding beton yang menyangga sempadan. Kedua program tersebut dinilai bagus karena memberi manfaat nyata.

“Jadi kalau memang tidak bisa dilakukan naturalisasi, maka normalisasi harus menjadi pilihan,” sebutnya.

baca juga : Banjir Lagi…Banjir Lagi, Kata Pakar Penanganan Harus Hulu ke Hilir

 

Banjir di Jakarta, yang terjadi awal tahun 2020. Foto: BNPB

 

Kombinasi

Perlunya melakukan kombinasi program, karena Andi menilai kalau permasalahan sosial yang ada di sepanjang sungai Ciliwung sangatlah tinggi. Sementara, jika Pemprov DKI ingin melaksanakan naturalisasi dengan lancar dan benar, maka kawasan sempadan sungai harusnya tidak ada lagi bangunan dalam bentuk apapun.

Tentang konversi lahan yang ada di DKI Jakarta dan daerah penyangga, menurut Andi juga dalam beberapa dekade terakhir sudah melewati batas dan tidak memperhatikan lagi dampak lingkungan. Kondisi itu jauh berbeda saat Belanda masih ada di Indonesia, di mana saat itu setiap pembangunan fisik harus memperhatikan dampak lingkungan sekitar.

“Itu kenapa, dulu itu kalau mau bangun gedung di Jakarta, maka Belanda mensyaratkan harus ada rencana pengelolaan air dengan jelas. Jadi, sebelum membangun gedung, lebih dulu dibangun fasilitas untuk menyerap air saat hujan,” ungkapnya.

Selain hal di atas, pelajaran penting yang harus dipetik dari Pemerintahan Belanda dulu, adalah mereka belajar dari bencana banjir yang terus menerus menerjang kawasan DKI. Bencana tersebut membuat Belanda saat itu menerapkan sistem kanalisasi dan pintu air yang dipakai sampai sekarang oleh Pemprov DKI dan kota lain di Indonesia.

Namun demikian, bukan hanya Jakarta saja yang seharusnya bertanggung jawab sebagai daerah penyerap air, tetapi juga daerah-daerah di sekitar yang selaman ini menjadi daerah penyangga. Dengan demikian, daerah sudah membantu mengurangi air sebelum mengalir ke drainase atau kanal dan berakhir di setu, danau, sungai, dan laut.

“Hulu sebagai lini pertahanan namun sudah agak jebol karena konversi lahan dan juga bendungan yang belum selesai. Jadi, volume air yang muncul seperti saat hujan deras, akan langsung dibuang ke hlir atau laut. Tetapi di saat yang sama, jalur air di 13 sungai di DKI mengalami penyempitan, sehingga over flow,” tegasnya.

Kesimpulannya, Andi mengingatkan kalau kerja sama antara daerah, Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta, serta Pemerintah Pusat menjadi sangat penting dan harus bersinergi dengan baik. Kerja sama itu, mencakup teknik dan metode pengelolaan, pembiayaan, dan juga pembuatan regulasi yang akan menentukan seperti apa arah di masa mendatang.

Sedangkan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo pada Minggu (5/1/2020) mengatakan untuk mengantisipasi terjadinya kembali bencana banjir di Jabodetabek dan daerah lain, Pemerintah akan membuat sistem peringatan dini dengan mengacu pada data debit air saat hujan sedang berlangsung.

Seperti dilansir dari Liputan6.com, Agus menjelaskan sistem peringatan dini berguna untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat di sekitar lokasi terjadinya hujan deras. Tak kalah pentingnya, pembuatan pusat penampungan air seperti waduk dan revitalisasi setu.

“Itu untuk mengatur debit air yang bakal masuk ke aliran sungai,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version