Mongabay.co.id

Para Perempuan Penjaga Sumber Daya Alam Aceh

Nusa Festival yang diselenggarakan setiap tahun di Gampong Nusa. Pakaian yang berasal dari bahan bekas ditampilkan di sini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Sumini, Yusdarita, Yeni Hartina, Yessi, Sri Hayati, dan Sulas duduk di hadapan puluhan perwakilan perempuan dari 15 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.

Enam perempuan asal Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Aceh Besar itu, pada 15-16 Desember 2019 lalu, dihadirkan oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] untuk menceritakan pengalamannya, menjaga sumber daya alam di acara bertajuk Temu Perempuan Penjaga Sumber Daya Alam.

Sumini menuturkan perjuangan perempuan Desa Damaran Baru, Kecamatan Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, menyelamatkan hutan lindung di desa mereka.

“Kami melindungi hutan untuk menjaga sumber air,” terang perempuan yang merupakan Ketua Kelompok Lembaga Pengelola Hutan Kampung [LPHK] Damaran Baru.

Sumini dan seluruh perempuan di Damaran Baru tidak akan bisa melupakan banjir bandang yang terjadi 14 September 2015. Bencana yang memang tidak menimbulkan korban jiwa, tapi menghancurkan desa mereka.

“Air bah itu membawa bongkahan kayu hasil pembalakan liar dan kami yang menderita.”

Baca: Perempuan Hebat Penjaga Kaki Bukit Barisan

 

Nusa Festival yang diselenggarakan setiap tahun di Gampong Nusa, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Pakaian dari bahan bekas ditampilkan di sini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bertahun, perempuan-perempuan di kaki gunung api Burni Telong itu memperjuangkan hutan yang telah rusak di pinggir Wih [sungai] Gile untuk ditanami kembali.

“Kami makin semangat menanam hutan yang gundul itu setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: SK.9343/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/11/2019 tentang izin pengelolaan hutan lindung kepada masyarakat Damaran Baru melalui skema hutan desa,” ungkapnya.

Di Aceh, Damaran Baru merupakan desa pertama yang izin perhutanan sosialnya diberikan kepada kelompok perempuan. Izin tersebut diserahkan pada 25 November 2019 untuk lahan seluas 251 hektar.

“Kami akan mengelola Desa Damaran Baru menjadi kampung wisata alam atau eco village. Masyarakat harus mendapatkan manfaat ekonomi dari hutan ini,” terang Sumini.

Baca: Terpilih, 22 Perempuan Women’s Earth Alliance Indonesia

 

Persawahan di Rikit Gaib, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, yang berbatasan langsung dengan hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Yusdarita warga Desa Rembele, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah juga menceritakan bagaimana perempuan di tempatnya menjaga sumber air di hulu sungai.

Untuk bisa mempengaruhi kebijakan tingkat desa dan mukim [lembaga adat yang membawahi beberapa desa], Yusdarita masuk dalam struktur mukim sejak 2013.

“Menjaga hulu tantangannya tidak mudah, ada pihak-pihak yang tidak senang atau terganggu karena kami menata sumber air itu. Kami dari mukim Simpang Tiga, menginisiasi untuk menanam alpukat dan nangka yang dapat menahan debit air di bawah permukaan tanah,” terangnya.

Awalnya, masyarakat pragmatis dengan program apapun. Mereka harus diberikan pemahaman pentingnya menjaga hutan dan sungai yang tentunya tidak bisa dilakukan sendiri.

“Paling sulit adalah mempengaruhi laki-laki, karena harus ada keuntungan secara ekonomi dari menjaga hutan dan sumber air itu. Sekarang semua berjalan baik,” terangnya.

Baca juga: Mengenang Dedikasi Den Upa Rombelayuk untuk Perjuangan Masyarakat Adat 

 

Air bersih merupakan potensi alam yang melimpah di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perjuangan berat

Yessi, warga Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, menuturkan perjuangan pahitnya meminta pertanggungjawaban perusahaan semen, yang berulang kali mengganti nama agar terbebas memperbaiki lingkungan.

“Rumah kami rusak akibat pengeboman yang mereka lakukan. Saat pengambilan bahan baku, sumur warga juga rusak, termasuk polusi debu yang keluar dari proses produksi,” ujarnya.

Pabrik semen yang diceritakan Yessi berlokasi di pinggir laut Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Namanya PT. Solusi Bangun Andalas, anak perusahaan Semen Indonesia Group. Pabrik ini dimiliki perusahaan Badan Usaha Milik Negera [BUMN] setelah Semen Indonesia Group mengakuisisi saham mayoritas PT. Holcim Indonesia Tbk, Februari 2019.

Blasting atau peledakan tanah dan batu untuk bahan baku semen selain merusak lahan pertanian, rumah dan sumur warga, juga telah menghancurkan kawasan kasrt.

“Kami telah melaporkan ke pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup. Permasalah masyarakat dengan pabrik semen telah terjadi sejak perusahaan didirikan, tahun 1980, namun hingga kini belum selesai.”

Baca: Foto: Wanita-wanita Tangguh Pejuang Tenun Ikat Sumba

 

Sawit ilegal di hutan lindung Aceh Tamiang, Aceh, terus dimusnahkan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pengalaman lain disampaikan Sri Haryati, warga Desa Kebun Sungai Yu, Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang. Masyarakat yang tinggal di desa tersebut sejak 1953 bersengketa dengan perusahaan kelapa sawit, PT. Rapala yang mengklaim desa ini bagian dari HGU perusahaan. Masyarakat dipaksa pindah.

“Sebenarnya wilayah desa telah dikeluarkan dari HGU beberapa tahun yang lalu, namun hingga kini perusahaan belum menerima keputusan tersebut,” ujarnya.

Sri Haryati mengatakan, Pemerintah Aceh melalui Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor: 140/911/2013 tentang penetapan nama dan kode wilayah administrasi pemerintah kecamatan, mukim, dan gampong [desa] di Aceh menetapkan Desa Kebun Sungai Yu sebagai desa dengan kode wilayah 11.16.02.04.2013. Luasnya, 10,7 hektar.

“Tapi, perusahaan tetap mengklaim wilayah desa bagian HGU. Bukan hanya itu, 22 masyarakat juga dilaporkan ke polisi oleh perusahaan dengan tuduhan mengusai lahan tanpa hak, dan hingga saat ini masih berstatus tersangka,” terangnya.

Sri mengaku, konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan telah disampaikan ke pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, kabupaten maupun provinsi. Tapi, masalah tersebut tidak pernah selesai, Juli 2018 justru masyarakat dan perangkat desa dilaporkan ke polisi oleh perusahaan,” jelasnya.

Baca juga: Rubama, Perempuan Inspiratif Gampong Nusa

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bukan pekerjaan mudah

Kasubdit Penyiapan Hutan Desa, Dirjen PSKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], Lusi Ardiputri dihadapan peserta mengatakan, apabila agenda pembangunan hanya berfokus pada pengembangan ekonomi dan investasi, khususnya yang terkait sumber daya alam dan tidak dikelola dengan baik, akuntabel, transparan, dan partisipatif, akan menghasilkan dampak sangat buruk terhadap kaum perempuan.

“KLHK mendukung dan mengharapkan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, termasuk kelompok perempuan, dalam mengelola sumber daya alam.”

Menurut Lusi, salah satu program KLHK yang melibatkan masyarakat khususnya dalam mengelola dan menjaga hutan adalah dengan perhutanan sosial. Program ini memiliki beberapa skema dan masyarakat dapat dengan mudah mengakses pengelolaan hutan beserta lingkungan secara berkelanjutan.

“Harapannya, hutan terjaga dan masyarakat hidup sejahtera,” jelasnya.

 

Citra satelit yang menunjukkan pabrik semen PT. Solusi Bangun Aceh di Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Sumber: Google Earth Pro

 

Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Hukum dan Politik, Kamaruddin Hamdallah, mewakili Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengatakan, ada beragam tantangan dan kisah pahit yang dialami perempuan penjaga lingkungan.

“Penyelamatan sumber daya alam bukan pekerjaan mudah karena banyak pihak berkepentingan. Tantangan terbesar adalah aspek ekonomi yang terkadang membuat penyelamatan lingkungan hidup terabaikan,” ujarnya.

Kamaruddin menambahkan, Pemerintah Aceh memiliki komitmen melalui Aceh Green, berbasis pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan aspek sosial dan lingkungan hidup. Mempersiapkan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, meminimalisir risiko bencana, penyadartahuan masyarakat dan pemulihan spesies kunci adalah hal yang dilakukan.

“Pelibatan masyarakat tentu dilakukan untuk mewujudkan komitmen tersebut,” jelasnya.

 

 

Exit mobile version