Mongabay.co.id

Menyoal Bencana dan ‘Rumah’ Air yang Hilang

Genangan banjir di Jakarta, awal tahun lalu. Banjir Jakarta, multidimensi. Ada dimensi iklim, bentang alam, tata ruang dan tata kelola, serta dimensi sosial ekonomi yang melibatkan banyak sektor dan kepentingan. Foto: BNPB

 

 

 

 

Malam pergantian tahun lalu, Ikhwan Alhuda, warga Jakarta, berkumpul bersama keluarga di rumah orangtuanya di Perumnas 1, Bekasi Barat, Jawa Barat. Mereka ingin merayakan malam tahun baru bersama.

Hujan mulai mengguyur sejak Kamis sore (31/12/19), sampai Jumat subuh, (1/1/20). “Kami bangun untuk sholat subuh kaget karena air mulai masuk rumah,” katanya.

Banjir datang begitu cepat. Mereka buru-buru menyelamatkan dan mengungsikan anak-anak ke Mesjid Al Amanah, dekat rumah. “Kasur, pakaian, barang elektronik, sebisanya diselamatkan,” katanya.

Rabu 1 Januari, pukul 08.00, banjir sudah setinggi 50 cm. Mereka sekeluarga mengungsi ke mesjid. “Kami hanya bisa menunggu dan ngobrol ngalor ngidul sembari berharap banjir tidak bertambah tinggi.”

Baca juga : Korban Tewas Banjir Jabodetabek 60 Orang, BNPB Sebut Tambang Penyebab Bencana di Lebak

Pengurus RT/RW setempat sigap membantu warga dengan menyediakan makan dan minum.

Hujan terus turun. Hingga Jumat tengah malam, banjir tambah tinggi. Mesjid tempat mengungsi pun tergenang sekitar 30 cm. Rumah mereka sudah terendam sekitar satu meter. “Kami semua harus pindah ke rumah warga yang berlantai dua,” katanya.

Sekitar 70% rumah-rumah di Perumnas 1, Bekasi Barat, terdampak banjir. Dia bilang, kawasan ini dulu rawa yang oleh pemerintah jadi perumahan untuk para PNS dan anggota TNI yang kerja di Jakarta.

“Kami tinggal di kawasan ini [tahun] 1981. Banjir pertama kami alami tahun itu juga.”

Sejak saat itu, banjir kerap menerjang Perumnas 1. “Seingat saya banjir kembali melanda 2002. Banjir berikutnya 2007, dan saat ini, awal 2020.”

Ihkwan berharap, pemerintah bisa bekerja bersama lintas wilayah, antara pemerintah Jawa Barat dan Jakarta. “Menata kawasan di hulu, tengah dan hilir. Melakukan perbaikan saluran air dan gorong-gorong,” katanya, seraya bilang, pembangunan infrastruktur dengan memperhatikan fungsi ekologi.

Ikhwan dan warga di Perumnas 1 Bekasi Barat, baru sebagian kecil dari ribuan, bahkan puluhan ribu warga Jabodetabek dan Banten, yang terdampak banjir dan longsor awal 2020 itu.

Sampai Senin (6/1/20), korban meninggal ada 67 orang. Data Pusat Pengendalian dan Operasi (Pusdalops) BNPB, Kamis (9/1/20) terjadi peningkatan pengungsi di Kabupaten Bogor, semula 12.961 orang jadi 14.000 orang. Di Jakarta Timur 64 jadi 65 orang. Sedang di Jakarta Barat, terjadi penurunan jumlah pengungsi, semula 602 jadi 484 orang.

Baca juga: BMKG : Waspadai Potensi Cuaca Ekstrem Hujan Lebat Pasca Banjir Jakarta

BNPB mengimbau, masyarakat selalu waspada potensi curah hujan tinggi hingga sepekan ke depan. Doni Monardo, Kepala BNPB mengatakan, pemerintah daerah dan BPBD harus aktif menginformasikan peringatan dini cuaca terkini dari BMKG kepada masyarakat.

“Untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan,” kata Agus Wibowo, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB.

 

 

 

***

Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi meliputi delapan daerah aliran sungai (DAS) yakni DAS Kali Angke Pesanggarahan, Kali Krukut, Ciliwung, Sunter, Kali Buaran, Cakung, Bekasi dan Cisadane.

“Banjir akibat curah hujan tinggi hingga ekstrem sejak 31 Desember 2019,” kata Hudoyo, Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa, (7/1/20).

Selain curah hujan ekstrem, ada juga limpasan atau kiriman air dari Bogor dan Depok. Posisi Jakarta, di bagian lereng kaki dari kipas alluvial DAS Ciliwung, diperparah dengan kehilangan situ dan alih fungsi rawa.

“Tutupan lahan di bagian hulu didominasi pertanian lahan kering untuk sayuran, pada area terdampak didominasi lahan bangunan hingga limpasan permukaan tinggi dan penyerapan rendah,” katanya.

Sistem drainase, katanya, tak mampu mengantisipasi kenaikan volume air ekstrem. Pengambilan air tanah berlebihan juga menyebabkan amblesan tanah (land subsidence). Di hilir, budaya membuang dan mengelola sampah buruk juga memperparah banjir tahun ini.

“Banjir Jakarta mencakup multi dimensi,” katanya.

Ada dimensi iklim, bentang alam, tata ruang dan tata kelola, serta dimensi sosial ekonomi yang melibatkan banyak sektor dan kepentingan.

Baca juga: BMKG: Perubahan Iklim Picu Cuaca Ekstrem

Menurut Hudoyo, penataan ruang, pengendalian dan pengembalian fungsi retensi atau penyimpanan air di setiap segmen bentang alam harus jadi perhatian semua pihak.

Keterlanjuran pemanfaatan ruang di daerah genangan, katanya, harus dibarengi strategi adaptasi untuk pengurangan risiko bencana.

Sementara keterlanjuran bangunan di daerah resapan harus diimbangi rekayasa meresapkan air ke dalam tanah.

Rasionalisasi fungsi drainase harus seiring perkembangan pemukiman dan lahan terbangun.

“Beraktivitas di daerah genangan banjir harus jadi bagian program ‘bersahabat dengan bencana.’ Peningkatan retensi air melalui “bangunan ramah retensi air” dengan memperhatikan estetika harus jadi arus utama,” katanya.

Bangunan ramah retensi air, katanya, berupa sumur resapan yang mampu meresap air berlebih hingga 206 meter kubik.

Berdasarkan volume yang tak tertampung sungai itu, perlu sumur resapan untuk wilayah Depok sebanyak 186.078 atau 4.041.296 unit di delapan DAS.

Intervensi rekayasa melalui pengelak banjir atau banjir kanal perlu dipadukan dengan upaya menjaga kapasitas tampung sungai dari sedimentasi dan penumpukan sampah.

Hudoyo bilang, penanganan lahan kritis di bagian hulu oleh KLHK adalah salah satu upaya meningkatkan retensi air, namun bukan faktor tunggal pengendalian banjir.

 

Jakarta, ‘rumah’ air seperti rawa dan situ sudah berubah jadi pemukiman atau ‘hutan beton’. Daerah ini juga minim ruang terbuka hijau. Foto: BNPB

 

 

Lahan kritis dan rumah air yang hilang

Sesuai kewenangan, KLHK mengalokasikan program pemulihan lahan kritis di bagian hulu DAS untuk meningkatkan retensi air serta pengurangan erosi. Sejak 2015-2019, KLHK telah merehabilitasi 1.224 hektar di hulu DAS Ciliwung dan Cisadane.

Kondisi saat ini, erosi total di 13 DAS 217.620 ton per hektar per tahun yang bikin pendangkalan dan menurunkan kapasitas tampung 13 sungai di Jakarta.

Pengambilan air tanah yang bikin land subsidence dan mengakibatkan penggenangan di beberapa daerah seperti Cengkareng, Cawang, Pasar Minggu, Cilincing, Cakung dan Bekasi.

Penggenangan di lokasi amblesan tanah karena sistem drainase tak berfungsi dan terbentuk cekungan yang merupakan tampungan depresi.

Berada di lereng kaki sistem kipas alluvial DAS Ciliwung, katanya, menempatkan Jakarta sebagai tempat akumulasi air. Delapan DAS besar dari 13 sungai, menyuplai air ke Jakarta. Akumulasi air berlipat ganda.

Hasil perhitungan berdasarkan curah hujan BMKG pada 31 Desember 2019 dan 1 Januari 2020, menunjukkan, DAS menyuplai air ke Jakarta 7.616,88 meter kubik per detik. Terdapat kelebihan air 4.566,28 meter kubik per detik menggenangi Jakarta.

Perhitungan ini telah mempertimbangkan koefisien limpasan yang dikontrol kondisi tutupan lahan. Koefisien limpasan wilayah Jakarta, rata-rata 0,61. Artinya, 61% hujan jadi limpasan dan hanya 39% meresap ke dalam tanah.

“Sebuah gambaran betapa tata ruang punya andil dalam kejadian banjir,” kata Hudoyo.

Peta land system skala 1:250.000 menunjukkan, sebagian besar wilayah Jakarta termasuk kategori sistem lahan yang tergenang (inundated land system) hingga menjadi daerah genangan air (depression storage). Kondisi ini bikin tak cukup energi air mengalir ke tempat lebih rendah untuk menuju ke laut.

Apabila momentum ini bersamaan dengan kenaikan tinggi muka air laut, dan bikin banjir rob, katanya, intensitas banjir akan berlipat ganda.

“Banjir pada dini hari hingga pagi 1 Januari lalu memperkuat argumentasi itu, karena pada fase waktu ini terjadi kenaikan muka air laut.”

Pola hujan pun menjadi sangat tidak ramah terhadap Jakarta. Curah hujan tinggi di puncak dan hulu 13 DAS mulai berubah. Ia cenderung tersebar merata hingga ke bagian hilir.

Hujan ekstrem pada 1 Januari dengan intensitas 377 milimeter per hari di Halim, makin melegitimasi pola hujan yang berubah dan makin merata di Jakarta. Durasi hujan panjang, dengan volume tinggi, jelas-jelas menyebabkan kemampuan lahan dalam menyimpan air terlampaui.

Cuaca mendung dan hujan berhari-hari juga menurunkan peluang penyinaran matahari hingga penguapan terjadi juga sangat kecil. Kondisi ini, makin memperbesar akumulasi air di permukaan lahan.

Hasil penelusuran data hidrologi di Katulampa (Bogor), Ratujaya (Depok) dan Manggarai menunjukkan, di Depok, waktu menuju puncak banjir mengalami pemendekan. Sedangkan di Katulampa dan Manggarai relatif tetap.

Hal ini menunjukkan, di Depok, begitu terjadi hujan dalam waktu pendek ada peningkatan limpasan dengan cepat.

Kondisi ini, katanya, mengindikasikan suplai air besar mulai dari Depok. Hasil analisa perubahan penutupan lahan secara seri antara tahun 2006, 2009, 2015 dan 2019 menunjukkan, Depok mengalami peningkatan permukiman rata-rata 8% per tahun.

“Pada 2006, ada rawa seluas 55,16 hektar yang berfungsi merentesi air, namun mulai 2009 rawa itu telah berubah jadi pemukiman.“

Perkembangan Jakarta, sebagai pusat ekonomi, mengubah ‘rumah-rumah air’ berupa danau, situ dan rawa menjadi hutan beton dengan celah minimal dalam merentensi air.

Dahulu ada 1.500-an situ di Jabodetabek, saat ini tercatat tinggal 178 saja. Rawamangun, Rawa Sari, Rawa Belong dan Rawa Buaya, adalah wilayah rawa dengan peran sangat penting dalam retensi air.

Saat ini, rawa dan situ, justru jadi pusat kota dengan luas resapan sangat minimal. Berdasarkan hikayat penamaan, beberapa daerah Jakarta dulu juga merupakan tampungan air. Nama Pancoran, misal, berasal dari kata pancuran yang pada 1670 merupakan waduk atau aquada sebagai tempat penampungan air Sungai Ciliwung.

Daerah Lebak juga menyiratkan kondisi sebagai lebah yang berfungsi sebagai penampung air yang saat ini sudah menjadi daerah perkotaan dengan tingkat perumahan padat.

 

Sumber: Jatam

 

Penegakan hukum

Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum, KLHK, mengatakan, sesuai perintah Presiden Joko Widodo, KLHK akan lebih intensif penegakan hukum untuk sampah tak dikelola baik dan tambang ilegal.

Kondisi sampah tak terkelola paling banyak di Bodetabek diikuti banyaknya tempat pembuangan akhir (TPA) ilegal dan pengelolaan TPA open dumping. Akibatnya, sampah masuk ke lingkungan dan badan air seperti sungai dan saluran drainase.

Kondisi ini, menyebabkan penurunan hidraulika atau aliran air yang berdampak pada peningkatkan daya rusak air dan berakhir dengan banjir.

Baru-baru ini, kata Roy, sapaan akrabnya, Gakkum KLHK menyegel sembilan lokasi TPA ilegal, lima di Cileungsi, satu di Gunung Putri, satu di Ciledug, dan dua di Kabupaten Bekasi.

Roy mengatakan, penyegelan saja tak cukup. Selain meningkatkan perubahan perilaku dan budaya kepatuhan, katanya, KLHK akan konsekuen menegakkan hukum terhadap pengelola sampah dengan memperkuat ultimum remidium—pembinaan dan administratif—jadi primum remidium, yakni, gugatan perdata dan pidana.

“Penegakan hukum tegas dan konsisten terhadap pengelola atau penanggungjawab usaha dan kegiatan pengelolaan sampah yang tak mengikuti peraturan perundangan, norma, standar, prosedur, atau kriteria. Yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran dan perusakan lingkungan,” katanya.

Untuk itu, KLHK akan membantuk Satgas Gakkum lintas unit kerja yang bertugas identifikasi, verifikasi, pengawasan, pengumpulan bahan keterangan, penyusunan gugatan dan penyidikan. Selain sanksi administratif, katanya, gugatan perdata berujung pidana penjara dan denda bisa diterapkan.

Pada 4 Januari lalu, Doni Munardo, Kepala BNPB mengatakan, banjir dan longsor yang menerjang sejumlah wilayah di Lebak, Banten, selain karena hujan lebat karena tambang di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dalam rilis kepada media, BNPB menyebut, kalau itu tambang PT Antam, yang tak kembalikan ke fungsi semula sebagai hutan.

Roy bilang, KLHK juga akan fokus pada penegakan hukum bidang pertambangan. Sejak 2015-2019, catatan KLHK, total 37 operasi yang diproses Dirjen Gakkum terkait tambang.

Dari total operasi itu, ada 43 kasus berkas sudah lengkap dan 29 masih dalam sidik dan lidik. Sejumlah kasus ini tersebar di Sumatera, Riau, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Banten, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.

“Intensifikasi Gakkum ini di seluruh Indonesia. Kami tidak akan lihat siapa, tapi siapapun yang bertanggungjawab baik orang perorangan maupun lembaga akan diproses,” kata Roy.

Soal banjir bandang Lebak, Banten, Jokowi sempat menyebut karena perambahan kawasan hutan dan penambangan ilegal. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mempertanyakan itu.

“Apa benar keberadaan para penambang ilegal, berikut aktivitasnya, jadi Satu-satunya penyebab banjir bandang itu?” kata Melky Nahar, Kepala Kampanye Jatam.

Keberadaan para penambang ilegal itu, katannya, secara historis tak bisa terpisahkan dari masa kolonial pada 1939, diikuti PT Aneka Tambang (Antam) pada 1973 yang mulai menambang di sana.

“Para penambang ilegal itu tak serta merta ada tanpa peran dari masa kolonial dan korporasi seperti Antam,” katanya.

Bahkan, katanya, kondisi terkini, terdapat tiga perusahaan tambang beroperasi di Gunung Halimun Salak, yakni, PT Antam, konsesi 6.047 hektar, PT Putra Samudra, konsesi 1.500 hektar dan PT Bara Alam Rekhannusa, konsesi 130 hektar.

“Ini belum termasuk wilayah kerja panas bumi, WKP Gunung Endut, WKP Cisolok Sukarame, dan WKP Cibeureum-Parabakti,” katanya.

Untuk itu, katanya, jadikan penambang ilegal sebagai satu-satunya pihak yang disalahkan tak sepenuhnya benar.

Pemerintah sendiri, kata Melky, bahkan tak pernah meneliti serius soal trend dan bentuk kerusakan wilayah hulu selama ini.

Setelah curah hujan tinggi dan menyebabkan banjir, katanya, lalu para penambang ilegal tampak menjadi satu-satunya pihak yang harus ditindak.

“Kalau pemerintah tetap ingin menindak penambang ilegal, bagaimana dengan para cukong di baliknya? Berani menindak terbuka dan tegas? Bagaimana juga dengan pihak-pihak penerima manfaat dari para penambang ilegal itu?”

Selain itu, katanya, penggunaan merkuri salah satu persoalan serius daripada sekadar menindak penambang ilegal. “Darimana merkuri itu berasal? Ada dugaan, banjir kemarin itu, ikut menyebarkan merkuri ke wilayah hilir,” kata Melky.

 

 

Evakuasi korban banjir Grobogan, Jawa Tengah. Foto: BNPB

 

Evaluasi perizinan dan setop kebijakan merusak

Untuk itu, katanya, saat ini pemerintah perlu memastikan wilayah hulu terbebas dari segala bentuk aktivitas merusak.

Pemerintah, katanya, bisa mulai mengevaluasi kebijakan dengan mencabut seluruh izin tambang dan WKP, lakukan penegakan hukum, dan pulihkan kondisi sosial-ekologis yang rusak.

Zenzi Suhadi, dari Walhi Nasional mengatakan, bencana di negeri ini seperti banjir dan longosr harus jadi momen koreksi perizinan dan pemulihan fungsi lingkungan dari industri ekstraktif, antara lain, dengan menghapus kebijakan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan dan mencabut yang sudah diberikan.

Pemerintah, katanya, bisa mulai dengan kebijakan moratorium tambang. Pada 2016, Jokowi berjanji memoratoriun izin sawit dan tambang, baru ada kebijakan moratorium izin sawit, tambang belum.

Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No32/2009, memberi kewajiban bagi penerbit izin untuk mengontrol dan mengendalikan dampak izin. Begitu juga kewenangan KLHK menguasai dan meneebitkan izin di kawasan hutan, ada kewajiban memastikan fungsi kawasan tetap menyokong keberlanjutan alam dan kehidupan rakyat.

Untuk kawasan hutan di dataran tinggi seperti Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dengan topogragi berlereng curam, risiko banjir bandang sangat tinggi. Sedikit saja deforestasi, katanya, apalagi tambang, akan memicu longsoran yang membendung anak-anak sungai. “Kala curah hujan tinggi, bendungan patah hanyut bersamaan dengan air bah.”

BNPB, katanya, sudah mengeluarkan peta rawan bencana, dan BMKG merilis perkiraan cuaca ekstrem. Mestinya, kata Zenzi, banjir bandang dapat diantisipasi pemerintah kalau memang bertanggung jawab dengan kekuasaan yang mereka miliki.

“Seringkali respon baru jalan setelah bencana terjadi. Itu menunjukkan pemerintah tidak bertanggung jawab dengan kewenangan yang ada dan gagal melindungi hak rakyat untuk hidup tenang dan aman,” katanya.

Kenyataan lapangam katanya, justru kawasan rentan bencana longsor dan banjir malah risiko makin meningkat dengan menerbitkan izin-izin pelepasan kawasan hutan, pinjam pakai dan tukar guling. Termasuklah, katanya, di Pulau Jawa, seperti di landsekap Gunung Halimun Salak. “Ini menyimpan bahaya besar ketika izin-izin tambang emas di terbitkan.”

Dia contohkan lagi, di Jawa Tengah, wilayah Kendeng, berisiko besar dengan ada eksploitasi tambang karst, di Jawa Timur, masyarakat banyuwangi hadapi risiko banjir bandang karena pembongkaran Gunung Tumpang Pitu untuk tambang emas.

Potensi bencana itu, kata Zenzi, makin membesar tahun 2020, karena tahun lalu usai melewati musim panas panjang—di mana ikatan tanah yang rapuh di lereng pegunungan– sangat mudah bergerak karena curah hujan tinggi awal tahun ini.

Dia mendesak, pemulihan segera tutupan hutan Pulau Jawa, izin-izin pinjam pakai dan izin tambang harus segera dicabut. “Karena angka kerugian ekonomi di masyarakat jauh lebih besar dari nilai keuntungan investasi-investasi itu.”

Dia bilang, Jokowi harus sadar, bencana ini buah nyata berbagai investasi dan menimpa masyarakat.

Jokowi juga mewacanakan penyederhanaan berbagai aturan (omnibus law) termasuk terkait lingkungan. Menurut Zenzi, kalau tak bisa memulihkan lingkungan dan ekonomi rakyat dalam waktu singkat, jangan berpikiran menyederhanakan kebijakan.

“Karena ekologis dan dampak kerusakan tidak sesederhana pasal-pasal dalam regulasi.”

 

Banjir tak hanya terjadi di Jabodetabek. Banjir dan longsor juga terjadi di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, tepatnya di Kampung Lebo, Kecamatan Manganitu pada Jumat (3/1/20) sekitar pukul 05.30 waktu setempat. Bencana ini menyebabkan dua orang meninggal, sejumlah warga luka-luka dan puluhan rumah penduduk rusak.

 

Dampak krisis iklim, Indonesia tak siap?

Perubahan cuaca, seperti curah hujan meningkat sampai ekstrem seperti terjadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi maupun Banten, hari pertama 2020, dampak krisis iklim.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah menyebutkan hal itu. Sayangnya, infrastruktur kebencanaan di Indonesia, baik mitigasi maupun adaptasi jauh dari kata cukup atau masih minim.

Padahal, hal itu terjadi di ibukota negara dan kota-kota besar yang memiliki infrastruktur memadai ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia.

“Saya kira ini wake up call yang pahit, karena harus terjadi di ibukota, hingga seharusnya setelah ini ada langkah-langkah konkret pengambil kebijakan terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim kita,” kata Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia, ditemui dalam Konferensi Pers bertajuk Seruan Darurat dari Banjir Jakarta, Jabar dan Banten, di Jakarta, Senin (6/1/10).

Pemahaman kebencanaan, katanya, masih sangat rendah oleh para pemimpin daerah, tak hanya di Jabodetabek. Padahal, beragam kajian salah satu dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah menelurkan peta rawan bencana, dapat jadi rujukan pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan.

Dokumen-dokumen seperti rencana pembangunan jangka menengah level nasional maupun daerah, katanya, seharusnya terbangun dari analisis risiko kebencanaan. Dengan begitu, dampak krisis iklim yang memicu bencana hidrometeorologi masif dapat diminimalisir.

“(Menteri Keuangan) Sri Mulyani sendiri bilang, kan kalau kita bangun tanpa kesiapan yang baik dan kena bencana terus ada biaya pemulihan berapa triliiun (rupiah). Dalam beberapa tahun kemudian kena bencana lagi, lama-lama sumber daya nasional juga akan tergerus,” kata Leonard.

Untuk itu, penting masyarakat mendesak pemerintah baik daerah maupun nasional untuk lebih memperhatikan masalah krisis iklim dan risiko bencana. Kepekaan terhadap krisis iklim ini, katanya, bisa dipraktikkan pada pagelaran 270 pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun ini.

Pilkada kali ini, dia meminta, masyarakat tak ragu mendesak calon kepala daerah tak sekadar memerhatikan isu premordial semata. “Selain soal ekonomi, pendidikan dan kesehatan, ada persoalan serius soal bencana yang harus diminta dari pemimpin-pemimpin politik kita.”

Tak jauh beda dengan pandangan Leonard, Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta mengatakan, ketidaksiapan Indonesia mengatasi dampak krisis iklim sangat terlihat antara lain dari banjir dan longsor di Jabodetabek. Padahal, infrastruktur wilayah ini sangat memadai, dan pusat pemerintahan ada di sini. Apalagi, katanya, yang terkena banjir bukanlah wilayah baru. Pemerintah Jakarta dan pusat, katanya, sebetulnya sudah memiliki kajian dan dapat belajar dari pengalaman banjir sebelumnya.

Dengan bencana berulang ini, kata Tubagus, menunjukkan pemerintah masih abai terhadap wilayah rawan kebencanaan. Apalagi, katanya, banyak infrastruktur dibangun di wilayah rawan.

“Tata ruang kita tidak dikontrol dengan baik oleh pemerintah. Jakarta, yang pernah mengadakan pemutihan terhadap keterlanjuran salah pembangunan di masa lalu justru menunjukan ketidakpastian masa depan,” kata Tubagus. Dia contohkan, Kelapa Gading, dulu rawa jadi penuh bangunan.

Senada dengan itu, Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies menyebutkan, ketidakjelasan pembangunan di Jakarta menyebabkan 90% permukaan tanah tertutup beton.

Kondisi ini membuat air sulit meresap langsung ke tanah, hingga harus mengandalkan sungai untuk mengalirkan air secepatnya dari permukaan.

Ruang terbuka biru yang merupakan drainase dan badan air di Jakarta hanya 3% dari total luas Jakarta. “Tidak heran kalau Jakarta, banjir, kanal-kanal dan sungai tidak bisa langsung menampung air dari 90% permukaan itu,” katanya.

Keadaan ini, kata Elisa, tak lepas dari keabaian pemerintah dalam memastikan agar pengembang membangun sumur resapan dan ruang terbuka hijau sebagai ganti wilayah-wilayah yang dulu tempat air berkumpul di Jakarta.

Praktiknya, izin mendirikan bangunan (IMB) kerap sudah terbit setelah bangunan berdiri.

Praktik ini, katanya, cikal bakal dari banjir Jakarta. Dia menyarankan, keterlanjuran pembangunan disiasati dengan memaksa para pengembang atau pengguna lahan tetap membangun sumur resapan dan ruang terbuka hijau.

“Kita bisa mulai klasifikasi untuk tahu di mana harus bangun itu. Bisa klasifikasi dari developer yang gunakan wilayah besar. Itu tandanya dana mereka banyak, bisa juga dari wilayah-wilayah yang biasa terdapat genangan.”

 

Ilustrasi. Tutupan hutan yang hilang harus dikembalikan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Tak cukup hanya bangun infrastruktur

Upaya mitigasi terhadap bencana, tak bisa hanya dengan membangun infrastruktur. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyebutm upaya dapat melalui penyelesaian struktural dan nonstruktural.

Danis Sumadilaga, Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan saat dihubungi terpisah mengatakan, upaya untuk Jabodetabek antara lain, menyelesaikan sodetan dari Kali CIliwung ke Kanal Banjir Timur, progres lebih 50%.

“Dua pekerjaan itu berdasarkan masterplan yang sudah dibangun sejak 1972. Kami revisi berkali-kali, terakhir pada 2017,” katanya.

Ada pula pembangunan Bendungan Sukamahi dan Ciawi di Puncak.

Upaya-upaya itu, katanya, sebagai mitigasi struktural. Selain itu, kata Danis, perlu upaya nonstruktural seperti taat pada pemanfaatan ruang dengan cara memperbaiki kondisi hutan dan lingkungan serta edukasi pada masyarakat.

Upaya struktural dan nonstruktural, katanya, sudah teridentifikasi dan dijalankan pemerintah daerah maupun pusat.

“Hanya, kan ada beberapa kendala, seperti kalau struktural kendala dana dan kawasan. Ada juga kendala ketaatan hukum kurang,” katanya.

Dia setuju, kalau penegakan hukum berjalan kuat agar semua pihak berpaut pada tata ruang yang telah disepakati. “Sudah jelas dalam tata ruang ada bagian yang harus dikonservasi dan bisa dibudidaya, itu saja yang harus diikuti. Perlu law enforcement untuk memastikan tata ruang dipatuhi,” katanya.

Leonard meminta, pemerintah membatasi produksi karbon yang dapat memperburuk perubahan iklim. Dia menilai, ada dua langkah fundamental perlu berjalan, yaitu, transisi ke energi terbarukan, dan menyetop deforestasi.

“Menggunakan energi terbarukan, artinya kita setop batubara yang menghasilkan emisi tinggi. Setop deforestasi, artinya menghentikan perluasan sawit. Dua hal itu masalah emisi Indonesia.”

 

 

Keterangan foto utama:  Genangan banjir di Jakarta, awal tahun lalu. Banjir Jakarta, multidimensi. Ada dimensi iklim, bentang alam, tata ruang dan tata kelola, serta dimensi sosial ekonomi yang melibatkan banyak sektor dan kepentingan. Foto: BNPB

 

Exit mobile version