Mongabay.co.id

Nelayan Aceh: Pemerintah Harus Tegas pada Kapal Asing Pencuri Ikan

Ikan tuna yang ditangkap nelayan di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Aceh merupakan provinsi yang memiliki luas kawasan laut mencapai 295 ribu kilometer persegi, dengan garis pantai sepanjang 2.666 kilometer. Dengan kawasan seluas ini, potensi perikanan Aceh diperkirakan mencapai 1,6 juta ton per tahun.

Potensi laut melimpah ini membuat perairan Aceh tidak luput dari incaran kapal nelayan asing untuk mencuri ikan.

Marzuki, nelayan di Pelabuhan Lampulo, Kota Banda Aceh, pada 10 Januari 2020 mengatakan, biasanya pencuri ikan di perairan Aceh adalah kapal nelayan berbendera Thailand dan Malaysia.

“Mereka masuk malam hari untuk menghindari patroli penegak hukum,” terang lelaki yang sudah 30 tahun menjadi nelayan.

Pria asal Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur itu mengatakan, untuk mengelabui penegak hukum, umumnya pencuri itu menggunakan kapal kayu yang mirip nelayan lokal. “Bahkan, mereka sering menggunakan Bendera Indonesia,” ujarnya.

Mereka tidak hanya mencuri tetapi juga, alat tangkap ikan yang digunakan merusak terumbu karang dan ekosistem laut. “Umumnya pukat harimau yang jelas-jelas dilarang.”

Baca: Menjaga Laut Merupakan Kearifan Nelayan Aceh

 

Ikan tuna yang ditangkap nelayan di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hal senada disampaikan Sulaiman, nelayan Kuala Langsa, Kota Langsa, Provinsi Aceh. Kapal nelayan asing itu berkelompok, berdekatan menarik pukat harimau. “Tidak ada nelayan lokal yang berani mendekat kapal-kapal itu karena lebih besar, lebih kuat, dan tidak segan menabrak kapal nelayan lokal,” ungkapnya.

Sulaiman berharap, pemerintah tegas menindak kapal pencuri ikan. Ini masalah kedaulatan Indonesia. “Pencurian ikan di perairan Aceh pernah berkurang saat Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP] tegas dengan menangkap dan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan,” ungkapnya.

Baca: Melihat Masa Depan Panglima Laot di Aceh

 

Pasar ikan di Lampulo, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Umar Abdul Azis, Sekretaris Panglima Laot atau Lembaga Adat Laut Aceh mengatakan, pemerintah harus tegas dengan keadaan ini. Nelayan lokal dilarang melakukan penangkapan ikan dengan cara merusak laut, tapi sangat tidak masuk akal kalau pemerintah tidak tegas dengan pencurian ikan asing yang merusak.

“Mereka mencuri menggunakan kapal di atas 50 GT atau kapal besar dengan jumlah sangat banyak,” terangnya.

Patroli laut harus diperketat. “Pencuri ikan harus ditindak tegas sesuai undang-undang, agar membawa dampak positif bagi nelayan lokal,” jelasnya.

Baca: Bangkaru, Satu-satunya Pulau Konservasi Penyu di Aceh

 

Kearifan lokal menjaga laut dijalankan penuh nelayan Aceh dengan tidak menggunakan bom atau pukat harimau. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Nelayan Aceh tidak merusak ekosistem laut

Menangkap ikan ramah lingkungan dengan tidak merusak terumbu karang maupun membunuh atau menangkap benih ikan, telah lama dipraktikkan nelayan Aceh. Mereka tunduk pada Panglima Laot yang secara adat mengatur menangkap ikan dan waktu larangan melaut.

Wakil Sekretaris Panglima Laot Aceh, Miftah Cut Adek, Senin [13/1/2020] mengatakan, aturan adat telah berjalan jauh sebelum Indonesia merdeka. Atau, sebelum undang-undang tentang perikanan berlaku.

“Nelayan Aceh dengan aturan adat tidak menggunakan racun atau bius, pukat harimau, bahan peledak dan arus listrik untuk menangkap ikan,” terangnya.

Namun, Miftah mengakui masih ada masyarakat yang melanggar aturan ini, meski tidak banyak. Apabila ketahuan, mereka akan diserahkan ke pihak berwajib untuk diproses sesuai dengan aturan. “Kami juga mendorong agar denda adat kembali diberlakukan sehingga pelaku yang merusak ekosistem laut jera.”

Kami juga punya aturan pantangan melaut, seperti hari Jumat, tiga hari selama libur Idul Fitri, tiga hari selama Idul Adha, tiga hari saat kenduri laut, setiap 17 Agustus, serta satu hari peringatan tsunami atau 26 Desember. “Jika dihitung, nelayan Aceh libur melaut hampir dua bulan dalam setahun yang tidak termasuk cuaca buruk,” ungkapnya.

Menurut Miftah, hari pantang melaut itu jangan dianggap sepele, karena memberikan kesempatan ikan untuk berkembang biak. “Tanpa disadari, nelayan Aceh telah melakukan kegiatan ramah lingkungan, tidak menguras laut dengan serakah,” ujarnya.

Baca juga: Nelayan Aceh Sambut Baik Penenggelaman Kapal Asing Pencuri Ikan

 

Nelayan tradisional Aceh saat menangkap ikan di pantai Banda Aceh. Aturan laut secara tradisional dikelola oleh Panglima Laot. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi, pada 28 November 2019, Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan [PSDKP] Lampulo, Kota Banda Aceh, menangkap kapal nelayan berbendera Malaysia di perairan Selat Malaka. Saat pemeriksaan, kapal PKFA 7949 ukuran 59 GT itu tidak memiliki izin dan melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dan menggunakan alat tangkap yang dilarang.

Sebelumnya, Februari 2019, PSDKP Lampulo, menangkap dua kapal tersebut, KM KHF 2598 berukuran 64 GT dan KM KHF 1980 berukuran 63 GT berbendera Malaysia. Namun, seluruh anak buah kapal [ABK] merupakan warga Thailand. Dua kapal itu juga mencuri ikan di perairan Indonesia dengan alat tangkap yang merusak ekosistem laut.

 

 

Exit mobile version