Mongabay.co.id

Tambang Pasir Laut Galesong Rusak Ekosistem Laut dan Sebabkan Abrasi

 

Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar dan warga Galesong Kabupaten Takalar kembali menyuarakan aksi menuntut pemerintah menghentikan tambang pasir di Galesong Takalar dan reklamasi sepanjang pesisir Makassar, Sulawesi Selatan.

“Kami meminta pemerintah untuk segera menghentikan semua proyek reklamasi di Kota Makassar, batalkan semua permohonan izin lingkungan tambang di perairan Galesong dan pulihkan pesisir Makassar dan Galesong,” ungkap Fahri Daeng Koto, juru kampanye ASP, di Makassar, Minggu (26/1/2020).

Tuntutan ini adalah buntut dari adanya rencana akan dilanjutkannya pembangunan Center Point of Indonesia (CPI) dan Makassar New Port (MNP), yang material pasirnya diambil dari tengah laut sepanjang pesisir Galesong, melanjutkan penambangan pasir yang telah dilakukan pada tahun 2017-2018, yang melibatkan perusahaan dari Belanda, Boskalis dan Jan De Nul.

Menurut Fahri, saat ini enam perusahaan telah mengajukan izin penambangan pasir laut dimana tiga di antaranya telah melakukan konsultasi publik.

baca : Ramai-ramai Menolak Tambang Galian Pasir Laut di Galesong

 

Aksi Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar bersama warga Galesong Kabupaten Takalar menolak tambang pasir serta reklamasi CPI dan MNP. Keberadaan proyek yang menggunakan material pasir dari laut dianggap telah merusak ekosistem lat dan menyebabkan abrasi yang parah. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

ASP dan warga Galesong mengkhawatirkan kondisi ketika Boskalis selama delapan bulan melakukan pengisapan pasir di wilayah pesisir Galesong sepanjang 2017-2018 akan terjadi lagi.

Dampaknya kini dirasakan masyarakat di sekitar kawasan aktivitas pengambilan pasir tersebut, berupa terjadinya abrasi di beberapa desa.

“Berdasarkan hasil pemantauan ASP per Januari 2020, lebar abrasi di pesisir Galesong mencapai 2-10 meter, menyebabkan 12 rumah rusak ringan dan 2 rusak berat, 2 jalan beton rusak, 2 tempat wisata dan 3 penahan ombak rusak dan tertimbun pasir, serta 1 pemakaman umum tergerus habis,” ujarnya.

Secara rinci Fahri menjelaskan kerusakan tersebut di sejumlah desa, yaitu di Desa Mangindara, Kecamatan Galesong Selatan ditemukan abrasi sepanjang 10 meter, menyebabkan kerusakan fasilitas jalan, dua penahan ombak rusak parah dan 1 penahan ombak tertutupi pasir.

Di Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong Selatan, terjadi abrasi selebar sekitar 10 meter, yang menyebabkan rusaknya fasilitas wisata berupa pondok wisata.

Di Desa Bodia, Kecamatan Galesong, area tambatan perahu nelayan rusak parah sepanjang 3 meter. Nelayan yang bermukim di pesisir selalu waspada karena penahan ombak rusak karena abrasi dan air yang sudah menembus penahan ombak.

Di Desa Tamasaju Kecamatan Tamasaju, abrasi pantai menyebabkan kerusakan 7 rumah nelayan, begitu juga dengan fasilitas wisata, jalanan dan penahan ombak yang terdampak cukup parah.

 Sementara di Desa Sampulungan Kecamatan Galesong Utara, abrasi mencapai 7 meter, menyebabkan rusaknya di rumah warga dan kerusakan pada pemakaman umum.

“Penyebab abrasi di pesisir Galesong ini bukan dikarenakan cuaca ekstrem, tapi hilangnya fungsi pasir dan terumbu karang sebagai peredam gelombang laut secara alami. Kita tahu, ada 4 jenis peredam ombak secara alami yakni lamun, terumbu karang, pasir dan hutan mangrove. Ketika salah satu peredam ombak tidak ada atau tidak berfungsi lagi, maka abrasi akan terjadi,” jelas Fahri.

baca juga : Tolak Tambang Pasir Laut, Warga Takalar Ramai-ramai Bakar Pantai

 

Abrasi yang terjadi di beberapa desa pesisir sekitar perairan Galesong pada awal Januari 2020 lalu. Abrasi yang diyakini disebabkan oleh tambang pasir laut ini menyebabkan kerusakan pada fasilitas umum dan pemukiman warga. Beberapa warga bahkan harus mengungsi. Foto: ASP/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Makmur, warga Desa Mangindara, Kecamatan Galesong Selatan yang desanya turut terdampak abrasi, abrasi ini terjadi kemungkinan besar karena aktivitas tambang tersebut, karena baru terjadi dua tahun terakhir, setelah adanya penambangan pasir laut di wilayah tersebut.

Abrasi ini telah disampaikan ke Pemkab Takalar melalui kepala desa setempat. Namun hingga saat ini belum ada respons, juga tidak ada ganti rugi dari pihak perusahaan. Makmur khawatir abrasi akan berlanjut karena adanya perpanjangan izin penambangan enam perusahaan.

“Saya dengar dari teman-teman di Walhi kalau tambang pasir ini akan dilanjutkan karena sudah ada perpanjangan izin penambangan. Kondisi sekitar pantai Galesong ini akan semakin parah, khususnya di Galesong Utara yang paling terkena dampak.”

perlu dibaca : Tak Setop Tambang Pasir Laut Galesong, Koalisi Ancam Gugat Hukum Pemerintah dan Perusahaan

 

Kronologi masalah

ASP dan warga sendiri telah menolak proyek pembangunan CPI dan MNP sejak tiga tahun silam, karena bahan material pembangunan berupa pasir diambil dari laut Galesong.

Ketika itu, konflik antara perusahaan dan warga ketika itu cukup dramatis dimana warga sempat melakukan aksi unjuk rasa dan pengadangan kapal yang sedang beraktivitas. Beberapa warga kemudian diciduk pihak kepolisian dan angkatan laut dengan tuduhan pengancaman.

Pada akhir 2017, setelah mendapat penolakan besar-besaran, Boskalis kemudian menghentikan aktivitasnya. Namun ini hanya berlangsung sebulan, karena Boskalis melanjutkan melanjutkan aktivitasnya. Aktivis lingkungan dan warga kembali melakukan aksi penolakan hingga kemudian Boskalis menghentikan aktivitasnya secara permanen pada Maret 2018.

perlu dibaca : KKP Surati Gubernur Sulsel, Minta Tambang Pasir di Takalar Dihentikan

 

Warga bahu membahu memperbaiki lingkungan sekitar yang terkena abrasi. Hingga saat ini belum ada respons dari pemerintah daerah dan perusahaan. Foto: ASP/Mongabay Indonesia.

 

Muhaimin Arsenio, juru kampanye Walhi Sulsel, meski penambangan pasir dihentikan namun tidak serta menjadi solusi bagi penanganan tambang pasir tersebut. Pemprov Sulsel menerbitkan Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang justru memberi legalitas penambangan tersebut.

Dalam proses penyusunan Perda, usulan nelayan sebagai stakeholders utama agar tidak memasukkan zona tambang di wilayah tangkapan nelayan diabaikan. DPRD malah dituding melakukan pengesahan secara sembunyi-sembunyi mengabaikan aspirasi masyarakat.

“Nelayan sangat kecewa dengan sikap wakil rakyat yang tidak mengakomodir aspirasi nelayan. Mereka mengabaikan usulan nelayan. Seharusnya Pansus RZWP3K belajar dari pengalaman, karena tambang pasir laut yang lalu sudah merampas ruang hidup nelayan,” kata Muhaimin.

Di awal tahun 2019, masalah lain muncul ketika terdengar kabar adanya tiga perusahaan yang sedang mengajukan surat permohonan izin lingkungan di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulsel untuk melakukan tambang pasir laut lanjutan. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT. Cipta Konsolindo, PT. Danadipa Agra Balawan dan PT. Waragonda Indogernet Pratama.

ASP lalu mengajukan surat penolakan permohonan izin yang diajukan ketiga perusahaan itu ke DLH Sumsel. Ketiga perusahaan kemudian tidak melanjutkan pengurusan izin.

Namun di pertengahan Agustus 2019, justru ada penambahan tiga perusahaan yang mengajukan izin, yaitu PT. Nugraha Indonesia Timur, PT. Banteng Laut Indonesia dan PT. Berkah Bumi Utama. Total luasan izin yang diajukan untuk enam perusahaan tersebut adalah 5.018,83 ha, atau dua kali lipat luas daratan Kecamatan Galesong Utara.

Tiga perusahaan terakhir yang mengajukan izin bahkan telah melakukan konsultasi publik. Dalam forum konsultasi publik yang diadakan oleh perusahaan dan DLH. Perwakilan nelayan secara terang-terangan menolak tambang pasir laut, namun protes yang dilakukan oleh tokoh nelayan tidak diakomodir dengan baik.

“Mereka justru melaksanakan lagi konsultasi publik secara tersembunyi tanpa ada keterlibatan dari semua nelayan Galesong, dimana yang diundang hanya orang-orang menerima yang tidak ada hubungannya dengan laut. Kalau penambangan ini terealisasi maka akan ada puluhan desa pesisir di Galesong terkena dampak dan ribuan nelayan yang terancam wilayah tangkapnya, jika tambang pasir laut beroperasi kembali.”

baca juga : Penambangan Pasir di Perairan Galesong Terus Berlanjut, Warga Ultimatum Pemprov Sulsel

 

Kapal pengeruk pasir Fairway setelah sempat menghentikan pengerukan pasir selama tiga hari kembali beraktivitas dengan pengawalan dari Polair. Foto: NT/istimewa

 

Sedangkan Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Sulsel, Andi Hasdullah, membenarkan adanya rencana penerbitan izin tambang pasir laut sejumlah perusahaan di Galesong. Izin ini nantinya diberikan mengacu pada Perda RZWP3K, yang salah satunya mensyaratkan aktivitas penambangan harus dilakukan di luar 8 mil dari garis pantai.

“Kalau sebelumnya memang ada yang beroperasi di dalam 8 mil, tetapi itu kan sebelum adanya Perda dan itu sudah dicabut izinnya. Sekarang ada tiga yang mengajukan izin. Kita proses sesuai Perda Zonasi sehingga hanya yang memenuhi syarat saja yang berlanjut,” katanya ketika dihubungi Mongabay, Rabu (28/01/2020).

Terkait abrasi, menurutnya sudah ada upaya dari Pemprov untuk memperbaiki kerusakan yang ada, termasuk pembangunan tanggul.

“Pak Gubernur sudah melakukan kunjungan ke lapangan dan telah diprogramkan mengatasi abrasi tersebut melalui pembangunan tanggul kerjasama dengan Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang,” tambahnya.

 

Exit mobile version