Ramai-ramai Menolak Tambang Galian Pasir Laut di Galesong

Nur Alam meradang. Bicaranya berapi-api. Dengan tegas ia menolak rencana sejumlah perusahaan melakukan penambangan pasir di perairan Kecamatan Galesong dan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

“Bagi saya kita tidak usah bicara tentang kajian-kajian lagi, tapi bagaimana supaya proses ini bisa dibatalkan. Kalau perlu kita undang pak JK (Jusuf Kalla) datang kemari karena beliau orang sini juga. Kita tanyakan apakah Sulawesi ini memang mau diratakan dengan tanah?” ungkapnya bersemangat.

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) Sulawesi Selatan di Warkop Phinisi Makassar, Selasa (28/3/2017) ini, Nur Alam menyampaikan kekhawatirannya akan dampak penambangan tersebut terhadap eksistensi masyarakat Galesong.

“Galesong di masa lalu dikenal sebagai pelabuhan Kappala Tallu Batua, tempat pasukan Belanda pertama kali mendarat di Sulawesi Selatan. Lalu sekarang Galesong dikenal sebagai pelabuhan Seribu Pulau, karena semua perahu-perahu berlabuh di sini. Di masa yang datang Galesong hanya akan menjadi pelabuhan tanpa kapal. Ini pasti terjadi kalau penambangan pasir ini jadi direalisasikan,” katanya.

 

 

Polemik penambangan pasir di perairan Galesong sendiri muncul seiring adanya Surat Pengumuman dari Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan meminta tanggapan masyarakat yang terkena dampak dan pemerhati lingkungan. Ini terkait adanya permohonan izin lingkungan untuk penambangan pasir di wilayah ruang laut Kecamatan Galesong dan Galesong Selatan seluas 1.000 hektar yang diajukan oleh PT Lautan Phinisi Resources. Galian pasir ini akan digunakan untuk penimbunan di kawasan reklamasi Centerpoint of Indonesia (CPI) Makassar.

Data dari Walhi Sulsel menunjukkan bahwa selain PT Lautan Phinisi Resources, terdapat tiga perusahaan lain diketahui akan mengajukan izin lingkungan yang sama, antara lain PT Mineratama Prima Abadi, PT Hamparan Laut Sejahtera dan PT Yasmin Resources. Untuk tiga perusahaan saja luas wilayah laut yang diajukan izin lingkungan sekitar 8.781,14 hektar.

Sepaham dengan Nur Alam, Aminuddin Salle, dari Forum Pemerhati Galesong (FPG), menilai penambangan pasir ini akan berdampak tidak hanya kehidupan ekonomi masyarakat Galesong, tetapi juga pada kerusakan ekosistem sekitar dan pada kebudayaan setempat.

“Dari pada kita menyingkir ke Jawa seperti yang dulu dilakukan Karaeng Galesong ketika dijajah Belanda mungkin lebih baik kita mati di sini saja. Kita berjuang menolak karena dampaknya yang akan mematikan kita secara pelan-pelan. Bukan hanya orang-orang Galesong saja, namun semua orang akan mati pelan-pelan karena tidak ada lagi ikan yang bisa dimakan,” ujarnya.

Aminuddin yang juga perupakan pakar hukum dari Unhas ini menilai proyek penambangan pasir itu cacat hukum dan tidak sah karena tidak memiliki cantolan hukum yang jelas. Dari segi kemanfaatan juga dinilai lebih banyak dampak negatifnya.

“Apapun alasan penambangan ini tidak akan masuk akal. Biota laut akan mati pelan-pelan, ombak yang semakin besar akan semakin menggerus pantai. Kalau ini tetap dilanjutkan maka ke depan Galesong mungkin hanya akan tinggal sejarah saja.”

 

Penambangan pasir yang diperkirakan mencapai 22 juta kubik ini akan digunakan untuk keperluan reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) di pesisir Makassar. Sebagian besar kawasan direklamasi ini nantinya merupakan kawasan bisnis. Foto: Wahyu Chandra

 

Dampak Ekologis yang Meluas

Secara ekologis keberadaan tambang pasir ini diperkirakan akan memberi dampak kerusakan yang luar biasa, tidak hanya pada pesisir Galesong saja, tetapi juga ada perairan-perairan sekitarnya.

Menurut Syafyuddin Yusuf, pakar ekologi dan terumbu karang dari Universitas Hasanuddin, ancaman terbesar dari penambangan pasir ini adalah terjadinya kekeruhan air, yang akan mengganggu proses produksi fotosintesis di dalam air. Produksi pun plankton ikut terganggu, sehingga berdampak pada ikan-ikan yang ada.

“Dengan luasan 8.000-an hektar lebih itu luar biasa. Itu dampak primer. Dampak sekundernya ketika bekas-bekas lumpur yang tidak terangkut itu menyeberang ke daerah yang lebih luas lagi, lebih dari 8.000-an hektar tersebut. Keberadaan terumbu karang turut terancam. Pulau Sanrobengi yang akan langsung terkena dampak, menyusul pulau-pulau lain sekitar.”

Dampak lain, ketika sedimen itu terbongkar maka bahan-bahan kimia yang sudah lama terendap di dasar laut ikut terbongkar. Tidak hanya beracun namun juga menyebabkan kurangnya oksigen dalam air sehingga akan membunuh biota laut yang ada.

“Racun-racun yang terangkat itu juga menyebabkan bloming organisme alien, yang sebelumnya tidak pernah ada tiba-tiba muncul karena proses penyuburan dan peracunan air yang tiba-tiba. Pada akhirnya seluruh organisme yang ada akan terdampak. Produksi perikanan akan terganggu hingga pada akhirnya hilanglah mata pencaharian nelayan.”

Menurut Asmar Exwar, Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, rencana penambangan pasir secara massif sebenarnya telah menjadi kekhawatiran mereka dari awal dimulainya reklamasi CPI.

“Ini menunjukkan bahwa dampak reklamasi bukan hanya secara langsung pada daerah yang direklamasi tapi juga pada sumber materialnya yang luasannya cukup besar,” katanya.

Terkait hal ini, Asmar menyarankan agar masyarakat menyampaikan secara resmi penolakan kepada Pemda kabupaten dan provinsi. Menolak dengan berbagai pertimbangan yang ada, baik secara budaya, sosial ekonomi dan lingkungan.

 

Masyarakat Galesong sebagian besar menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Keberadaan tambang pasir diperkirakan bisa membunuh ikan-ikan yang ada, bahkan bisa berbahaya bagi kesehatan karena terbongkarnya racun-racun yang ada di dasar laut. Foto: Wahyu Chandra

 

Perlu Kajian Menyeluruh

Menurut Mahatma, pakar oseonografi dari Universitas Hasanuddin, perlu ada kajian yang menyeluruh sebelum penambangan ini dilakukan karena volume pasir yang akan ditambang jumlahnya sangat besar, mencapai 22 juta kubik. Sehingga potensi dampaknya pun akan sangat besar juga.

“Makanya kami sangat berharap agar kajian Amdalnya dilakukan dengan benar dan hasilnya nanti disampaikan secara transparan, agar semua pihak termasuk masyarakat bisa mengetahui dengan baik. Memang perlu ada sinergi semua pihak,” katanya.

Menurut Mahatma, penambangan pasir memang banyak ditolak di banyak daerah namun perlu juga diketahui bahwa aktivitas penambangan pasir di laut itu juga dilindungi oleh aturan perundang-undangan yang ada. Misalnya melalui Kepmen KKP No 33 tahun 2002 yang membolehkan penambangan dengan sejumlah syarat.

“Memang ada daerah-daerah yang tak boleh dilakukan penambangan, misalnya tidak boleh di perairan dangkal yang kurang dari 10 meter, terus jaraknya dari garis pantai tak boleh kurang dari 2 mil, dan harus memperhatikan ekosistem yang ada. Termasuk terumbu karang dan lainnya lainnya harus diperhatikan.”

Dari tinjauan akademis, Mahatma mengakui belum bisa memberikan pandangan karena keterbatasan data dan informasi yang dimiliknya dan belum ada penelitian sebelumnya.

“Kalau kita dari akademisi yang kita harapkan Amdal nya dulu seperti apa, apakah hasilnya tidak berdampak besar. Kalau memang iya maka harus ditinjau kembali namun jika ternyata kecil maka apa salahnya untuk dilanjutkan. Penambangan pasir kan ada juga dampak positifnya. Salah satunya pendangkalan yang memang harus dikeruk. Ini juga pilihan paling murah secara ekonomi, dibanding mengambil dari darat dan ini bisa membuka lapangan kerja.”

Mahatma selanjutnya menyarankan perlunya pendekatan pengetahuan dan teknologi dalam memahami potensi dampak penambangan tersebut.

“Dalam ilmu oseonografi misalnya ada namanya pemodelan untuk mengetahui pola arus sebelum dan setelah dilakukan pengerukan, serta bagaimana perambatan gelombangnya. Kalau sangat signifikan mengancam maka tak ada alasan untuk dilanjutkan.

Selain itu, ia berharap penilai Amdal yang akan mengkaji harus memiliki integritas dan komitmen dan harus independen, meskipun ditugaskan oleh daerah.

“Hasil kajian dari penilai ini sangat penting karena di sinilah biasanya pemerintah memberikan rekomendasi akhir apakah lanjut atau tidak.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,