Mongabay.co.id

Menyoal Omnibus Law, Jangan Hanya Pentingkan Urusan Pengusaha

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Proses penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja, yang jadi rancangan penyederhanaan berbagai UU (omnibus law) dinilai tidak transparan dan khawatir mengabaikan kepentingan lingkungan dan sosial. Koalisi masyarakat sipil dan pegiat lingkungan menilai penyusunan omnibus law terburu-buru, hanya mengedepankan kepentingan pebisnis. Dari sisi pemerintah berusaha meyakinkan, kalau regulasi ini tetap mengedepankan lingkungan hidup dan sosial masyarakat.

“Saya tidak tahu dasar ilmiah (pembuatan RUU) ini apa yang mendasarinya. Ini seperti kembali pada periode 1950-1960-an lalu,”  kata Emil Salim, Begawan Ekonomi juga Menteri Lingkungan Hidup Indonesia pertama, saat menghadiri serah terima jabatan Direktur Eksekutif ICEL dari Henri Subagiyo kepada Raynaldo Sembiring, di Jakarta, akhir Januari lalu.

Dia mengatakan, eksternalitas atau dampak sosial dan lingkungan tergeser alias dalam aturan itu tak memperhitungkan biaya lingkungan, ada perpanjangan izin usaha pertambangan dan tidak menekankan sumber daya terbarukan.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

Emil berharap, tetap mempertahankan ekonomi lingkungan dengan dimensi sosial demi keberlanjutan bangsa dan tanah air.

Reynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan, pembentukan regulasi dengan risk based ini bisa menimbulkan pertentangan sangat kuat karena banyak kebimbangan terkait regulasi. Penentuan risiko ini, katanya, cenderung subyektif dan mudah diperdebatkan tergantung pada penyusun.

Yang diperlukan saat ini, katanya, dalam konteks perlindungan lingkungan adalah data risiko lingkungan. “Investasi yang baik pasti memperhatikan risiko lingkungan.”

Ahmad Alamsyah Saragih, anggota Ombudsman Indonesia mengatakan, regulasi omnibus law ini mengubah rezim izin menjadi rezim standar dengan pendekatan berbasis risiko. Sebelumnya, Ombudsman berniat mendalami regulasi ini, bukan melihat salah atau benar, tetapi lebih pada dampak ke depan.

“Kita sudah mengundang Kemenko Perekonomian namun ditolak karena katanya belum ada arahan presiden dan persetujuan menteri. Ini pertama kali kami dapat jawaban seperti ini,” katanya.

Bahkan, Kemenko Perekonomian meminta masukan, di mana Ombudsman tidak mengetahui substansi draf atau naskah akademik dari RUU itu.

 

Warga memperlihatkan tanahnya yang berkonflik dengan PTPN XIV. Konflik antara warga Takalar, Sulsel dengan pihak PTPN XIV telah berlangsung sejak 2007 silam ketika HGU pabrik gula ini berakhir. Sejumlah lahan warga yang telah ditanami dibongkar paksa menggunakan alat berat. Dengan ada inpres percepatan pendaftaran tanah, bagaimana dampak terhadap para petani ini?
Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Ombudsman menyoroti, karena transparansi pemerintah minim dalam penyusunan regulasi yang bisa berdampak pada masyarakat dan lingkungan. “Betul nanti ada pembahasan di DPR, tapi jangan adu masyarakat dengan wakilnya.” Dia sebutkan, ketertutupan ini sama saat pembahasan revisi UU KPK.

Berdasarkan data pengaduan masyarakat yang masuk ke Ombudsman pada subsektor pertambangan dan energi dalam perizinan, ada 39% permasalahan menyangkut penyimpangan prosedur, 46,4% berupa penundaan berlarut, 15,5% tak memberikan pelayanan, dan lain-lain.

Baca juga: Omnibus Law, Potensi Tambah Masalah Lingkungan dan Sosial

Kalau berbicara kategorisasi, katanya, paling banyak laporan perpanjangan izin usaha (27), penyesuaian dan peningkatan status izin (17) dan penetapan status clean and clear (15). Adapun, perpanjangan itu atau penyesuaian dan peningkatan status izin bukan terkait pemberian tetapi izin sudah ada dan bermasalah.

Ombudsman pun menyoroti ketimpangan tim penyusun omnibus law yang hanya terdiri dari pemerintah dan pengusaha (Kadin) sebagai penerima manfaat.

Menurut dia, masyarakat sebagai penerima dampak wajib ikut serta.

“Apapun pilihan kebijakan, kalau pemerintah ngotot tak melibatkan orang-orang yang terdampak, pada hari sama kami terima surat penolakan, pemerintah diskusi dengan Kadin. Kadin kan penerima manfaat,” katanya.

Dia bilang, tak salah kalau Kadin terlibat, namun perlu juga melibatkan masyarakat yang akan menerima dampak langsung.

Dida Gardera, Asisten Deputi Pelestarian Lingkungan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomi mengatakan, dalam penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja hanya merevisi terkait proses perizinan, tidak akan mengabaikan bahkan mengurangi sedikitpun kualitas pertimbangan lingkungan.“Tidak mendikotomikan antara ekonomi dan lingkungan,” katanya.

RUU yang digadang-gadang menjadi ‘RUU sapu jagat’ karena menyusutkan atau menyapu beberapa pasal-pasal dalam berbagai UU yang dianggap menghambat laju pertumbuhan ekonomi atau investasi. Kondisi ini berpotensi menghilangkan beberapa hal penting dalam meminimalkan dampak lingkungan, salah satu izin lingkungan.

“Amdal (pada RUU ini) menjadi izin usaha, bukan izin untuk mendapatkan izin,” katanya.

Selama ini, amdal sebagai izin lingkungan hanya ada di Indonesia, katanya, menitikberatkan pada birokrasi, dibandingkan substansi.

”Izin lingkungan (selama ini) tidak terlalu efektif dalam menjaga lingkungan, lebih heavy (menitikberatkan) dalam birokrasi administrasinya,” katanya.

Dia mengatakan, banyak izin lingkungan sudah dicabut, namun proyek masih terus berjalan. “(Regulasi ini) yang dipangkas hanya birokrasi dan tidak mengurangi peran masyarakat, lebih fokus pada masyarakat yang terdampak langsung.”

 

Aturan omnibus law, yang sedang disusun bisakah ikut memperkuat upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di negeri ini?  Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Peran pengusaha

Halim Kalla, Wakil Ketua Kadin Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup menegaskan, Indonesia telah ketinggalan dalam kemudahan berusaha. Dia pun bercerita sebagai pengusaha sering mengalami kesulitan dalam menghadapi hambatan dan izin yang berbelit-belit.

“Saya kira ini menjadi terobosan dari pengusaha dan pemerintah untuk bagaimana memudahkan berusaha di Indonesia,” katanya. Dia menampik tudingan RUU ini hanya melihat pengusaha, tidak melihat aspek lingkungan.

”Bukan karena omibus law ini [pertimbangkan] lingkungan kemudian menjadi beres, tapi bagaimana memangkas izin-izin yang tidak perlu hingga pengusaha lancar. Bukan karena omnibus law ini lingkungan terabaikan, sama sekali tidak.”

Menurut dia, peran Kadin dalam Satgas Omnibus Law ini memberikan pandangan terkait pasar dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Draf RUU bukan disusun pengusaha atau Kadin, mereka hanya terlibat dalam mengoreksi.

“Draf ini kami terima, kami koreksi, mungkin titik koma. Kami diberi waktu sangat singkat sekali,” katanya.

Mas Achmad Santosa, CEO Indonesian Ocean Initiative mengatakan, tujuan regulasi ini baik dalam menyederhanakan peraturan perizinan dan menghilangkan ego sektoral mengingat birokrasi perizinan berbelit-belit dan memakan waktu panjang. ”Tapi jangan izin lingkungan yang dimatikan, jangan amdal yang dikecilkan,” katanya.

Pemerintah, seharusnya lebih menitikberatkan perbaikan pada proses bukan pada substansi. Dia mengjhawatirkan, kalau tidak ada izin lingkungan, tidak ada yang mengawasi dalam kepatuhan lingkungan. Soal penerbitan izin, pengawasan sampai sanksi pelanggaran, katanya, harus diperjelas dalam regulasi omnibus law.

Dengan ada izin lingkungan, merupakan kekuatan bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengatakan layak atau tidak satu pembangunan atau investasi. Kalau tidak ada, katanya, tidak ada lagi yang menjadi aturan penjaga atau safeguard.

”Jika, tadi disebutkan tidak ada pendikotomian antara lingkungan dan ekonomi, maka paradigmanya pembangunan berkelanjutan,” katanya.

Hal itu, katanya, harus mencakup instrumen-instrumen dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32/2009, antara lain, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Juga, amdal, UKL-UPL, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan, audit lingkungan, instrumen lain sesuai kebutuhan atau perkembangan ilmu pengetahuan.

“Memang bahwa kita harus seimbang antara investasi dan ekonomi, tapi investasi seperti apa? Investasi yang ramah lingkungan. Jadi, modal seperti apa? Modal yang mau mentaati peraturan perundang-undangan. Tren di ASEAN soal amdal, malah naik. Investasi Vietnam maju. Saya khawatir kita akan turun.”

Natalia Soebagjo, dari Transparency International Indonesia mengatakan, penyusunan omnibus law ini memiliki niat baik untuk memperbaiki iklim investasi dan membantu mensejahterakan rakyat.

“Harus diingat pembangunan ekonomi itu untuk siapa? Bukan untuk pengusaha semata, pembangunan ekonomi seharusnya untuk masyarakat, warga negara,” katanya.

Dia mengatakan, regulasi terkait sumber daya alam banyak tumpang tindih, hingga muncullah inisiatif omnibus law dengan penyederhanaan aturan. Sayangnya, masyarakat sipil tidak dilibatkan dalam penyusunan ini.

Natalia berharap, pemerintah memiliki pandangan jangka panjang dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam, bukan hanya fokus desakan saat ini dengan pendekatan pragmatis. Untuk itu, penyusunan RUU ini perlu melihat situasi jangka panjang. Satu hal penting perlu diingat pemangku kepentingan dalam menyusun omnibus law ini demi kesejahteraan rakyat.

 

Keterangan foto utama: Apakah omnibus law, bisa menyelesaikan konflik lahan antara warga dan pengusaha, serta mencegah deforestasi?  Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

Akankah omnibus law mendorong Indonesia segera beralih ke energi terbarukan? Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version