Mongabay.co.id

Tanggung Jawab Hukum dan Peluang Gugatan Bencana

 

 

Bencana tak bisa hanya dipandang semata musibah, dan masyarakat hanya pasrah. Besar kontribusi manusia atas bencana, baik karena sengaja ataupun kelalaian. Kepada pemerintahlah pertanyaan-pertanyaan itu bermuara.

Kenapa pemerintah? Karena pemerintah yang memiliki kewenangan mengatur apa-apa yang terjadi di wilayah mereka―termasuk tindakan yang dapat mencegah bencana terjadi kembali.

Tata ruang wilayah, ada di tangan pemerintah. Perizinan atas setiap pembangunan, seperti izin lingkungan, izin mendirikan bangunan, izin lokasi, persetujuan pemanfaatan ruang, izin pengambilan air tanah sampai izin pelepasan dan penggunaan kawasan hutan, pemerintah yang memegang. Penertiban atas hal-hal yang tak sesuai, juga ada kompetensi pemerintah.

Baca juga: Presiden Jokowi Tekankan Pencegahan Bencana secara Menyeluruh

Barangkali kurang diketahui publik bahwa negeri ini memiliki UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Landasan berpikirnya, negara Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Tujuannya, memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana guna mewujudkan kesejahteraan umum berlandaskan Pancasila, sebagaimana amanat UUD1945.

Atas dasar itu, Pasal 5 UU Penanggulangan Bencana menyatakan, pemerintah pusat dan daerah jadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi, pertama, pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan.

Kedua, perlindungan masyarakat dari dampak bencana. Ketiga, penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai standar pelayanan minimum. Keempat, pemulihan kondisi dari dampak bencana.

Baca: Korban Tewas Banjir Jabodetabek 60 Orang, BNPB Sebut Tambang Penyebab Bencana di Lebak

Kelima, pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan belanja negara yang memadai. Keenam, pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai. Ketujuh, pemeliharaan arsip (dokumen) otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.

Poin satu sampai lima, juga ada pada pemerintah daerah ―perbedaan pada poin sumber anggaran dari anggaran pendapatan belanja daerah.

 

Sumber: BNPB

UU a quo juga memuat ancaman bagi setiap orang karena kelalaian melakukan pembangunan berisiko tinggi, yang tak dilengkapi analisis risiko bencana hingga mengakibatkan bencana, kena pidana penjara paling singkat tiga tahun, paling lama enam tahun dan denda paling sedikit Rp300 juta atau paling banyak Rp2 miliar.

Setiap orang disini bisa kepada pelaku pembangunan dan pemberi izin, sebagai pihak yang ikut serta ataupun melalaikan kewenangan.

Dalam kelalaian yang menimbulkan bencana itu, mengakibatkan kerugian harta benda atau barang, pelaku kena pidana penjara paling singkat enam tahun atau paling lama delapan tahun. Denda paling sedikit Rp600 juta atau paling banyak Rp3 miliar. Lebih parah, bila kejadian itu mengakibatkan orang mati, pelaku dipidana penjara paling singkat delapan tahun atau paling lama 10 tahun. Denda paling sedikit Rp3 miliar atau paling banyak Rp6 miliar.

Baca juga: BMKG : Waspadai Potensi Cuaca Ekstrim Hujan Lebat Pasca Banjir Jakarta

Selama 2019, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, 3.768 kejadian bencana di Indonesia. Dari angka ini BNPB mencatat, sebanyak 478 orang meninggal dunia, 109 hilang, 6,1 juta jiwa mengungsi dan 3.419 luka-luka. Belum lagi mengakumulasikan banjir awal 2020 yang menimpa di Jakarta dan sekitar, yang merenggut 60-an jiwa.

Secara materil, menurut Insitute for Development of Economics and Finance (INDEF) sebagaimana dilansir dari BBC Indonesia, 5 Januari 2020, diperkirakan kerugian dari bencana Rp10 triliun. Litbang Kompas 3 Januari 2020, mengkonversi kerugian materil banjir Jakarta setara dana untuk membangun 19.381 desa di Indonesia. Begitu besar kerugian.

 

Peluang gugatan

Setidaknya, ada tiga opsi terbuka bagi masyarakat yang hendak mengajukan gugatan atas kerugian banjir ini. Pertama, class action atau gugatan kelompok. Gugatan yang merupakan hak suatu kelompok dari masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas kesamaan permasalahan, fakta hukum. Juga tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan, atau perusakan lingkungan hidup.

 

Personil polisi berhari-hari bantu pemadaman karhutla di Rimbo Panjang, Kampar, Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Satu contoh gugatan ini, masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAs) Kalimantan Tengah. Mereka menuntut pertanggung jawaban pemerintah atas kelalaian dalam menanggulangi kabut asap. Landasan hukumnya, ada pada Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Kedua, gugatan legal standing atau hak gugat organisasi lingkungan hidup sebagaimana diakui dalam Pasal 92 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Guna pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan.

Organisasi lingkungan harus berbentuk badan hukum dan menegaskan di dalam anggaran dasar, bahwa organisasi didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan serta melaksanakan kegiatan nyata sesuai anggaran dasar paling singkat dua tahun.

Cukup banyak contoh gugatan legal standing ini di pengadilan. Seperti dikenal pertama kali tahun 1989, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengajukan gugatan pencemaran dan perusakan lingkungan kepada lima instansi pemerintah (Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, dan Gubernur Sumatera Utara) dan PT. Inti Indorayon Utama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Belum lama ini, Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) pada 2019, menggugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Gubernur Jawa Timur di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur. Gugatan ini atas pencemaran Kali Brantas yang menyebabkan kematian massal ikan berulang kali dalam tiga tahun terakhir.

Hak mengajukan gugatan legal standing terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa ada ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

Terakhir, gugatan administrasi. Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila ditemukan kondisi-kondisi berikut, pertama, badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan, atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal.

Kedua, badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), tetapi tak dilengkapi dokumen UKL-UPL. Ketiga, badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan, atau kegiatan yang tak dilengkapi dengan izin lingkungan. Tata cara pengajuan gugatan adminsitrasi ini mengacu pada hukum acara peradilan tata usaha negara.

 

*Alek Karci Kurniawan, penulis adalah Legal Policy Analyst KKI Warsi dan penulis buku Konflik Konservasi. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Keterangan foto utama:  Polisi membantu warga membersihkan batang-batang kayu yang trbawa banjir bandang di Tapanuli Tengah. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

Sumber: BNPB

Foto udara yang menunjukkan Jakarta Banjir pada 1 Januari 2020. Foto: Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB]
Exit mobile version