Mongabay.co.id

Omnibus Law Jangan sampai Perparah Krisis Iklim

Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim

 

 

 

 

 

Awal tahun 2020, Dzulfian Syafrian tiba di Jakarta, setelah enam tahun menuntut ilmu di Inggris. Tempat kelahirannya, Kampung Pulo, Jakarta, masuk berita. Banjir besar melanda Jakarta. Berbagai lembaga pemerintah seperti BMKG, BNPB menyatakan, cuaca ekstrem yang memicu bencana seperti banjir, dan longsor dampak dari perubahan iklim.

“Banjir itu memang permasalahan lingkungan juga ada masalah turunannya,” kata Ekonomi Institute For Development of Economics and Finance (Indef) ini.

Dia dan keluarga, korban terdampak banjir besar Jakarta. Seminggu setelah banjir, anaknya demam tinggi, dibawa ke rumah sakit, teridentifikasi demam berdarah. Dia dan istri juga terdiagnosa infeksi pernapasan hingga tak maksimal bekerja.

Dzulfian ingin menyatakan, kalau aktivitas atau kebijakan ekonomi terdampak kepada lingkungan, yang rugi itu banyak hal. “Itu tak hanya lingkungan, nyata ke kita sendiri (masyarakat),” katanya saat diskusi bahas penyederhanaan UU (omnibus law), akhir Januari lalu.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

Masyarakat, katanya, berhak mendapatkan udara bersih, lingkungan dan bebas banjir. Hal itu, kata Dzulfian, bisa terpenuhi kalau kebijakan ekonomi itu mengedepankan aspek-aspek lingkungan hidup.

”Kebijakan ekonomi tanpa mengindahkan lingkungan sama dengan pembunuhan masal,” katanya.

Dia ingatkan, perlu pendekatan dan pandangan dalam kebijakan ekonomi harus mempertimbangkan krisis iklim kalau manusia tak ingin punah seperti dinosaurus.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dalam lima tahun terakhir ada tren kenaikan bencana, yakni, 2014 (1.967 kejadian), 2015 (1.732), 2016 (2.343), 2017 (2.869), 2018 (2.573) dan tahun lalu 3.721 bencana. Becana hidrometeorologi pun tertinggi dalam dua dekade terakhir. Paling besar dalam dua dekade, banjir (9.053), puting beliung (6.318), dan tanah longsor (5.130). Lalu, kekeringan (2.000 kasus) dalam urutan keempat tertinggi.

Berbagai bencana itu, memperlihatkan kondisi lingkungan Indonesia sudah rusak. Kala penghujan Indonesia tak bisa menampung air, hingga menyebabkan kebanjiran, ketika kekeringan malahan kekurangan air.

Baca juga: Omnibus Law, Potensi Tambah Masalah Lingkungan dan Sosial

Pembuatan kebijakan tak berdasarkan pembangunan berkelanjutan, yang menyeimbangkan antara aspek ekonomi, lingkungan dan sosial akan memunculkan berbagai masalah. Salah satunya, kebijakan omnibus law ini bisa jadi mengancam lingkungan di tengah krisis iklim Indonesia.

Omnibus law ini keberpihakan terhadap lingkungan kecil sekali dan tidak menjadi prioritas,” jata Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

 

Banjir bandang Sagihe, Sulut. Foto: BNPB

 

Dia melihat, lewat omnibus law ini ada tendesi kelonggaran aspek lingkungan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, seperti penghapusan izin lingkungan dengan mengubah terminologi dan kelonggaran dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Begitu juga, penghapusan pidana bagi para pelaku pelanggar perizinan usaha, hanya kena sanksi administratif. Padahal, katanya, soal perizinan merupakan kekuatan penting dalam penegakan hukum lingkungan diatur dalam Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kelonggaran dari aturan-aturan ini, kata Hindun, khawatir akan menyempitkan ruang-ruang partisipasi rakyat dan demokrasi terhadap proyek pembangunan. “Secara sejarah, itu sudah banyak sekali permasalahan konflik agraria karena hadir proyek infrastruktur yang masif,” katanya.

Selama ini, amdal jadi sebuah penjaga keamana (safeguard) lingkungan, untuk menganalisa bagaimana dampak proyek terhadap lingkungan, ekosistem dan masyarakat sekitar, baik polusi, pencemaran, sosial dan ekonomi.

Berbicara keberpihakan negara, pada regulasi ini hanya tentang pertumbuhan ekonomi dan investasi jadi harga mati. Hingga unsur lain, katanya, seakan dikorbankan. “ Ini harus jadi perhatian.” Terlebih, di Indonesia memiliki kerentanan bencana cukup tinggi mengacu pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

“Bahkan, malahan mengakibatkan kerugian ekonomi meningkat. Kalau pemerintah tidak serius bicara tentang mitigasi iklim, justru memberi ruang eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam tanpa ada perlindungan terhadap lingkungan sama sekali baik dari sisi hukum atau regulasi. Kita akan makin menyumbangkan bencana iklim.”

Sayangnya, krisis iklim sudah di depan mata tetapi tak menggungah pemerintah untuk berbicara arah pembangunan ekonomi berkelanjutan. Berbagai bencana, katanya, sudah melanda dari kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, banjir, longsor, dan lain-lain. Seharusnya, kata Hindun, antara ekonomi, lingkungan dan sosial beriringan menuju kebijakan berkeadilan.

 

Kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumba, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Menurut Hindun, penyusunan omnibus law ini tidak berdasarkan permasalahan, bahkan berpotensi munculkan masalah, hingga konflik terus meningkat.

Kalau omnibus law, fokus peningkatan investasi semata, katanya, Indonesia akan makin sulit capai komitmen iklim.

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Bidang Politik, Walhi Nasional mengatakan, Indonesia tak pernah konsisten komit dalam mengatasi persoalan lingkungan terkait perubahan iklim, sesuai target Kesepakatan Paris. Dalam penyusunan kebijakan ekonomi, katanya, bukan berdasar pada pembangunan rendah karbon dan tak sejalan dengan kebijakan penyelamatan lingkungan.

“Inkonsistensi ini justru menunjukkan dalam konteks lebih besar ekonomi politik lingkungan hidup itu nggak pernah dipertimbangkan meski ini sudah jadi kebijakan global.”

Alin, sapaan akrabnya, mengatakan, ketidakkonsistenan komitmen iklim ini, antara lain terlihat dalam revisi UU Minerba memberikan fasilitas bagi sektor minerba, salah satu tulang punggung sektor ini adalah batubara.

“Padahal, komitmen iklim sektor energi harus mengalami penurunan hingga 11%, bagaimana bisa tercapai pada 2030?”

Alin memprediksi kelahiran UU ini akan meningkatkan emisi Indonesia. “Itu baru pada sektor tambang, belum pada sektor lahan. Tentu prediksi kenaikan emisi ini berisiko bagi kita. Apalagi awal tahun ini, kita dihajar bencana hidrometrologi, ada kaitannya dengan krisis iklim plus penghancuran lingkungan,” katanya.

Dia mengingatkan, pembahasan RUU omnibus law ini yang tak melibatkan publik berpotensi mengancam kelompok rentan, yakni, perempuan, anak dan kelompok miskin termasuk masyarakat pesisir, yang sulit beradaptasi terhadap krisis iklim.

Berdasarkan prediksi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) akan ada kenaikan muka air laut lima sampai 10 kali lipat pada 2050. Jakarta, jadi salah satu kota yang diprediksi tenggelam tahun itu kalau tak bisa menekan emisi seginifikan.

“Pemerintah seringkali mengabaikan fakta, [lingkungan] kita rentan dengan kebijakan ekonomi sekarang. [Malah] mau susun omnibus law.

Dalam diplomasi, Indonesia tak pernah menghitung negeri ini sebagai negara kepulauan dan pesisir yang berisiko iklim hingga abai biaya lingkungan dari eksploitasi sumber daya alam. Dampaknya, publik menanggung risiko dan dana APBN harus keluar, yang merupakan dana dari rakyat.

Isna Fatimah, peneliti Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan, izin lingkungan memiliki peran jelas mencegah dampak pencemaran lingkungan dalam pembangunan.

“Kalau izin lingkungan mau dihapus, apakah pemerintah membiarkan biaya-biaya atau beban dari akibat pencemaran itu dibebankan ke pemerintah yang uangnya berasal dari rakyat?”

 

 

Gajah mati diduga diracun di konsersi perusahaan sawit di Langkat, Sumatera Utara. Ada omnibus law, khawatir rumah (habitat) satwa makin tergerus demi investasi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Ancam satwa

Violita dari Animals Don’t Speak Human mengatakan, regulasi yang mendorong investasi skala besar juga mengancam ruang hidup satwa. Pemerintah, katanya, seringkali mengabaikan peran satwa dalam ekosistem lebih luas, di mana manusia seringkali bergantung.

“Pembukaan hutan di Indonesia, menyebabkan banyak satwa mati. Status jadi terancam punah, seperti orangutan, badak, harimau dan gajah. Ini karena ruang hidup satwa dirampas pembangunan investasi,” katanya, saat tele conference di Walhi Nasional.

Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi juga angkat bicara. “Kalau bersih kenapa risih!,” katanya, mengucapkan slogan yang pernah digunakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam diskusi “Tata Kelola Lingkungan Hidup Pada Poros Percepatan Investasi” bau-baru ini.

Slogan itu jadi sindiran dalam proses penyusunan RUU omnibus law yang tak transparan, baik dari naskah akademik maupun rancangan undang-Undangnya. “Yang jelas, katanya (pemerintah) ini memperkuat, tapi proses sembunyi-sembunyi, dipaksakan 100 hari,” katanya.

Soal izin lingkungan yang hendak dihapuskan, padahal proses pembuatan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32/2009 memerlukan waktu panjang, sejak 1997. Ia UU yang jadi contoh dunia.

Kalau sebuah regulasi mulai dengan sembunyi-sembunyi atau permulaan tak jelas, katanya, jangan mengharapkan rule of law jadi penuntun negeri ini.

“Jangan kami dianggap musuh melawan agenda pemerintah. Apa yang disembunyikan hingga tidak mau naskah ini dibagi? Sama persis dengan proses pembuatan UU KPK.”

 

 

Keterangan foto utama: Kondisi lubang tambang bekas batubara  ditinggalkan begitu saja dengan jarak dekat pemukiman warga. Foto Jatam Kaltim

Tim gabungan turun memantau banjir di Sumsel. Foto: BNPB

 

 

Exit mobile version