Mongabay.co.id

Horor RUU Cipta Kerja, dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Konsesi PT MAS di Desa Sipik, Muarojambi, pasca sebulan terbakar. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pemerintah telah menyerahkan draf Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, sebagai upaya penyederhanaan aturan hukum (omnibus law) ke DPR pada 12 Februari 2020. Berbagai kalangan menyoroti isinya karena banyak hal yang mengkhawatirkan dan bikin was-was seperti, bakal persulit ruang hidup rakyat, perparah kerusakan lingkungan, termasuk melemahkan penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan.

Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) dan Walhi memberikan catatan atau poin-poin kritis terhadap draf RUU ini. Reynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL mengatakan, dari draf beredar, seluruh materi muatan RUU, terdapat pendelegasian sekitar 465 kali ke peraturan pemerintah. Terdapat beberapa bidang isu penting segera disikapi antara lain, lingkungan hidup, penataan ruang, pertambangan mineral dan batubara, perkebunan, kehutanan, kelautan, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ketenagalistrikan dan kekaragaman hayati.

Ada juga aspek pengaturan bersifat lebih umum juga penting untuk disikapi seperti perizinan berbasis risiko dan administrasi pemerintahan.

Dari sisi lingkungan hidup, kata Dodo, panggilan akrabnya, izin lingkungan dihilangkan, berganti perizinan berusaha. ”Makin sempit akses mayarakat untuk upaya hukum terhadap keputusan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan hidup,” katanya.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

ICEL juga mengkhawatirkan soal sanksi hukum, ada beberapa pasal alami pelemahan. Pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi, katanya, banyak dihapus dan tata cara ke peraturan pemerintah. Sanksi pidana, katanya, harus didahului sanksi administrasi yang hanya berupa denda dengan batas maksimum.

Padahal, kata Dodo, sebelumnya ada pilihan paksaan pemerintah yang lebih efisien segera menghentikan pelanggaran yang menimbulkan pencemaran dan, atau kerusakan lingkungan.

“Bagaimana dengan pencemaran atau kerusakan yang langsung berdampak catastrophic (menimbulkan) bencana besar namun pembuktian dampak kesehatan masyarakatnya tidak dapat dengan mudah terdeteksi? Bagaimana cara menerapkan sanksi administrasi ketika izin lingkungan dihapuskan?”

Soal pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi atas pelanggaran bidang lingkungan hidup seperti tertuang dalam Pasal 72-75 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Nomor 32/2009 pun diamputasi dan mengubah Pasal 76.

“Tidak ada lagi ketegasan dalam UU tentang instansi yang bertanggungjawab dalam pengawasan lingkungan hidup, pengawasan lapis kedua oleh pemerintah pusat, kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup, dan jenis sanksi administrasi.”

Baca juga: Omnibus Law Jangan sampai Perparah Krisis Iklim

Parah lagi, pada Pasal 88 UU PPLH, unsur strict liability pun dihapus. Padahal, selama ini, pasal itu jadi senjata bagi pemerintah untuk meminta pertanggung jawaban korporasi yang melakukan pelanggaran lingkungan.

Menurut Dodo, seluruh kewenangan perlindungan pengelolaan lingkungan hidup jadi kewenangan pemerintah pusat dan penghapusan kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota dihilangkan. Perubahan Pasal 63 UU PPLH ini ada dalam Pasal 23 angka 4.

“Penunjukan subyek hanya ‘pemerintah pusat’ berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam birokrasi. Kewenangan instansi berpotensi lebih mudah diubah karena hanya diatur dalam level peraturan pemerintah,” katanya.

 

 

Faktanya, selama ini kemampuan pemerintah pusat dari segi kuantitas dan akses ke daerah di seluruh Indonesia sangat terbatas, apalagi masalah lingkungan hidup bersifat lokasi spesifik (site specific).

Kemudian, mengenai kriteria usaha wajib analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), secara jelas diatur dalam Pasal 23 UU PPLH berubah jadi satu kriteria dengan indikator abstrak.

Pada bagian persetujuan lingkungan, Pasal 23 angka 3 menyebutkan, kriteria usaha dan, atau kegiatan yang wajib dilengkapi amdal merupakan proses dan kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya.

”Kriteria yang sangat abstrak menggunakan kata hubung ‘dan’ ini berpotensi makin mengerucutkan jenis kegiatan usaha yang wajib amdal tanpa pertimbangan dengan baik aspek lingkungan karena harus berkompromi dengan aspek lain, yakni, ekonomi, sosial dan budaya,” katanya.

 

RUU cilaka

Organisasi lingkungan hidup tertua, Walhi pun menyoroti draf RUU Citpa Kerja–sebelumnya, nama beredar RUU  Cipta Lapang Kerja (Cilaka). Walhi menyarikan beberapa hal utama dalam RUU itu.

Pertama, norma pertanggungjawaban hukum korporasi dalam RUU Cipta Kerja, tereduksi. Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Walhi Nasional mengatakan, penghapusan unsur “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” khawatir mengaburkan implementasi ketentuan ini.

Belum lagi, katanya, ketentuan Pasal 49 UU Kehutanan, juga diubah total, tak ada kewajiban tanggung jawab terhadap kebakaran di areal konsesi.

“Di RUU Cilaka diubah sekadar bertanggungjawab untuk upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran,” katanya dalam keterangan tertulis kepada media.

Pada 2017, dua asosiasi pengusaha mengajukan judicial review terhadap aturan ini, yakni, Pasal 99 UU PPLH. Pasal 98 dan Pasal 99, merupakan dua ketentuan untuk menjerat korporasi-korporasi pembakar hutan dan lahan. “Di RUU Cipta Kerja, tidak sekadar Pasal 99 yang dilemahkan, termasuk Pasal 98.”

Baca juga: Omnibus Law, Potensi Tambah Masalah Lingkungan dan Sosial

Pertanggungjawaban pidana, katanya, harus terlebih dahulu melalui skema administrasi. Bahkan, katanya, ketentuan pidana sangat sulit jalan kepada korporasi karena tak ada sanksi denda. “Seharusnya perumus RUU harus konsisten membedakan sanksi pidana dan sanksi administrasi.”

Dia curiga sejak awal kala penunjukan Ketua Umum Kadin sebagai Ketua Satuan Tugas Bersama (Task Force) Naskah Akademik dan draf RUU. “Terlebih ada bukti beberapa ketentuan yang direduksi adalah ketentuan pertanggungjawaban hukum yang pernah dicoba diuji oleh APHI dan GAPKI di Mahkamah Konstitusi,” katanya.

Boy Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Walhi Nasional mengatakan, pada 19 Mei 2017 Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) melalui kuasa hukum, Refly Harun cs menguji Pasal 69 ayat (2), Pasal 88 & Pasal 99 UU Nomor 32/2009 dan Pasal 49 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.

Pada sidang itu, Hakim Konstitusi, Palguna menyampaikan, “di dalam wacana hukum lingkungan, kita sering menyebut ada istilah eco terrorism, dan sebagainya. Itu yang salah satu juga pendorong makin memperkuat diterima universalitas prinsip strict liability ini.”

“…kita juga tahu prinsip strict liability yang bisa membebaskan apa yang disebut sebagai act of God, force majeure, dan sebagainya itu. Kita sudah semua tahu.” Walaupun kedua asosiasi berujung mencabut gugatan uji materi, ternyata muncul di RUU Cipta Kerja.

Poin utama kedua dari catatan Walhi adalah, RUU ini menghapus ruang partisipasi publik.

Boy bilang, hak partisipasi publik melalui jalur peradilan seperti tercantum dalam Pasal 93 UU PPLH untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan atau izin usaha melalui peradilan administrasi (PTUN) tak ada lagi.

“RUU ini pantas disebut sebagai RUU ‘Cilaka’, karena hanya memperhatikan dan mengakomodir kepentingan bisnis. Sama sekali tak menaruh ruang perlindungan pada hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”

Walhi, kata Zenzi, tegas menolak RUU Cipta Kerja, bukan hanya karena ketiadaan partisipasi publik dan keterbukaan informasi tetapi secara substansi dan sejak awal hanya melayani kepentingan investasi.

“Janji Jokowi (Presiden Joko Widodo-red) untuk berpihak pada rakyat dan lingkungan hidup hanya bualan,” katanya, seraya bilang, kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan hidup akan tambah parah kalau RUU model ini disahkan.

 

Sungai di Sulawesi Barat, yang diduga tercemar limbah perusahaan sawit. Dengan berbagai aturan lingkungan saja, operasi perusahaan masih menimbulkan masalah lingkungan, bagaimana kalau sampai UU omnibus law, sah dengan versi seperti sekarang? Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Sosialisasi ke seluruh provinsi

Pada 12 Februari lalu, pemerintah menyerahkan draf RUU Omnibus Law ini kepada DPR.  Puan Maharini, Ketua DPR didampingi Rachmat Gobel dan M. Azis Syamsuddin, Wakil Ketua DPR menerima draf RUU Cipta Kerja dari pemerintah. Beberapa menteri mewakili penyerahan draf RUU itu, antara lain, Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Lalu, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

”Hanya disampaikan terdiri dari 15 bab dan 174 pasal. Ada tujuh komisi di DPR yang akan terlibat dalam pembahasan RUU ini. Semua akan sesuai mekanisme di DPR. Apakah melalui baleg (badan legislasi-red) atau melalui pansus (panitia khusus-red). karena melibatkan tujuh komisi terkait pembahasan 11 klaster terdiri dari 15 bab dan 174 pasal itu,” kata Puan dalam konferensi pers usai pertemuan dengan para menteri.

Dia mengatakan, jangan sampai belum tersosialisasi tetapi draf sudah menimbulkan prasangka lain dan kecurigaan karena DPR RI yang belum membahasnya.

Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian menyampaikan, pemerintah telah menyerahkan surat presiden (Supres), draf UU dan naskah akademik untuk proses sesuai mekanisme DPR.

“Dibahas juga, bersamaan ini akan sosialisasi ke seluruh provinsi di Indonesia,” katanya.

Sosialisasi itu, akan dilaksanakan antara pemerintah dan anggota DPR terlibat, antara lain, tujuh komisi di DPR.

Dia berharap, seluruh masyarakat bisa mengetahui apa yang akan dibahas, diputuskan dan dampak bagi perekonomian nasional.

“Isinya, murni untuk menciptakan lapangan pekerjaan, di mana dalam situasi global maupun dengan merebaknya isu virus corona, salah satu solusi meningkatkan lapangan pekerjaan adalah transformasi struktural ekonomi yang seluruhnya ada dalam omnibus law,” katanya.

Bobby Gafur Umar, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Energi, Minyak dan Gas mengatakan, Kadin sangat mendukung langkah pemerintah membenahi peraturan melalui RUU Cipta Kerja.

Dia berharap, RUU ini mampu mengubah wajah ketenagakerjaan, dunia usaha dan perekonomian nasional ke arah lebih baik.

“Selama ini, tumpang tindih regulasi dan inefesiensi birokrasi jadi salah satu faktor hambatan dalam berbisnis,” katanya.

Melalui omnibus law ini, kata Bobby, memungkinkan pemangkasan, penyederhanaan, dan harmonisasi aturan dengan tujuan menyerap tenaga kerja Indonesia seluas-luasnya. Juga, peningkatan ekosistem investasi dan bisa membawa dampak positif bagi iklim bisnis nasional yang jadi harapan dari pengesahan RUU ini.

Sebagai anggota Satuan Tugas Omnibus Law, katanya, pelaku usaha memerlukan jaminan kemudahan berusaha dan berinvestasi. Rata-rata, investasi tumbuh harus 7%, kalau Indonesia ingin mencapai pertumbuhan ekonomi 5.5% pada 2021. Ekonomi dapat tumbuh 6% pada 2024, pertumbuhan investasi harus 40% dari nilai investasi pada 2019, atau rata-rata Rp3.200 triliun periode 2015-2019 jadi Rp4.400 triliun periode 2020-2024.

Omnibus law juga diharapkan, dapat menghilangkan faktor-faktor utama penghambat pertumbuhan ekonomi secara umum, seperti penyederhanaan regulasi dan perbaikan kelembagaan maupun pengaturan pasar tenaga kerja lebih kompetitif.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tetap berpendapat kalau perubahan atau penyesuaian dalam omnibus law ini tetap memperhatikan aspek lingkungan.

”Hanya bedanya, persyaratan lingkungan itu tidak dibebankan kepada swasta, tetapi jadi standar (pemerintah), tak dibebankan kepada swasta di awal. Jadi standar. Ketika jadi standar dan tidak dipenuhi, kena juga,” katanya, saat ditemui di DPR.

 

 

Draf RUU Cipta Kerja

Naskah Akademik RUU Cipta Kerja

 

Keterangan foto utama: Konsesi perusahaan sawit di lahan gambut di Muarajambi, Jambi, yang terbakar pada 2019.  Dalam RUU CIpta Kerja, sanksi hukum terjadi pelemahan. Ada hukum ketat saja, pelaku usaha masih begitu lalainya, apalahi sanksi hukum lemah? Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Laut, tempat hidup orang Bajo di Sulaw,esi Tenggara sudah tercemar limbah nikel. Ada amdal saja kondisi laut tercemar seperti ini, bagaimana kalau tak ada? Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version