Mongabay.co.id

Menyoal Insentif buat Industri Mineral dan Batubara dalam RUU Omnibus Law

Batubara, di tambang timbulkan masalah lingkungan dan kesehatan warga, di hilir, antara lain, pembangkit batubara, juga ciptakan beragam masalah. Apakah para calon pemimpin daerah, tak ada yang peka masalah rakyat ini? Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja—merupakan penyederhanaan berbagai aturan hukum (omnibus law)—tampak benar-benar memanjakan pebisnis, termasuk sektor mineral dan batubara. Dalam RUU ini ada soal penguatan konsep wilayah pertambangan, sampai pemberian insentif kepada pihak yang membangun smelter dan pembangkit listrik batubara mulut tambang. Dalam draf RUU itu juga menyebutkan, mengenai penarikan kewenangan pemberian izin, pembinaan dan pengawasan ke pemerintah pusat.

Maryati Abdullah, Direktur Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dalam konferensi pers mengatakan, ada beberapa pasal bermasalah dalam draf RUU Cipta Kerja.

Baca juga: Omnibus Law, Potensi Tambah Masalah Lingkungan dan Sosial

Dia sebutkan, hal-hal yang bermasalah seperti, terlihat dalam penambahan dan perubahan pasal-pasal UU Pertambangan. Dalam Pasal 1 mengenai definisi, misal, seluruh frasa berkaitan dengan izin usaha berganti jadi perizinan berusaha.

Jadi, terjadi penghapusan definisi izin usaha pertambangan (IUP), IUP eksplorasi, IUP operasi produksi, izin pertambangan rakyat (IPR) dan lain-lain.

Menurut dia, penyederhanaan istilah izin usaha menjadi perizinan berusaha seakan-akan tak membedakan antara sektor sumber daya alam dan sektor lain. Dia bilang, ada kesan mempermudah dan menyamakan dengan sektor lain sebagai perizinan berusaha.

“Padahal, sektor sumber daya alam ini memiliki dampak eskternalitas dan risiko lebih sistemik dan jangka panjang,” katanya di Jakarta, Senin (24/2/20).

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

Pada Pasal 4, pengelolaan minerba sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui sebagai kekayaan nasional dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, katanya, bentuk penguasaan hanya oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah, katanya, tidak lagi memiliki kewenangan.

“Ini merupakan resentralisasi pengelolaan pertambangan, bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang memberikan kewenangan daerah dalam pengelolaan SDA sebagai wujud benefit sharing dari prospherity,” katanya.

Kalaulah praktik perizinan oleh pemda dianggap masalah, seharusnya pusat melakukan pengetatan dalam pembinaan serta pengawasan.

Dengan sistem pengawasan terpusat, katanya, memerlukan sumberdaya dan anggaran besar.

Pasal 43 menyebut, kalau izin usaha pertambangan fase eksplorasi mendapatkan mineral ikutan tak lagi wajib lapor. Pemegang izin usaha yang ingin menjual mineral atau batubara, katanya, tak wajib mengajukan izin sementara untuk pengangkutan dan penjualan. Mineral dan batubara yang tergali pada fase eksplorasi tidak lagi kena iuran produksi atau royalti.

“Pemberian insentif fase eksplorasi khawatir ada praktik penjualan dan pengangkutan tanpa izin. Menghilangan kewajiban menyetor royalti dapat mengurasi penerimaan negara,” katanya.

 

Ilustrasi. Begini tampilan tepian pantai kala ada tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Hal lain terlihat dalam Pasal 47, mengenai jangka waktu perizinan usaha pertambangan. Disebut, operasi pertambangan mineral dan batubara yang menambang dan terintegrasi dengan pengolahan maupun pemurnian bisa memperpanjang sampai dengan umur tambang.

“Bagi tambang batubara yang mengolah dan pemurnian dibebaskan dari kewajiban DMO (domestic market obligation-red).”

Sedangkan, ketentuan khusus izin pertambangan khusus, kata Maryati, ditengarai memberikan kepastian bagi perpanjangan PKP2B terutama tujuh izin besar yang akan habis masa berlaku.

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Selain itu, katanya, pembebasan kewajiban DMO dan kewajiban penambahan nilai tambah jadi dua pasal ambigu dan kontrdiktif satu sama lain. Hal ini terlihat dalam Pasal 128 A menyatakan, pelaku usaha yang melakukan penambahan nilai tambah mendapatkan fasilitas tertentu, termasuk insentif penerimaan negara perlakuan tertentu. Untuk tambang batubara, bisa berupa pengenaan royalti 0%.

“Ini jelas akan mengakibatkan potensi pengurangan penerimaan negara. Kalau royalti 0%, penerimaan negara dari mana? Sisi lain, ada kewajiban meningkatkan pendapatan negara,” katanya.

Terkait penyelesaian tumpang tindih konsesi pertambangan dengan kawasan hutan, RTRW dan lain-lain, di Pasal 134 menyatakan, hal itu akan diatur dengan peraturan pemerintah. Maryati bilang, model seperti ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Ada kabar baik bagi aktivis lingkungan soal sanksi pidana dalam Pasal 149 yang menyatakan, menghapus pemidanaan setiap orang yang merintangi pertambangan. Sisi lain, pasal pidana bagi yang mengeluarkan perizinan juga dihapus.

Mengenai kontrak karya dan PKP2B diatur dalam Pasal 169A, soal perpanjangan dengan perizinan berusaha, sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang dengan mempertimbangkan penambahan nilai tambah (PNT).

Dia menyesalkan, proses penyusunan draf dan naskah akademik RUU Cipta Kerja ini cenderung tertutup dan kurang partisipatif. Sejak awal, publik kesulitan mendapatkan draf naskah akademik maupun isi RUU ini.

RUU ini, katanya, perlu kajian lebih mendalam dengan mendengarkan aspirasi dari berbagai kalangan luas dan berbagai pemangku kepentingan. Hal itu, katanya, sangat penting sebagai bentuk penilaian atas regulasi.

“Ini penting untuk menghindari bias dan konflik kepentingan, serta untuk pencegahan risiko dengan parameter penilaian yang mendalam dan partisipatif.”

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Pengembangan Jaringan PWYP Indonesia mengatakan, secara substansi pertambangan minerba dalam draf RUU Cipta Kerja, hampir sama dengan usulan draf RUU Minerba maupun daftar inventaris masalah (DIM) yang sempat jadi kontroversi dan kritik banyak kalangan tahun lalu.

Pasal-pasal kontroversial seperti perpanjangan otomatis KK dan PKP2B tanpa melalui proses lelang dan luas wilayah lebih dari 15.000 hektar, menguntungkan sejumlah perusahaan besar. Begitu juga penghapusan Pasal 165 UU Minerba terkait sanksi bagi pemberi izin yang menyalahgunakan kewenangan terkait pemberian izin usaha pertambangan.

Selain memindahkan pasal-pasal kontroversial RUU Minerba dan DIM pemerintah, draf RUU Cipta Kerja juga menghapus, mengubah dan menambahkan sejumlah pasal dalam UU Minerba yang berdampak cukup fundamental terhadap sektor ini. Dia contohkan, penarikan kewenangan perizinan, pembinaan dan pengawasan ke pusat. Juga penguatan konsep wilayah hukum pertambangan, pengaturan persyaratan perizinan melalui rezim peraturan pemerintah.

Iqbal Damanik, peneliti Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, tujuan awal RUU ini untuk menciptakan lapangan kerja. Sekilas tujuan dari RUU ini sudah bagus. Kalau diteliti lebih dalam lagi, pasal-pasal yang ada justru banyak yang akan berdampak buruk.

Dia menyoroti insentif penambahan nilai yang terlihat pada Pasal 47 untuk batubara dan Pasal 83 untuk mineral. Jangka waktu izin diperpanjang jadi 30 tahun dan dapat diperbaharui setiap 10 tahun sampai umur tambang habis.

Soal Pasal 128A tentang pemotongan pajak dan pengenaan royalti 0%, kata Iqbal, justru akan memberikan semangat eksploitatif karena tak ada batasan.

“RUU ini terselip pasal-pasal yang memiliki dampak lingkungan dan perpanjangan PKP2B. Pertimbangannya cuma satu, peningkatan penerimaan negara tanpa lelang,” katanya, bilang kalau peningkatan penerimaan jadi tujuan jadi kurang pas.

 

Tambang batubara di Kalimantan Timur yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Deri Dariawan, Kepala Bidang Geologi Dinas ESDM Banten mengatakan, sebagai bagian dari kepanjangan tangan pusat, dia tak pada posisi menolak maupun menerima RUU Cipta Kerja.

“Kondisi pengelolaan pertambangan di daerah, mulai sejak terbit UU 4/2009 tentang Minerba. Di sini, kewenangan berdasarkan wilayah administrasi.”

Ada RUU Cipta Kerja, katanya, akan banyak hal berubah secara substansial. Padahal, katanya, berdasarkan evaluasi penerapan UU Pemerintahan Daerah 2014, ada masalah pokok soal pengelolaan pertambangan di daerah. Hal paling menonjol, katanya, aspek pengawasan dan pengendalian.

“Terkait indikasi kebocoran penerimaan negara, kerusakan lingkungan, banyak konflik sosial dan masih pertambangan ilegal, kalau dikerucutkan masalah lemah pengwasan dan pengendalian. Aturan sudah bagus, implementasi yang kurang.”

Ketika kewenangan pemda dihapus, kata Deri, posisi organisasi Dinas ESDM di daerah juga kemungkinan hilang karena sudah tak ada kewenangan lagi.

“Nanti mungkin pusat bikin baru. Mungkin Kanwil Cipta kerja untuk menyelesaikan semua persoalan. Kita tidak tahu. Prosesnya, harus smooth hingga pelayanan tidak mandek,” katanya, seraya mengingatkan penting agar daerah mendapatkan manfaat keuangan, dan lingkungan tak rusak. “Kepentingan masyarakat terkait tanah, adat, budaya dan pendapatan bisa terwujud,” katanya.

Irwandy Arif, Staf ahli Menteri ESDM mengatakan, RUU Cipta Kerja untuk mengatasi masalah ekonomi dan bisnis Indonesia. Menurut dia, ada tumpang tindih regulasi, efektivitas investasi rendah, pengangguran, angkatan kerja baru, pekerja informal, dan produktivitas rendah.

Saat ini, katanya, terdapat 4.451 peraturan di pemerintah pusat dan 15.965 perda. Aturan banyak itu, katanya, perlu penyederhanaan dalam satu peraturan perundang-undangan.

Soal izin tambang jadi 30 tahun dan dapat diperpanjang sampai seumur tambang, katanya, itu untuk operasi produksi yang terintegrasi dengan pengolahan dan pemurnian.

Untuk insentif royalti 0%, kata Irwandy, kepada perusahaan yang mampu melakukan peningkatan nilai tambah dengan hilirisasi.

“Hilirisasi itu sulit. Jadi, kita dorong dengan insentif,” katanya.

 

Keterangan foto utama: Kala sumber energi kotor, seperti PLTU batubara mulut tambang yang bakal mendapatkan insentif dalam RUU Cipta Kerja, sebaliknya keberpihakan terhadap energi terbarukan makin dipertanyakan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version