Mongabay.co.id

Masih Terjadi, Ini Dampak Negatif dari Praktik IUU Fishing

Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jakur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Praktik penangkapan ikan dengan cara ilegal, tak dilaporkan, dan tidak diatur (Ilegal, Unreported and Unregulated/IUU Fishing) hingga sekarang masih menjadi hal yang menakutkan bagi industri perikanan di dunia. Di Indonesia, praktik seperti itu diduga kuat masih terus terjadi hingga saat ini di banyak wilayah perairan yang ada di seluruh Nusantara.

Kepala Badan Riset, Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja di Jakarta, pekan lalu mengatakan, praktik IUUF tak hanya menimbulkan kerugian ekonomi yang besar terhadap Negara dan masyarakat saja, melainkan juga merusak ekosistem yang ada di laut dengan sangat cepat.

Dia menyebutkan, untuk wilayah di sekitar Samudera Pasifik saja, kerugian akibat praktik IUUF bisa mencapai rerata 4-7 juta ton komoditas perikanan per tahun. Dari jumlah tersebut, diperkirakan nilai kerugian secara ekonomi mencapai USD8,3 juta atau Rp116,2 miliar setiap tahunnya.

“Tak hanya secara ekonomi, negara yang mengalami praktik IUU Fishing juga mendapatkan kerugian terhadap keanekaragaman hayati. Berdasarkan data pencatatan, penangkapan sebelum tahun 2015 menunjukkan bahwa hasil tangkapan udang, kakap, dan kerapu dari Laut Arafura semakin berkurang dan ukurannya pun semakin kecil,” ungkapnya.

baca : Ada Potensi Kerugian Negara Rp137 Miliar Dari Perikanan Ilegal Kapal Ikan

 

Ilustrasi. Sebuah kapal yang menangkap ikan dengan jaring super trawl (pukat hela). Foto : Greenpeace

 

Bukti lain kalau praktik IUUF sudah memicu kerusakan lingkungan, adalah rusaknya kawasan hutan rumput laut di Cile yang diakibatkan praktik penangkapan secara ilegal untuk komoditas Abalon (Haliotis). Kondisi itu kemudian mengakibatkan keanekaragaman hayati di laut tersebut menurun dengan sangat cepat. “Salah satunya beberapa jenis ikan di zona bentik,” tuturnya.

Bagi Sjarief Widjaja, contoh di atas menjadi bukti bahwa praktik IUUF berdampak negatif terhadap banyak aspek dan harus dihentikan dengan cepat, karena itu akan terus memicu dampak negatif yang lainnya. Penghentian praktik IUUF, bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satu yang utama adalah melalui regulasi yang diterbitkan oleh Negara.

Namun demikian, Pemerintah juga lebih dulu menyadari kalau penerbitan regulasi tidak serta merta akan bisa langsung menghentikan praktik IUUF. Tetapi, perlu upaya lebih keras dari sekedar penerbitan regulasi, agar praktik terlarang itu bisa benar-benar punah dari aktivitas penangkapan ikan yang ada di Indonesia.

Upaya untuk menghentikan praktik IUUF akan terus dilakukan, karena Pemerintah paham benar bahwa ikan merupakan salah satu alternatif terbaik untuk memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat dunia. Selain itu, dengan mengonsumsi ikan, ketahanan pangan dunia juga akan bisa terjaga dengan baik.

“Namun, ketersediaan stok ikan dunia saat ini juga tengah terancam. Pasalnya, peningkatan angka konsumsi ikan lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan populasi ikan di laut. Hal ini salah satunya disebabkan oleh penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing),” ucap dia.

Sjarief mengemukakan, tren perikanan tangkap dunia beberapa waktu lalu memang sempat meningkat, seiring dengan komitmen banyak negara untuk memberantas aktivitas IUUF di wilayah perairan laut masing-masing. Tetapi, tren tersebut kemudian menjadi statis, karena penangkapan ikan dilakukan secara berlebihan.

baca juga : Konflik Laut Natuna Utara, Bintang Utama di Laut Cina Selatan

 

Ilustrasi. Kapal Perang RI (KRI) Bung Tomo-357 dari Koarmada I menangkap empat kapal ikan asing berbendera Vietnam dan mengusir dua Kapal Pengawas Perikanan Vietnam di Laut Natuna pada Februari 2019. Foto : TNI AL/Mongabay Indonesia

 

Modus

Dalam melaksanakan aksinya, para pelaku IUUF biasanya membuat berbagai strategi yang dijadikan modus untuk melaksanakan IUUF. Di antara yang sering dilakukan, adalah modus dengan menggunakan flag of convenience state atau modus menggunakan bendera satu negara pada kapal, tapi tidak memiliki hubungan langsung antara kapal tersebut dengan pemilik kapal dan negara pemilik bendera.

“Modus ini seringkali digunakan, karena negara (pemilik) bendera memberikan keuntungan untuk pemilik kapal seperti pengawasan yang rendah, pendaftaran yang sangat mudah, dan perpajakan yang kecil,” jelas Sjarief.

Selain itu, dengan menggunakan modus di atas, kapal juga bisa menyembunyikan identitas pemilik kapal secara detil dan mengaburkannya kepada dunia. Dengan cara tersebut, maka kapal perikanan tersebut akan dengan mudah melakukan penggantian bendera negara tertentu (flag hopping) sesuai yang diinginkan.

Modus berikutnya yang juga sering dipakai oleh kapal perikanan pelaku IUUF, adalah penggunaan bendera negara tertentu yang memiliki reputasi tidak baik dalam pemberantasan IUUF (flags of non compliance). Cara kedua ini, juga memudahkan kapal untuk bergerak menuju perairan yang dituju untuk melaksanakan praktik IUUF.

Modus ketiga yang juga sering dipakai kapal perikanan pelaku IUUF, adalah port of convenience. Dengan menggunakan modus ini, kapal bisa memilih lokasi pendaratan untuk ikan dan logistik di pelabuhan atau tempat pendaratan yang minim dari inpeksi.

“Modus ini biasanya melihat karena pelabuhan memiliki kapasitas (pendaratan) yang rendah, sistem pencatatan yang tidak baik, dan juga ada (praktik) korupsi,” papar dia.

perlu dibaca : Perlu Cara Tak Biasa untuk Berantas IUU Fishing, Bagaimana?

 

Ilustrasi. Penenggelaman 13 kapal ikan vietnam pelaku ilegal fishing di perairan Tanjung Datuk, Kalimantan Barat, Sabtu (4/5/2019). Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Modus kelima yang juga dipakai para pelaku IUUF, adalah dengan mematikan alat pendeteksi otomatis posisi kapal seperti automatic identification system (AIS) dan vessel monitoring system (VMS). Kedua alat tersebut biasanya digunakan oleh pelabuhan untuk mendeteksi keberadaan kapal di sekitar lokasi pelabuhan.

Kedua alat tersebut, biasanya wajib diaktifkan untuk kapal perikanan yang memiliki ukuran tonase yang besar. Contoh dari pemberlakuan kewajiban alat pendeteksi itu adalah pada kapal yang berukuran di atas 300 gros ton. Dengan ukuran tersebut, kapal wajib mengaktifkan alat seperti AIS ataupun VMS.

“Namun yang seringkali terjadi pada praktiknya di laut, mereka secara sengaja mematikan AIS dan VMS tersebut agar keberadaan kegiatannya tidak dapat dimonitor,” tegasnya.

Selain empat modus di atas, masih ada modus kelima yang juga sering dipakai oleh kapal perikanan pelaku IUUF. Modus tersebut, adalah melakukan pemalsuan dokumen dan identitas dengan melibatkan jaringan pemilik kapal yang kompleks.

“Kepemilikan kapal dibuat menjadi lintas negara, sehingga pemilik kapal yang sebenarnya sulit untuk dideteksi. Kita pernah menemukan modus seperti ini di Indonesia. Kita menangkap kapal yang melakukan IUU Fishing, namun tidak ada negara yang mengakui kepemilikan kapal tersebut,” ungkapnya.

Agar kelima modus di atas bisa dibaca dan diantisipasi oleh seluruh pemangku kepentingan yang ada di dunia, khususnya Indonesia, Pemerintah Indonesia menawarkan tiga solusi untuk bisa diadopsi oleh semua negara di dunia. Pertama, adalah pengadopsian transparansi secara global.

Kedua, adalah pengambilan perjanjian kesepakatan di setiap pelabuhan negara. Dan ketiga, adalah melakukan peningkatan kerja sama regional antar negara. Ketiga tawaran solusi tersebut menjadi bagian untuk meningkatkan budaya penangkapan ikan yang lebih baik dan transparan.

penting dibaca : Aktivitas Perikanan Ilegal, Kegiatan Berbahaya Lintas Negara

 

Ilustrasi. Perahu yang terparkir karena cuaca buruk di kawasan Tempat Pelelangan Ikan Ngaglik, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jatim pada awal Maret 2020. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Solusi

Dengan tiga solusi yang ditawarkan, Sjarief berharap negara-negara di dunia bisa menyampaikan data kapalnya dengan lebih lengkah lagi. Melalui transparansi data, Indonesia bisa mengetahui kapal-kapal yang sedang berlayar di laut lepas itu adalah milik siapa dan berasal dari negara mana.

“Di mana dia melakukan operasi, dan di mana dia meletakkan hasilnya sehingga semua dapat terkendali,” ucap dia.

Menurut Sjarief, salah satu dorongan kenapa praktik IUUF di seluruh dunia bisa terus muncul, adalah karena adanya pemberian insentif ekonomi, lemahnya posisi organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO), dan daya tawar pemerintahan yang lemah.

“Kita bisa memberikan insentif ekonomi bagi para pelaku usaha yang patuh, meningkatkan penegakan hukum, dan memperkuat pemerintahan,” ucapnya.

Sedangkan CEO Indonesia Ocean Justice Initiative Mas Achmad Santosa pada kesempatan yang sama menyatakan bahwa sampai saat ini masih banyak pihak yang melakukan pencurian ikan, terlibat dalam aktivitas kejahatan lintas negara yang terorganisir (transnational organized crime/TOC).

Misalnya, seperti pencucian uang, suap, penyelundupan narkoba, penyelundupan senjata, perdagangan orang, kerja paksa, kejahatan perpajakan, penyelundupan barang, dan bentuk kejahatan lainnya. Dengan kata lain, kejahatan perikanan sudah berkembang menjadi kejahatan transnasional yang sangat serius dan terorganisir.

“Untuk itu diperlukan kerja sama internasional untuk memeranginya,” ungkapnya.

Menurut Mas Achmad Santosa, Indonesia menjadi salah satu negara yang berpengalaman dalam menangani kasus-kasus kejahatan perikanan lintas negara, seperti kasus FV Viking, Silver Sea 2, STS-50, Sunrise Glory, dan MV NIKA. Namun, walau berpengalaman, Indonesia selalu menghadapi tantangan besar saat harus membongkar jaringan kapal ilegal yaitu menemukan pemilik manfaat (beneficial owner).

Di sisi lain, tantangan tak kalah besar juga datang dari dalam negeri, karena kerangka hukum nasional dinilai masih kurang dalam menjerat pelaku. Itu dinilai menjadi salah satu hambatan karena keluar dari yurisdiksi Negara.

Dengan kompleksitas operasi yang dilakukan untuk menemukan pemilik manfaat, Achmad menyebutkan, perlu kesepahaman antar pihak terkait di dalam dan luar negeri tentang TOC. Seluruh negara bisa bersatu dan mengembangkan pemahaman umum tentang TOC pada industri perikanan dan memperkuat kemauan politik (political will) melawan aktivitas TOC.

“Setiap negara dapat menyusun peraturan perundang-undangan nasional yang efektif dan membentuk lembaga penegakan hukum yang efektif,” pungkasnya.

***

 

Keterangan foto utama : Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jakur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version