Mongabay.co.id

Burung Gereja yang Mudah Beradaptasi Dengan Manusia 

 

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian burung gereja, maka disetiap tanggal 20 Maret ditetapkan sebagai hari Burung Gereja Se-Dunia. Penetapan ini diinisiasi oleh Nature Forever Society dari India, berkolaborasi dengan Eco-Sys Action Foundation dari Prancis.

Selain itu dukungan beberapa organisasi nasional dan internasional lainnya di seluruh dunia turut mencetus ditetapkan hari Burung Gereja Se-Dunia.

Hal tersebut diinisiasi karena di sejumlah negara populasi burung gereja terus mengalami penurunan cukup tajam setiap tahunnya. Penyebabnya, burung ini mulai kehilangan habitatnya, dimangsa predator seperti kucing, penggunaan peptisida secara berlebihan dan juga polusi udara.

baca : Burung Gereja, Si Mungil di Sekitar Kita…

 

Untuk membantu kelestarian menjaga kelestarian burung gereja. Pada tanggal 20 Maret ditetapkan sebagai hari Burung Gereja Se-Dunia. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Burung yang dikenal juga dengan sebutan tree sparrow ini merupakan burung yang paling sering dijumpai di lingkungan sekitar manusia. Di Indonesia, sub spesies yang paling populer yaitu Passer montanus-malaccensis.

Sedangkan sarangnya biasa dibuat di dalam rongga yang alami, biasanya di sebuah lubang yang ada di sebuah bangunan rumah, masjid, maupun lainnya.

Banyak orang yang terkecoh dan menganggap jenis yang tersebar luas di dunia ini berasal dari suku Ploceidae (manyar dan pipit). Padahal, burung-burung gereja erasia masuk dalam suku Passeridae (burung gereja).

Memang ada kemiripan suku Plocidae dan Passeridae, yaitu sama-sama mungil, berekor pendek, berparuh tebal-pendek, dan sama-sama Passeriformers. Bedanya karena urusan genetik. Suku Passeridae yang awalnya ditempatkan sebagai anak suku, kini sejajar dengan Plocidae.

baca juga : Gelatik, Sempurnanya Gerakan Burung Pada Pesawat Udara

 

Di sejumlah negara burung gereja mengalami penurunan cukup tajam setiap tahunnya. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Bertubuh Mungil

Burung ini mempunyai ukuran sedang, yaitu 14 cm. Berbiak pertama kali saat umur satu tahun dan menghasilkan lima sampai enam butir telur. Tetapi, umumnya hanya menghasilkan dua sampai tiga keturunan saja yang akan lepas sarang saat umur 15-16 hari.

Seperti halnya jenis burung kecil lainnya, mereka dapat terinfeksi parasit dan juga diburu oleh burung pemangsa. Burung ini rata-rata bisa hidup dalam jangka waktu kurang lebih dua tahun.

Burung Gereja memiliki kebiasaan berasosiasi dekat dengan manusia. Adaptasi hidupnya berkelompok di sekitar rumah maupun gudang. Disaat mencari makan mereka berada di tanah dan lahan pertanian dengan mematuk biji-biji kecil ataupun beras.

menarik dibaca : Masihkah Ada Jenis Burung Ini di Sekitar Kita?

 

Burung Gereja dikenal juga dengan sebutan tree sparrow ini merupakan burung yang paling sering dijumpai di lingkungan sekitar manusia. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Egmont Congdenjit, mahasiswa Biologi, Universitas Udayana, berbagi pengalaman selama pengamatan, menjelaskan, burung gereja merupakan salah satu burung yang menarik untuk dipelajari. Bisa dari segi perilakunya, cara makan, dan aktivitas mereka yang beragam.

Dikatakan menarik, karena mereka digolongkan burung yang urban atau dapat ditemukan di sekitar manusia. Uniknya lagi mereka berbaur dengan lingkungan manusia. Selain itu, hidup mereka berkoloni untuk mencari makan.

Perilaku berkoloni ini juga berfungsi sebagai “security system” agar lebih awas terhadap pemangsa. Burung ini sering bersarang di sela-sela atap rumah atau drainase hujan di atap dengan bahan sarang yang beragam, misalnya dari tali rafia, potongan kain, dll.

Menurut pria yang tergabung dalam Bird Study Club (BSC) Curik Udayana Bali ini, secara langsung burung gereja memang tidak terlihat bermanfaat bagi manusia. Namun, secara ekologi mereka bisa membantu mengurangi hama lingkungan.

baca juga : Foto: Burung Liar yang Bisa Kita Undang ke Pekarangan

 

Burung Gereja hidupnya berkoloni. Mempunyai ukuran sedang, yaitu 14 cm. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Mereka termasuk burung granivore. Namun, jika makanan utamanya tidak tersedia maka umumnya mereka akan mencari makanan alternatif seperti lalat di tempat pembuangan warga.

Dia mengaku senang dan mempunyai ketertarikan lebih lanjut mempelajari burung gereja, karena keunikan dan kebermanfaatannya untuk lingkungan sekitar. “Mungkin akan lebih bird friendly untuk urban bird ya disediakan nest box di taman kota yang bisa ditempati burung, utamanya burung gereja. Selain itu diperlukan edukasi mengenai pentingnya keberadaan mereka,” harap pria 23 tahun ini, Kamis (12/03/2020).

Burung gereja tersebar secara global hampir ke seluruh dunia, mulai dari Pulau Jawa, Sumatra dan Bali. Burung ini hidup di dataran rendah hingga dataran dengan ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut.

Dilansir dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hasil pengamatan para ahli luar negri menyebut, di dataran Inggris kini populasi burung gereja merosot drastis hingga 95%. Meskipun belum ada kepastian, dugaan terbesar mengarah pada konversi lahan pertanian dan penggunaan herbisida dan insektisida yang membunuh sumber-sumber pangan mereka, seperti biji-bijian dan serangga.

Langkah paling mutakhir yang tengah diupayakan adalah konservasi lingkungan untuk menjamin keberlanjutan populasi burung-burung tersebut.

baca : Ruang Terbuka Hijau, Penting untuk Manusia dan Kehidupan Burung

 

Burung gereja mampu hidup di dataran rendah hingga dataran dengan ketinggian 1500 meter diatas permukaan laut. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Mempunyai Keistimewaan

Lina Kristina Dewi, dkk, dalam artikel “Penggunaan Jala Kabut Untuk Studi Populasi Burung Gereja Erasia (Passer mountanus) di Kampus IPB Dramaga: Variasi Jumlah Tangkapan dan Bobot Tubuh Pada Musim Berbeda” menjelaskan, jumlah tangkapan individu muda (anak) di kampus IPB Dramaga menyatakan, bahwa individu muda paling banyak ditemukan antara Januari-Maret, pada saat musim penghujan. Pada penelitian yang dilakukan ini individu muda justru paling banyak tertangkap pada awal musim penghujan di bulan Oktober.

Hal tersebut menunjukkan bahwa musim bukanlah satu-satunya penentu musim berbiak, tetapi faktor lain seperti ketersediaan pakan maupun suhu juga mempengaruhi musim berbiak dari burung gereja erasia. Pada musim hujan, di lokasi penelitian terlihat banyak pohon dan tanaman berbunga yang dapat mengundang serangga.

Serangga merupakan sumber protein yang diperlukan oleh burung gereja erasia untuk masa berbiak. Sehingga pada musim ini digunakan untuk berbiak dan menghasilkan individu-individu muda.

Bagi sebagian orang, burung ini dianggap biasa. Padahal mereka mempunyai kelebihan sendiri. Memiliki kemampuan berkoloni dan bandel karena tidak alergi dekat dengan manusia. Atau keistimewaanya diistilahkan dengan human dominated ecosystem. Untuk itu tidak heran burung jenis ini paling banyak dijumpai di kota-kota besar di Indonesia.

 

Burung ini berbiak pertama kali saat umur satu tahun dan menghasilkan lima sampai enam butir telur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Burung gereja mempunyai keistimewaan, yaitu populasinya sering dijadikan ciri-ciri atau tanda tingkat populasi sebuah wilayah. Metode penelitannya dengan mengamati kotoran dan juga cangkang telurnya.

Saat dijumpai pada burung gereja dipemukiman yang padat. Maka, konsentrasi CU, Pb, serta Zn lebih tinggi jika dibandingkan yang hidup pada area yang bebas dengan polusi. Untuk itu adanya burung gereja ini disuatu wilayah dapat dijadikan petunjuk seberapa banyak tingkat polusi yang ada pada daerah tersebut.

Sementara itu, Berdasarkan catatan Burung Indonesia, hingga awal 2020 terjadi penambahan spesies burung di Indonesia. Catatan ini mencakup keluarnya empat spesies dari daftar 1.777 spesies menjadi 1.773 spesies. Namun demikian, terdapat 21 spesies baru yang tercatat. Sehingga Indonesia saat ini mempunyai 1.794 spesies burung.

 

Exit mobile version