Mongabay.co.id

Nasib Suram Hutan Negeri, Ada Omnibus Law, Makin Buram

Warga Iban mendayung sampan di Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kalimantan Barat. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Hutan Indonesia, bakal makin terancam. Sudah dua dekade UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terbit. Ia ada sebagai upaya pelestarian dan menjaga hutan sebagai penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat. Kala itu, regulasi ini diharapkan dapat menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional. Kehadiran rancangan UU Cipta Kerja—yang menyederhanakan segala aturan termasuk UU Kehutanan, bikin was-was.

Catatan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) khusus sektor kehutanan di RUU Cipta Kerja, menyebutkan, penyelesaian tumpang tindih kawasan diatur pusat melalui perpres. Batas minimum 30% kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap daerah alirans ungai (DAS) dan pulau dihapus. Kemudian, pemegang izin tak lagi bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di areal kerja, hanya wajib upaya pencegahan dan pengendalian. PPNS bidang kehutanan wewenang ditambah tetapi kedudukan di bawah kepolisian.

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan pesimis kelestarian hutan Indonesia seiring RUU Cipta Kerja yang sedang dikerjakan pemerintah dan DPR.

”Analisisnya akan rontok semua upaya yang selama ini kita lindungi. Omnibus law ini secara skema bagus, tapi substansi ingin membatalkan semua aturan safeguard yang selama ini kita perjuangkan,” katanya saat ditemui Mongabay.

Arah omnibus law ini lebih menitikberatkan pada kedaulatan investasi dibandingkan kedaulatan bangsa. Teguh memprediksi, ada risiko cukup besar kalau Presiden Joko Widodo bersikukuh menjalankan omnibus law seperti drat yang ada.

Tak hanya UU Kehutanan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32/2009, juga nasib serupa dan lagi-lagi bakal mengancam hutan negeri ini.

Teguh contohkan, keberadaan UU PPLH mulai terasa setelah tujuh tahun ada, saat gugatan kebakaran hutan dan lahan PT Bumi Mekar Hijau pada 2015, walau kemenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tak penuh.

Kemenangan itu, katanya, karena ada Pasal 88 terutama frasa ‘tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan’ atau strict liability. Sayangnya, pasal sakti yang seringkali dgunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan pun hilang dalam RUU omnibus law. Walau alasannya, penghapusan ini bukan berarti menghilangkan makna strict liability. Belum lagi, dalam omnibus law mengedepankan sanksi administratif tanpa menghilangkan sanksi pidana.

Omnibus law ini bukan jawaban, jika mau omnibus law, harusnya lahir dari kajian KPK terkait reviu Undang-undang dan kebijakan terkait sumber daya alam. Itu yang harus dibuat omnibus law,” katanya, sambil bilang, lingkungan baik kalau korupsi diberantas.

“Dalam omnibus law inipun pemegang izin tak lagi bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di areal kerja mereka, hanya wajib upaya pencegahan dan pengendalian,” kata Reynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL.

Selain itu, kewenangan PPNS bidang kehutanan pun diberikan tambahan, namun kedudukan berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian. Bahkan, katanya, ketentuan perubahan peruntukan kawasn hutan yang strategis tidak lagi membutuhkan persetujuan DPR, hanya diubah melalui peraturan pemerintah.

Data BPS, pada 1978-1999, kawasan hutan Indonesia tercatat seluas 146 juta hektar, pada 1999-2009 jadi luas 134 juta hektar dan 2009 hingga kini 126 juta hektar.

 

 

Tak berpihak masyarakat adat

Dahniar Adriani, Direktur Perkumpulan HuMa , mengatakan, RUU omnibus law ini secara jelas menyisihkan masyarakat adat.

Berbicara hutan tidak lepas dengan masyarakat dan keragaman hayati di dalamnya, terutama masyarakat adat. ”Sudah hampir 75 tahun Indonesia merdeka, peran-peran kehutanan tidak berbeda dengan masa sebelum merdeka, terutama terkait pengakuan hak masyarakat,” katanya. Kalau sampai omnibus law jadi, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat bakal lebih sulit.

Hingga kini, pemerintah terus memproses hutan adat dan penetapan terus berjalan. Sampai 20 Maret 2020, penetapan hutan adat mencapai 44.682,34 hektar, angka ini bertambah dibandingkan pada 31 Desember 2019 seluas 24.624,34 hektar.

Soal alokasi perizinan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, sebelum 2014, KLHK menyebutkan, 32,74 juta hektar atau 98,53% untuk swasta, sedangkan masyarakat hanya 1,35%. Setelah ada perhutanan sosial pada 2015-2019, luasan peruntukan masyarakat mencapai 4.074.291,23 hektar, sebesar 914.927,13 hektar merupakan pencadangan atau penunjukan hutan adat.

Meski demikian, katanya, surat keputusan penetapan hutan adat itu lebih banyak berada di luar kawasan hutan. “Sebenarnya, nasib masyarakat adat di kawasan hutan dengan praktik hutan adat itu belum jelas menjawab keberadaan mereka.”

Padahal, katanya, praktik pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan hidup dan mampu memberikan kontribusi ekonomi.

 

Milka Hamaela, warga Marena, sedang menjemur biji kakao. Dia merasa setelah ada rumah dan lahan berkebun sendiri, hidup lebih baik dari sebelumnya, walaupun masih banyak masalah, seperti kakao kena hama. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Ekonomi masyarakat tumbuh sekaligus jaga hutan

Pada 2018, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) riset nilai ekonomi pengelolaan kekayaan alam di enam wilayah adat menghasilkan Rp159,21 miliar per tahun. Nilai jasa lingkungan mencapai Rp170,77 miliar per tahun, dan mampu mendorong perekonomian di daerah.

Contoh di Kalimantan Barat. Dalam bidang ekonomi, gerakan ekonomi kerakyatan pun tumbuh dan berkembang setelah mengalami proses inkulturasi sesuai budaya masyarakat adat Dayak di Kalbar pada 1980-an. Pada 2018, credit union di Kalbar memiliki aset Rp6,5 triliun, dan pada tahun sama, APBD Kalbar hanya Rp5,9 triliun.

KLHK pernah melakukan modeling bersama akademisi di beberapa wilayah dan ada peningkatan kesejahteraan masyarakat dari kegiatan ekonomi melalui perhutanan sosial, antara lain, di Aceh dan Sulawesi Tengah. Warga mendapatkan nilai tambah 11-16% keuntungan dari penjualan kopi. Di wilayah Jogja dan Lampung, perhutanan sosial meningkatkan tutupan lahan hingga 6-12% dari tahun sebelumnya.

Kesejahteraan ekonomi juga meningkat berdasarkan pendapatan per kapita per bulan, sekitar Rp700.000 per orang per bulan atau Rp3,5 juta per keluarga dengan perkiraan satu keluarga lima orang. Ini lebih tinggi dari angka kemiskinan BPS, Rp42.000 per kapita per bulan.

Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK mengatakan, perhutanan sosial jadi satu cara memperbaiki keadilan akses hutan yang lebih pro rakyat. “Dengan program pemberdayaan atau pendampingan rakyat mengelola hutan untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai tambah melalui prosesing produk dan pasar baik lokal maupun internasional,” katanya.

Selain meningkatkan ekonomi rakyat, katanya, perhutanan sosial ini juga bisa memitigasi perubahan iklim, menekan kensenjangan antara kota dan desa, deurbanisasi dan pengurangan kemiskinan.

 

Keterangan foto utama:  Warga Iban mendayung sampan di Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kalimantan Barat. Hutan adat terjaga, air melimpah… Foto: Rhett A. Butler

 

 

Exit mobile version