Mongabay.co.id

Saat Air Kolong Jadi Andalan Masyarakat Bangka

 

 

Eksploitasi biji timah secara legal maupun ilegal menyebabkan perubahan bentang alam di Pulau Bangka. Misalnya, banyak hutan dan perkebunan menjadi terbuka. Juga, lubang-lubang bekas galian yang kemudian berisi air [kolam], yang disebut “kolong” muncul akibat tidak direklamasi.

Di sejumlah daerah yang pernah atau masih ada penambangan timah, kolong-kolong ini menjadi sumber air baku warga sekitar. Misalnya untuk mencuci, mandi, bahkan sebagai air minum ketika musim kemarau tiba.

Penelitian yang dilakukan Irvani dan Janiar Pitulima pada 2016 menyatakan, sekitar 90 persen kolong yang terdapat di Bangka Belitung dimanfaatkan warga sekitar, sebagai sumber air baku. Seperti untuk mandi, mencuci peralatan rumah tangga dan pakain, kakus [MCK], serta air minum. Kedalaman air kolong kisaran 4- 5 meter.

Baca: Jerit Petani Lada dalam Pusaran Tambang Timah [Bagian 1]

 

Sejumlah warga mandi di Kolong Spritus, di Desa Padang Baru, Senin [09/3/2020]. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Mongabay Indonesia berkunjung ke sebuah kolong yang dinamakan warga “Kolong Spritus”, Selasa, 10 Maret 2020. Lokasinya, sekitar komplek perkantoran Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Masyarakat yang memanfaatkan air kolong ini adalah warga Desa Padang Baru, Desa Tanjung Gunung, Sampur, serta Desa Cambai. Mereka mandi dan mencuci di kolong bekas penambangan timah sekitar 20 tahun lalu.

“Kalau mandi dan mencuci, sudah pasti setiap hari di sini. Menghemat air sumur air di rumah. Kalau kemarau kami juga sering mengambil air di sini untuk masak dan minum, sebab air sumur di rumah kering. Syukurnya, air ini tidak kering meskipun kemarau,” ujar Astriasih, warga Desa Padang Baru, Kabupaten Bangka Tengah.

Di Desa Cambai, Kabupaten Bangka Tengah, sejumlah warga mengaku sejak lama memanfaatkan kolong sebagai air baku. “Kolong ini kemungkinan sudah berusia di atas 10 tahun, dan kami gunakan untuk mandi. Saat kemarau pun, kami sering mengambil air minum di sini,” kata Supri, warga Desa Cambai, Kabupaten Bangka Tengah.

Baca: Jerit Petani Lada dalam Pusaran Tambang Timah [Bagian 2]

 

Warga mandi di salah satu kolong di Desa Cambai, Kabupaten Bangka Tengah, Selasa [10/3/2020]. Masyarakat Pulau Bangka sudah lama memanfaatkan air kolong sebagai andalan utama. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Air kolong sumber PDAM

Kolong secara umum terdiri atas kolong muda, kolong menengah, dan kolong tua. Kolong muda merupakan kolong yang baru terbentuk dengan usia kurang 5 tahun. Karakteristik utamanya adalah kandungan logam berat di air tinggi dan pH airnya rendah [2-4].

Kolong menengah atau kolong sedang memiliki usia antara 5 – 20 tahun dengan karakteristik logam di air masih cukup tinggi dan pH antara 4 – 6. Sementara kolong tua, merupakan kolong yang kondisi biogeofisik yang sudah normal dan memiliki pH antara 5,5 – 7 dengan kandungan logam berat di kolom air yang rendah.

Kolong yang telah berusia minimal 10 tahun [syarat sebagai air baku] sebagian telah dijadikan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai sumber air baku oleh perusahaan air daerah PDAM di beberapa kabupaten atau kota. Misalnya, PDAM Merawang, Kabupaten Bangka, yang menggunakan air kolong sebagai sumber air baku. Pada 2015 lalu, kolong ini sempat mengalami kekeringan di musim kemarau, sehingga menghentikan pasokan air ke pelanggannya, yang sebagian besar warga Kota Sungailiat.

Berikut sejumlah kolong yang menjadi sumber air baku warga di Pulau Bangka. Misalnya Kolong Kacang Pedang [Pangkalpinang], Kolong Bahar [Kabupaten Bangka Selatan], Kolong Jebus dan Lalang [Bangka Barat], Kolong Nibung [Bangka Tengah], Kolong Pemali serta Merawang [Kabupaten Bangka].

Baca juga: Sampah yang Merusak Pesona Pantai Bangka

 

Kolong yang digunakan PDAM Merawang sebagai sumber air baku untuk wilayah Kabupaten Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di atas 25 tahun

Delita Ega Andini, peneliti yang juga dosen Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Bangka Belitung, menjelaskan ketika sumber air kolong berasal dari kolong muda atau kolong yang masih ada aktivitas tambang atau baru ditinggalkan kurang dari 25 tahun, risiko atau dampak airnya sangat besar. Alasannya, logam terlarut masih tinggi walaupun pH air sudah bisa dikatakan memenuhi baku mutu.

“Masalah kesehatan akan sangat dirasakan baik jangka pendek maupun jangka panjang, apalagi digunakan untuk air minum. Nilai TDS [logam terlarut] di dalam air kolong bekas penambangan timah dikategorikan tinggi yaitu 500 – 1.200 ppm. Sementara, berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, batas tertinggi baku mutu air 1.000 ppm,” katanya.

 

Anak Sungai Baturusa yang mengering akibat sedimentasi parah yang terjadi karena penambangan timah liar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selain air kolong, masyarakat Pulau Bangka juga banyak memanfaatkan air tanah melalui penggalian sumur biasa dan sumur bor. Namun, pemanfaatan air tanah Pulau Bangka yang mengandung timah bukannya tanpa risiko.

“Sumber batuan intrusi timah yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai penghasil timah adalah batuan beku asam, sehingga air tanah pada umumnya mempunyai rata-rata pH 5. Namun dengan pH demikian, untuk keperluan air baku bisa digunakan, sedangkan untuk pengelolaan sebagai air minum baiknya dimasak lebih dulu,” kata Delita.

Air kolong merupakan air yang tidak mempunyai sirkulasi [sirkulasi tertutup] atau bisa dikategorikan air dalam sump [sumuran] yang sumbernya hanya berasal dari air tanah. “Dibandingkan air kolong, air sungai lebih memungkinkan dijadikan sumber air baik dari segi kualitas ataupun kuantitas. Air kolong apabila jauh dari semua serapan air maka tidak menutup kemungkinan air tersebut tidak bisa digunakan secara berkelanjutan,” jelasnya.

 

Mangrove tersisa di Sungai Baturusa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Air sungai ada yang tidak layak konsumsi

Ada 67 sungai yang mengalir di seluruh kabupaten di Pulau Bangka, berdasarkan data Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bangka Tahun 2016 oleh Dirjen Sumber Daya Air Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Namun, berbagai aktivitas seperti tambang timah, perkebunan skala besar, hingga illegal logging di sepanjang DAS [daerah aliran sungai] mengakibatkan sejumlah sungai airnya tercemar atau melebihi syarat baku mutu layak konsumsi.

 

Aktivitas tambang timah di sekitar Sungai Baturusa mengakibatkan sedimentasi yang memicu intrusi air laut hingga ke hulu Sungai Baturusa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hasil pemantauan kualitas air BPLHD Provinsi Bangka Belitung pada 2012 menunjukkan sejumlah sungai di Pulau Bangka seperti Sungai Mabet, Kayubesi, Limbung, Baturusa, Selindung, Pangkalbalam dan Rangkui masuk dalam kategori cemar berat. Senyawa kimia seperti TDS, DO, BOD5, COD, Sulfida [H2S], Sianida [CN-], Fecal Coli dan T. Coliform telah melampui Baku Mutu Air Kelas II berdasarkan PP No 82 Tahun 2011.

 

 

Exit mobile version