Mongabay.co.id

Kisah Sukses Eustakius Kembalikan Kejayaan Holtikultura di Sikka

 

Siang itu, Senin (20/4/2020), panas mentari terasa menyengat. Tetapi cuaca berbeda terasa saat memasuki perbukitan Desa Nitakloang, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sepanjang sisi jalan, terlihat hamparan bedeng tanaman cabai dan tomat serta aneka tanaman holtikultura berbaris rapi.

Puluhan anggota kelompok tani Sinar Bahagia dan petugas Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Nita sedang duduk santai menyantap makanan. Sesekali meluncur topik terkait pandemi COVID-19 yang sedang melanda dunia termasuk di wilayah mereka.

“Areal ini seluas 4 hektare. Ini merupakan lahan milik koperasi Pintu Air yang diberikan kepada kami untuk dikelola dengan sistim bagi hasil,” ucap Eustakius Bogar, Ketua Kelompok Tani Sinar Bahagia Desa Nitakloang saat berbincang bersama Mongabay Indonesia, Senin (20/4/2020).

Lahan dengan kemiringan sekitar 30 derajat tersebut berada di punggung bukit. Sebelah utara terdapat lembah dan mata air. Ada areal persawahan di daerah tersebut. Sepanjang mata memandang, tersaji rerimbunan pepohonan.

Di atas lahan milik koperasi kredit tersebut, Eustakius dan 20 anggota kelompoknya menanam ribuan pohon tomat. Bedeng-bedeng tomat membentang selepas pintu masuk kebun.

“Ada ratusan bedeng tomat yang sudah siap panen. Bedeng lainnya sedang disiapkan dan akan ditanami dengan tanaman holtikultura namun dampak Corona membuat kami menanamnya dengan singkong,” ucapnya.

baca : Sius, Petani Difabel Pelopor Pertanian Organik yang Diundang Makan Malam Jokowi

 

Tanaman tomat di lahan milik kelompok tani Sinar Bahagia di Desa Nitakloang, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, NTT yang memasuki masa panen. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kembalikan Kejayaan

Bicara holtikultura tak asing bagi petani di Desa Nitakloang. Sejak jaman dahulu daerah ini terkenal sebagai penghasil holtikultura di Kabupaten Sikka. Sarjana-sarjana sukses dihasilkan dari penjualan tanaman holtikultura.

Namun lambat laun tanaman holtikultura mulai ditinggalkan. Petani di desa ini mulai menanam kelapa dan kakao. Kejayaan ini yang coba dibangkitkan di desa ini.

Sebelumnya, generasi mudanya tidak ada yang peduli dan mau jadi petani. Mereka asyik dengan dunia “gelap” seperti perjudian yang dianggap bisa mendatangkan banyak uang dalam waktu singkat.

“Dulu waktu kecil cita-cita saya jadi pastor. Awalnya perjudian meja biliar, terus jual air mineral, kios dan ketika semua bisnis dijalankan saya bingung mau bisnis apa lagi,” tutur Eustakius.

Di tengah kegalauan, lelaki kelahiran Maumere 17 November 1972 ini mulai merenung. Ada perasaan miris menyaksikan wilayahnya yang dulu jadi sentra pertanian holtikultura mulai meredup.

Belum lagi Eus melihat anak-anak muda tidak ada yang melirik pertanian. Ini yang membuat dirinya memberanikan diri terjun ke dunia pertanian holtikultura dengan modal nekat, minim ilmu bertani.

“Saya masuk dengan ketidaktahuan sama sekali dan belajar secara otodidak serta didukung oleh BPP Nita. Orang tua saya bukan petani holtikultura, namun saya melihat ada peluang di holtikultura yang ditinggalkan generasi muda karena dianggap kotor dan keras,” ungkapnya.

Eus membagi ilmu dengan cara mengajar kepada  anak SMK asal Adonara Flores Timur yang praktek di lahan kebunnya. Jadi learning by teaching. Malam hari, Eus diajari penyuluh pertanian dari BPP Nita, besoknya ia menjelaskan ke anak SMK Pertanian.

Bila tidak memahami, Eus meminta penyuluh BPP menjelaskan dan dirinya juga ikut menyerap ilmunya.

baca juga : Di Daerah Rawan Konflik Tanah, Polisi Ini Sukses Ajak Masyarakat Bercocok Tanam Sayuran

 

Eustakius Bogar (kiri) Ketua Kelompok Tani Sinar Bahagia, Desa Nitakloang, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, NTT bersama sekretaris kelompok Albertus Marianus Moa Desa di lahan pertanian milik kelompok tani. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Gerakan Dua Ribu Pohon

Untuk beralih dari petani kelapa dan kakao menjadi petani holtikultura memang sulit. Berbagai tantangan harus dihadapi apalagi harus mendapat perlawanan dari keluarga dan orang tua.

Sebelumnya dari hasil kakao dan kelapa di lahan warisan orang tua seluas 1,5 hektare, Eus mengaku  paling bisa menyimpan uang sebesar Rp.3 juta setahun. Dirinya pun memberanikan membabat kakao, mete dan kelapa meskipun dengan amarah besar orang tua dan kakaknya.

“Sulit memulai menanam holtikultura karena Nita terkenal dengan kelapa. Ketika anda menebang kelapa maka akan dibenci, suatu yang sangat luar biasa,” ucapnya mengenang.

Modal awal  Rp.8 juta dipergunakan untuk membuka lahan. Sebanyak 100 lebih bedeng disiapkan untuk ditanami tomat dan buncis berbekal ilmu bercocok tanam dari BPP Nita.

“Tanam pertama buncis benih 4 kilogram keuntungannya Rp30 juta dan tomat Rp40 juta 4 ribu pohon. Dalam kurun waktu 4 bulan sekali musim tanam saya dapat untung Rp70 juta,” sebutnya.

Hasil pertanian Eus menjualnya sendiri di pasar Alok. Dia mengaku tidak sulit menjual karena permintaan  pasar di Maumere sangat besar. Dalam dua minggu saja, didatangkan tomat 11 – 17 ton dari Makasar pada tahun 2017

baca juga : Rahmat Adinata dan Mimpi Jadikan Sumba Pulau Organik

 

Bedeng-bedeng yang disiapkan petani di Desa Nitakloang, Kecamatan Nita, Sikka, NTT untuk menanam tanaman holtikultura, saat pandemi COVID-19 ini terpaksa ditanami singkong untuk mengatasi ketahanan pangan. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Hal ini yang membuat suami dari Maria Densiana Barbara (37) ini gencar mencari anak-anak muda di desanya untuk diajarkan menanam holtikultura. Teman-temannya sesama penjudi dan pemabuk yang selama ini pengangur diajaknya ikut.

Tak tanggung-tanggung, Eus gelorakan gerakan Dua Ribu Pohon. Dia ingin membuat perubahan menanam holtikultura secara besar-besaran karena selama ini petani hanya tanam 400 sampai 500 pohon.

“Saya namakan gerakan Two Thousand Action. Semua harus ditanam di atas 2 ribu pohon supaya produksinya lebih banyak dan uangnya lebih banyak. Sekarang petani di Nita menanam di atas 2 ribu pohon setiap kebunnya,” sebutnya.

 

Menguasai Pasar

Tanam holtikultura rupanya menggiurkan. Eus mengaku bersama sang adik memperoleh sekitar Rp.150 juta dari kebun seluas 1,5 hektare selama dua tahun.

Ini yang membuat ayah dari Maria Primarose Della Bogar (14) dan Berardus Brilian Bogar (11) ini bersemangat. Tak ingin sendiri berhasil, dia pun mengajak anak muda di desanya terjun ke bisnis ini.

“Pertama kali sulit mengajak petani menanam karena mereka takut jualnya dimana kalau menanam dalam jumlah banyak. Mereka sangsi dengan pasar dan saya jelaskan pasanya terbuka luas,” tuturnya.

Menjual ke pasar pun saat itu petani menggunakan ember plastik. Eus mengubahnya dengan menggunakan peti kayu dan membawa hasil panen ke pasar menggunakan mobil pick up.

Selama ini, pasokan tomat dari Makassar didatangkan ke Maumere lalu dijual ke Flores Timur, Pulau Sumba dan lainnya.

“Saya bermimpi menguasai pasar holtikultura di Sikka dan juga minimal di beberapa wilayah kabupaten tetangga,” tuturnya.

menarik dibaca : Boro Tinggalkan Kemapanan di Belanda, Garap Sorgum di Pulau Adonara, Apa yang Dicarinya?

 

Lahan milik kelompok tani Sinar Bahagia di Desa Nitakloang, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, NTT yang sudah dibajak dan disiapkan untuk ditanami singkong dan jagung mengatasi ancaman rawan pangan di tengah merebaknya wabah Corona. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Eus merencanakan menjurus ke pertanian organik dan sudah secara perlahan bertolak ke sana. Misalnya penggunaan kompos, menggunakan pupuk cair organik. Perlahan mulai mengurangi pestisida kimia dan meskipun mempergunakan tetap sesuai ambang batas yang diperbolehkan.

Dampak COVID-19 pun ikut dirasakannya. Kalau tidak ada COVID-19 dia mengaku sudah bisa mengantongi uang ratusan juta rupiah. Cabe keritingnya 7.000 pohon siap panen, dan biasanya dijual dengan harga Rp50.000/kg. Untuk tomat dijual Rp Rp.10.000/kg.

Pertengahan April dirinya meminta kepada anggota kelompok untuk berbuat sesuatu dan menjadi pahlawan pangan. “Kami ke Dinas Pertanian dan meminta bantuan menanam tanaman pangan untuk ketahanan pangan seperti jagung dan singkong. Kami diberikan bantuan benih singkong 25 hektare dan 30 hektare jagung,” terangnya.

Saat ditemui, singkong bantuan pemerintah tersebut telah ditanam di bedeng-bedeng yang sedianya akan ditanami holtikultura seperti lombok dan tomat. Itu bukti antisipasi rawan pangan.

Uang dari bertani dipergunakan untuk membayar hutang karena sebelumnya rata-rata para petani sebut Eus bekerja di dunia gelap seperti perjudian dan sejenisnya.

Dia bersyukur secara sosial banyak diantara generasi muda yang melepaskan dunia gelap sebelumnya. Puluhan petani di kecamatan Nita bahkan kecamatan lainnya mulai belajar dan termotivasi darinya.

“Pak Eus ini bukan saja petani kunci, tapi dia petani pelopor dan penggerak. Dia benar-benar mau terus belajar bahkan tak sungkan membagi ilmu dan mengajak orang lain bertani holtikultura,” kata Manserius Menga, Kepala BPP Nita kepada Mongabay Indonesia, Senin (20/4/2020).

Eus berpesan kepada anak muda agar menggeluti dunia kerja dengan sepenuh hati. “Jadilah ahli di bidangnya. Kalau jadi petani, jadilah ahli di bidang pertanian. Kalau jadi peternak, jadilah ahli dibidang peternakan,” katanya,

“Saya saja walau tamatan SMA tetapi berusaha dan butuh waktu 3 tahun untuk menjadi petani tomat yang profesional. Ahli dibidang budidaya tomat meskipun orang mengatakan, masa tanam tomat saja butuh waktu lama baru mahir,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version