Mongabay.co.id

Kalau Ada Omnibus Law Pulau Madura Bakal Makin Terancam

Lahan pertanian jadi tambang galian C. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Ada amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red), seringkali jadi alat pemerintah memberikan kemudahan bagi perizinan usaha. Apalagi kalau amdal dihapus,” kata A. Dardiri Zubairi, pegiat lingkungan dari Komunitas Barisan Ajaga Tana Na’ Poto atau Barisan Penjaga Tanah Anak Cucu (Batan) Sumenep, menanggapi pembahasan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, yang berisi penyederhanaan berbagai aturan hukum di Indonesia (omnibus law).

Pemerintah telah menyerahkan draf RUU Cipta Kerja, yang berisi berbagai penyederhanaan aturan UU, biasa disebut omnibus law, ke DPR Februari lalu.

RUU itu mendapat banyak penolakan dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi/pakar, aktivis, buruh, sampai mahasiswa, karena pasal-pasalnya dianggap banyak merugikan rakyat kecil, pro-pemodal dengan niat mendatangkan investasi sebanyak-banyaknya.

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Salah satu yang jadi sorotan adalah penghapusan amdal bagi perusahaan berisiko kecil dan sedang, kecuali berisiko tinggi.

Selama ini, kata Dardiri, realitas di Madura, para pengusaha seringkali tidak melibatkan partisipasi publik dalam membangun usaha, terutama kepada masyarakat di daerah proyek.

Dengan acuan amdal seperti dalam RUU Cipta Kerja, katanya, sangat berisiko, karena hanya usaha berisiko tinggi wajib punya amdal. Baginya, usaha apapun yang mempunyai dampak lingkungan harus memiliki amdal, ditambah lagi tak ada tolok ukur jelas mengenai kategori usaha dalam RUU Cipta Kerja.

“Bisa saja kan, usaha yang sebenarnya berisiko tinggi ditafsirkan yang di bawahnya berisiko rendah, misal,” katanya.

 

Lahan pertanian di Badur, jadi pertambangan galian C. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Dengan regulasi ketat sekarang ini saja, birokrasi dan pengusaha masih bisa main-main, apalagi beri kemudahan seperti dalam RUU omnibus law itu.

Dardiri mencontohkan, penambangan galian C dan pembangunan tambak udang di Sumenep. Pembangunan tambak udang banyak mengalihfungsikan lahan. Sebelumnya lahan pertanian, perkebunan, sebagai penyedian pangan jadi tambak udang. Usaha yang tak ada hubungan dengan pertanian, malah merusak lingkungan, seperti pencemaran laut di sekitar Pantai Lombang, alih fungsi lahan pertanian di Desa Badur Kecamatan Batu Putih seluas 20 hektar. Lalu, kebun di Desa Lapa Daya, Kecamatan Dungkek, jadi tambak udang sekitar 24, 84 hektar dan beberapa kecamatan lain di Sumenep.

“Ini lucunya kan ketika musim pandemi seperti ini, pemerintah pusat ngomong ketahanan pangan tetapi mereka nggak pernah refleksi atau berpikir, apa yang mereka lakukan dengan memberikan … izin kepada pelaku usaha untuk mengalihfungsikan lahan itu sangat berdampak besar bagi ketahanan pangan,” katanya.

Berdasarkan data dari Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Sumenep pada 2019, ada 12 perusahaan tambak udang di Sumenep. Di Kecamatan Dasuk, satu izin, Kecamatan Gapura satu izin, Kecamatan Batang-batang satu izin, dan satu masih proses. Kemudian, Kecamatan Bluto satu lokasi ditolak, Kecamatan Dungkek satu berizin, dua proses izin, satu izin di Kecamatan Ambunten, Kecamatan Batu Putih satu berizin, dan satu proses izin, dan Kecamatan Talango satu proses izin.

Baca juga: Omnibus Law, Potensi Tambah Masalah Lingkungan dan Sosial

Selain 12 perusahaan di atas, ada pengusaha tambak udang yang tidak mengajukan izin, seperti di Desa Romben Barat, Kecamatan Dungkek, dan di Desa Legung Timur, Kecamatan Batang-Batang.

Pria yang juga Wakil Ketua Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep itu juga menyoroti soal sentralisasi. Menurut dia, menarik kewenangan daerah ke pusat, merupakan langkah mundur pemerintah dalam pembangunan berkelanjutan yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

“Ini mundur menurut saya, mundur jauh. Artinya, bagi usaha melindungi lingkungan, dalam melindungi ruang-ruang rakyat, ini mundur sekali,” katanya.

Sentralisasi, kata Dardiri, akan membuat pemerintah kabupaten kehilangan kekuatan dalam menjaga dan mengontrol para pengusaha. Mereka, katanya, hanya sebatas memfasilitasi. Kontrol dari masyarakat, katanya, juga sudah “dihabisi” dalam draf RUU omnibus law.

Seandainya ada masalah di kabupaten, misal, perampasan ruang hidup masyarakat, sedangkan pengusaha sudah mengantongi izin dari pusat, masyarakat akan sulit melakukan perlawanan.

“Saya tidak tahu apa ini saya suuzan, tapi ini mungkin memang siasat dari oligarki untuk makin memuluskan (investasi), makin memberikan karpet merah kepada para investor,” katanya.

Dia sebutkan, penambangan galian C, izin dari pemerintah provinsi dan banyak menyisakan masalah di daerah, termasuk di Sumenep.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

Menurut anggota Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Sumenep itu, orang-orang provinsi dan pusat tidak tahu apa-apa mengenai masalah di lapangan.

Padahal, kata Dardiri, di daerah ada nyawa, ada kalkulasi ekologi yang harus dihitung untuk keberlangsungan kehidupan masa kini dan depan. Yang mengetahui masalah daerah, katanya, adalah pemerinah daerah, penduduk daerah. Begitu juga yang terkena dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari usaha itu juga orang-orang sekitar proyek.

“Kalau birokrasi di daerah itu masih bisa diajak komunkasi meskipun dengan cara-cara yang agak sulit.”

 

Di Legung Barat ini lahan pertanian berubah jadi tambak ilegal. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Dardiri mengatakan, beberapa masukan bagaimana seharusnya investasi masuk dan diproses. Pertama, investor harus mempehatikan aspek-aspek ekologis, tak boleh merusak lingkungan dan pengalihfungsian lahan produktif, seperti pertanian dan perkebunan.

Kedua, pengusaha/investor harus mengajak diskusi masyarakat di daerah itu. Kalau masyarakat tidak bersedia, mereka tak bisa memaksa atau harus menyetop proyek.

“Diajak dalam pengertian tidak di posisi subordinat atau obyek, tetapi mereka betul-betul diajak terlibat terhadap proses kebijakan, kebijakan pemerintah daerah,” katanya.

Ketiga, warga harus memiliki saham dari dari usaha itu. Kepemilikan saham bisa dari alokasi dana desa atau dana desa, hingga saham tak hanya dikuasai orang luar daerah.

“Artinya, kepemilikan usaha itu lebih menguntungkan warga di situ karena saham punya warga disana.”

Kalau tidak diatur dengan ketat sesuai spirit kerakayatan, kata Dardiri, masyarakat bisa tersingkir secara perlahan dari tanah kelahiran mereka. Investor dengan kekuatan modal sewaktu-waktu, katanya, bisa semena-mena terhadap masyarakat. Investor bisa melakukan berbagai cara untuk memuluskan ambisi.

Kesejateraan masyarakat di daerah sekitar perusahaan, kata Dardiri, bukan sekadar masalah pemberian tanggung jawab perusahaan (corporate social responsibility/CSR) tetapi warga pemilik lahan mesti jadi pemegang saham dari sebuah usaha di daerah itu.

“Saya tidak tahu caranya bagaimana, pokoknya menurut saya, kira-kira kalau ada usaha di sebuah daerah yang harus dan paling untung adalah masyarakat daerah itu.”

Riki Frindos, Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati, (Kehati) mengatakan, sosial, ekonomi, dan lingkungan harus berjalan selaras, terintegrasi. Ketiga hal itu tidak bisa terpisahkan.

Dia bilang, omnibus law yang bertujuan mempermudah investasi, seharusnya tak sekadar menarik investasi masuk, tetapi memastikan mereka memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Investasi pun, katanya, demi tujuan jangka panjang, bukan jangka pendek.

“Pemimpin dunia, termasuk presiden kita, sudah berkomitmen, mereka sudah terikat, harus mengadopsi sustainable development goals. Itu resmi, itu formal, di tatanan politik juga,” kata Frindos dalam webinar from home bertajuk Intervensi Investasi Hijau terhadap Program Konservasi di Indonesia pada 28 April 2020.

Jadi, katanya, pembangunan ekonomi itu memang harus sejalan dengan sosial-lingkungan. Terlebih, kata Frindos, saat ini investasi berkelanjutan atau berbasis lingkungan jadi tren dunia, seperti di Eropa. “Indonesia baru mulai. Sustainability itu sekarang jadi filosofi, jadi acuan bagi semua.”

 

Keterangan foto utama: Lahan pertanian jadi tambang galian C. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version