Mongabay.co.id

Meredam Konflik Macan Tutul Jawa dengan Manusia

Macan tutul jawa yang sering disebut macan kumbang. Foto: Conservation International/BBKSDA JAwa Barat/Rawayan

 

Konflik macan tutul jawa [Panthera pardus melas] dengan manusia dalam satu dekade ini mengalami peningkatan. Menyimak pemberitaan Mongabay, 10 April 2020, seekor anakan macan tutul yang terjebak di sebuah peternakan ayam di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mati meski upaya penyelamatan telah dilakukan. Sementara, kejadian lain adalah, serangan yang diduga kuat dilakukan macan tutul terhadap manusia yang mengakibatkan luka, terjadi pada 1 Juni 2019 di Cimalingping Subang, Jawa Barat.

Kejadian tersebut hanya bagian kecil dari sekitar ada 55 kasus sejak 2008 sebagaimana catatan Forum Pemerhati Macan Tutul Jawa [Formata]. Mengapa bisa terjadi?

Gunawan dkk saat Konferensi Karnivora [2017] memaparkan, macan tutul yang pernah terlihat, hampir seluruhnya jantan muda yang diduga kalah dalam perebutan teritori. Di sisi lain, habitat makin menyempit dan populasi bertambah. Penelusuran lebih lanjut di Gunung Sawal Ciamis, Jawa Barat, berdasarkan penilaian masyarakat, macan tutul keluar karena mangsa yang berkurang dan tertarik dengan ternak warga.

Potensi konflik macan tutul di masa mendatang, diperkirakan semakin tinggi. Berdasar kajian Wibisono dkk [2018] dalam Jurnal Plos One, dijelaskan bahwa meski tanda-tanda keberadaan macan tutul 50,9% berada di kawasan konservasi [protected area] namun selebihnya dapat ditemui di luar kawasan konservasi. Sebut saja hutan sekunder, hutan produksi, kawasan pertanian campuran, perkebunan, sawah, permukiman, dan belukar.

Bahkan, disebut sekitar 53% konflik terjadi di kawasan pertanian campuran. Ini perlu menjadi alarm karena sebenarnya macan tutul memiliki karakter menghindari pertemuan dengan manusia [elusif].

Baca: Ironi Kematian Macan Tutul Jawa di Kampung Sudajaya

 

Macan tutul jawa yang disebut juga macan kumbang. Foto: Conservation International/BBKSDA Jawa Barat/Rawayan

 

Urgensi

Konservasi macan tutul perlu segera dilakukan, mengingat satwa ini dalam kategori Kritis, sebagaimana kategori IUCN. Macan tutul masuk dalam UU No 5 tahun 1990 dan P. 106/MENLHK/2018 sebagai satwa dilindungi, bahkan sebagai satu dari 25 satwa prioritas yang ditingkatkan populasinya.

Macan tutul pun menjadi kekayaan ekologi Indonesia yang luar biasa. Bagaimana tidak, macan tutul jawa secara evolusioner berbeda dari macan tutul Asia lain yang masih ada hinggi kini, sejak Zaman Pleistosen tengah. Meski pernah dikabarkan hidup di Sumatera namun telah punah, diprediksi karena letusan gunung berapi super Toba [74.000 tahun lalu].

Meski belum ada catatan jumlah yang pasti, Kementerian LHK memperkirakan populasi macan tutul berkisar 491-546 individu. Keberadaanya sebagai top predator berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem. Ini lantaran satwa mangsa macan tutul umumnya seperti babi hutan, monyet, dan tupai adalah vektor penyakit dan hama pertanian, khususnya di pertanian di pinggir hutan maupun dalam hutan [agroforestry].

Secara sosial budaya, macan tutul merupakan satwa kebanggaan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Pergub 27/2005 telah menjadikan macan tutul sebagai fauna identitas atau maskot. Tak pelak, konservasi macan tutul akan memberikan efek ekonomi secara langsung, tidak langsung, maupun opsional.

Contoh kecil, macan tutul menjadi ikon promosi wisata Taman Nasional Alas Purwo. Bahkan, jika konsisten dilakukan dapat menjadi trigger [pemicu] pembangunan infrastruktur, berangkat dari konsep conservation mainstreaming for development, sebagaimana di negara-negara Latin dan Karibia.

Baca: Pernah Dihormati, Macan Tutul Jawa Kini Dimusuhi

 

Macan tutul di kandang ini dilepasliarkan di kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pertengahan 2018 lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Aksi

Memperhatikan kondisi tersebut, pemerintah merespon dengan mengeluarkan Permen LHK No P.56/Menlhk/Kum.1/2016 Tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa [Panthera pardus melas] Tahun 2016-2026. Visi yang ingin dicapai berupa terwujudnya hubungan harmonis antara manusia dan macan tutul jawa dalam ekosistem yang seimbang dan bermanfaat.

Harmonisasai dengan manusia menjadi salah satu respon atas konflik. Mengingat, korbannya bukan saja pada satwa namun juga hewan ternak, bahkan manusia. Besarnya benturan kepentingan dalam pemenuhan kehidupan adalah yang mendasarinya.

Visi ini patut diapresiasi, karena mengarah pada pemahaman “Green” yang menanggapi kepunahan satwa tidak hanya menggunakan pendekatan fisik/teknis yang hanya berkaitan dengan gejalanya. Namun juga, melingkupi pemahaman sosial, ekonomi dan kebijakan.

Peredaman konflik menjadi bahasan penting karena macan tutul lebih banyak dimaknai satwa negatif, menyerang manusia dan memangsa ternak. Akan tetapi, pendekatannya tidak dapat bersifat tunggal mengingat penyebab konflik bukan saja dari variabel ekologi [karakter wilayah dan tingginya kompetisi penggunaan sumberdaya] namun juga kondisi sosial budaya [nilai budaya, ketahanan ekonomi, sejarah dan politik].

Baca juga: Susah Payah Menyelamatkan Macan Tutul Jawa

 

Anakan macan tutul jawa ini terjebak di peternakan ayam Kampung Sudajaya Girang, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat [03/4/2020] lalu. Malang, nasibnya tidak bisa diselamatkan. Foto: Firmansyah/Mongabay Indonesia

 

Meski demikian, secara garis besar penangan konflik tersebut dapat dikelompokkan dalam empat strategi.

Pertama, kompensasi. Strategi ini memiliki rasio keberhasilan tinggi. Skema ini dilakukan dengan mengganti hewan ternak yang dimangsa, sehingga mengurangi kerugian. Kompensasi dapat juga dilakukan dengan keringanan pajak yang diberikan pada pemilik sumber daya yang dimanfaatkan satwa, atau dikenal pendekatan conservation easment. Demikian juga dari pendapatan keberhasilan pengelolaan ekowisata, sebagaimana dilakukan penanganan konflik snow leopard di Pakistan.

Hanya saja, tantangan program kompesasi sering terbentur dengan kejadian yang jauh dari kawasan konservasi, sebagaimana kasus di Subang. Untuk itu, diperlukan hadirnya pedoman verifikasi insiden dan siapa yang bertanggung jawab memberikan kompensasi.

Program ini tetap harus dibarengi penguatan komunikasi yang apik untuk meningkatkan partisipasi, respon, transparansi, dan upaya kompensasi adil. Pastinya, pemberdayaan masyarakat lokal agar memiliki nafkah dan ekonomi kuat harus diperhatikan.

Kedua, pengelolaan hewan ternak. Relokasi usaha ternak dilakukan pada area yang memiliki potensi konflik dengan macan tutul. Pemetaan atau informasi teritori/jelajah macan tutul juga perlu disosialisasikan agar masyarakat dapat menghindari usaha peternakan di wilayah tersebut.

Perlindungan ternak dapat dilakukan dengan pemagaran agar macan tutul terhalang memasuki kandang ternak. Cara ini bisa dilakukan dengan introduksi desain kandang yang aman, penggunaan penghalang air, bunyi-bunyian, maupun penghambat lain. Penggunaan anjing penjaga juga memiliki efektivitas mengurangi pemangsaan ternak.

Ketiga, intervensi langsung. Dilakukan dengan cara membunuh, memburu, maupun merelokasi macan tutul. Sedapat mungkin, strategi ini dihindari karena rentan menyebabkan perubahan perilaku serta menganggu keseimbangan ekosistem. Relokasi selain akan menimbulkan stres macan tutul juga memerlukan biaya tinggi.

Keempat, intervensi pada masyarakat. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan program pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat atau Community-Based Natural Resource Management [CBNRM]. Caranya dengan penyuluhan dan pendidikan, pengembangan ekowisata, pemberdayaan tim respon, pengelolaan lahan atau zonasi, penegakan hukum, serta pemindahan warga.

Pada kondisi struktur masyarakat fatalist [nafkah terbatas dan dipengaruhi kekuatan eksternal] sebagaimana umum terjadi di Indonesia, membawa konsekuensi masyarakat cenderung mengabaikan [nature capricious] kondisi yang ada. Maka, sosialisasi dan penegakan hukum perlu lebih dikedepankan.

Hal mendasar dalam penerapan sejumlah strategi tersebut adalah keterlibatan seluruh pihak/stakeholder yang kuat dan konsisten, baik dari unsur pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Paling penting tentu saja peran serta masyarakat setempat.

 

* Ihsannudin, Dosen Pemberdayaan Masyarakat untuk Konservasi, Departemen Agribisnis, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version