Mongabay.co.id

Gurita Korupsi, Oligarki dan Tuna Empati di Masa Pandemi

Lubang bekas tambang batubara PT Graha Benua Etam. Foto: Tommy Apriando

 

 

 

Pertengahan April lalu, Jurnal Integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meluncurkan satu laporan edisi khusus “Evaluasi Pemberantasaan Korupsi Sektor Sumberdaya Alam.” Satu catatan refleksi pergeseran praktik baru gurita oligarki korupsi, di tengah kebijakan tuna empati negara hadapi pandemi Coronavirus Disease 2018 (COVID-19).

Ulasan bentang ragam topik laporan ini merupakan ringkasan proses dan hasil rekam jejak lima tahun proses Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya alam (GNPSDA-KPK). Gerakan ini ditandatangani Presiden Joko Widodo di Istana Negara, 19 Maret 2015, bersama 29 kementerian dan lembaga negara, serta 12 kepala daerah seluruh Indonesia. Ia jadi satu tonggak dan terobosan penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di sektor sumberdaya alam nasional.

Setidaknya, ada tiga hal penting dari laporan itu, pertama, pembelajaran dari ragam upaya terobosan pencegahan korupsi sumber daya alam dengan aneka pendekatan dan batas-batasnya. Kedua, pelanjutan agenda penataan ulang dan harmonisasi kebijakan dan regulasi sumberdaya alam di Indonesia. Ketiga, reposisi peran dan strategi GNPSDA-KPK dalam kepungan “relasi kuasa” politik oligarki dan reaktualisasi kolaborasi dengan gerakan sosial lebih luas.

 

Gurita korupsi struktural

Temuan utama evaluasi GNPSDA-KPK (2019) ini menyebutkan, praktik gurita korupsi sumberdaya alam di Indonesia masih berakar kuat pada masalah kelindan praktik ‘korupsi menyandera negara’ (state-captured corruption) dengan lemahnya fungsi otoritas kelembagaan negara. Hal ini akibat dari kuatnya praktik kuasa ‘institusi alternatif’ oleh suatu jaringan yang dipelihara kekuasaan ‘di luar negara’ (beyond state), yang secara de facto lebih besar daripada kekuasaan legal negara. Namun, sumberdaya sosialnya dari aparat-aparat negara dan jejaring oligarki koorporasi sumberdaya alam. Singkatnya, praktik korupsi jenis ini bercirikan tiga hal, ada proses fasilitasi/instrumen negara yang terlibat/dilibatkan, ada proses pembiaran yang disengaja pejabat publik, dan menyebabkan dampak kerugian kekayaan negara serta memberi keuntungan segelintir orang/kelompok koruptor (M.Syarif, 2020).

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Kokohnya gurita oligarki korupsi sumberdaya alam inilah yang dalam lima tahun terkahir, jadi faktor kekuatan utama pendorong pergeseran bentuk korupsi, dari satu jenis korupsi bersifat institusional (institusional corruption) jadi korupsi lebih bersifat struktural (structural corupption). Satu bentuk korupsi yang bersemayam dalam gugusan sistem dan relung-relung struktural praktik kebijakan dan regulasi dari otoritas kekuasaan. Mencipta relasi kuasa ekonomi-politik dominan yang timpang yang makin mempermulus pelipatgandaan kekayaan pribadi, kelompok dan keluarga. Modus operandi utama, dengan memanipulasi dan memperdaya ragam dimensi struktur politik guna memproduksi dan kontrol kendali atas izin dan konsesi sumberdaya alam untuk kepentingan diri dan kelompoknya.

Hasilnya, lahir kebijakan dan regulasi sumberdaya alam berciri psudo legal, regulatory chapter, dan legal non legitimed. Aneka bentuk kebijakan dan regulasi yang seolah-olah tampak “legal” di permukaan, namun hakekatnya justru menjauh dari tujuan kemaslahatan kemanusiaan dan nilai keadilan sosial-ekologis.

Baca juga: Pelemahan KPK Untungkan Mafia Sumber Daya Alam

Dengan demikian, dapat ditegaskan, praktik korupsi sumberdaya alam sekarang, bukan lagi bersumber dari masalah kumuhnya sistem birokrasi, ruang regulasi remang-remang, atau praktik penyalahgunaan kewenangan institusional negara semata. Ia lebih ruwet berurat akar pada kompleksitas struktur ketimpangan relasi kuasa ekonomi-politik yang menjelma gurita oligarki dan mafia sumberdaya alam. Inilah sebab, banyak lahir kebijakan dan regulasi sumberdaya alam bersifat ‘titipan dan pesanan’ dari kelompok orang “kuat.”

 

Kebakaran di PT MAS, Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Secara historis, kekuatan gurita oligarki ini bukanlah hal baru sama sekali dalam jagat politik nasional. Riwayat trajectory mereka terbentang sejak rezim Orde Baru. Meski rezim Orde Baru runtuh, menurut R. Robison dan Vedi R. Hadiz dalam, “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market” (2004),  warisan kuasa oligarki ekonomi dan politik pada dasarnya tidak ikut tumbang. Oligarki yang dibesarkan oleh rezim Soeharto terus bertransformasi dengan menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong skema neoliberalisme, seperti demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi yang berkelindan dengan agenda politik negara.

Data dari ‘pesan terbuka’ mantan Ketua Komisioner KPK, Agus Rahardjo, dapat menjadi fakta empirik. Hingga Juni 2019, terdapat 27 menteri dan kepala lembaga terjerat, dan 208 perkara menjerat pejabat tinggi di instansi, yaitu, setingkat eselon I, II dan III. Tercatat, Ketua DPR, Ketua Mahkamah Konstitusi, dan Ketua DPD aktif, serta sejumlah menteri aktif yang korupsi telah diproses.

 Baca juga: RUU Minerba Lanjut di Tengah pandemi, Berikut Kritikan Masyarakat Sipil

Pelaku pejabat publik terbanyak adalah anggota DPR dan DPRD (255 perkara), kasus kepala daerah (110). Mereka diproses dalam kasus korupsi, ada juga terjerat pencucian uang. Kasus-kasus ini terkait erat dengan ratusan proyek-proyek pemerintah dan perizinan, termasuk sektor sumberdaya alam.

Data kajian KPK 2017, menyebut lebih 70 % kepala daerah, dalam pilkada, didukung pendanaan oleh korporasi berbasis sumber daya alam, terutama sektor pertambangan dan perkebunan, dengan kompensasi utama kemudahan izin dan konsesi. Praktik ‘ijon politik’ inilah yang jadi jawaban banyak kepala daerah meringkuk di jeruji KPK.

Penegasan watak baru korupsi struktural sumberdaya alam itu jadi penanda penting limit of thought penyelesaian dan solusi pemberantasan korupsi dengan cara-cara lama. Seperti, model reformasi birokrasi (birocratict reform), one salary sistem, revisi dan koreksi tambal sulam sistem legalisasi/administrasi, juga model ‘teknikalisasi’ dan teknokratisasi’ masalah korupsi lain. Perlu inovasi dan keberanian baru dalam pemberantasan korupsi sumberdaya alam di Indonesia.

Baca juga: UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan

Syarat dasarnya, memiliki energi kuat membongkar ketidakadilan sistem dan ketimpangan relasi kuasa struktural, berikut topeng-topeng pembungkusnya. Karena itu, perlu cermin lebar untuk refleksi bagi KPK sekarang kalau hendak menjalankan mandat dan peran baru ini. Mengingat kondisi riil otoritas, kapasitas dan kewenangan institusi KPK makin menurun pasca pelemahan dan pengebirian sistematis kelembagaan mereka dampak UU KPK yang baru sah tahun lalu.

 

‘Penumpang gelap’ tuna empati

Berlandaskan proses panjang dalam pencegahan dan penindakan korupsi sumberdaya alam yang berkelindan dengan jenis korupsi lain itu, sulit nalar sehat menerima ‘wacana’ dari Kementerian Hukum dan HAM yang hendak melepaskan 300 narapidana koruptor di Indonesia, dengan alasan pembatasan penularan pandemik COVID-19. Terlepas dari alasan kemanusiaan yang diklaimkan, kebijakan jenis ini lebih kuat nuansa “penumpang gelap” di tengah pandemi sekaligius manifestasi sikap tuna empati atas kompleks, berat dan sulitnya proses pemberantasan korupsi, termasuk korupsi sumberdaya alam di Indonesia. Bahkan, secara ajaib, RUU Mineral dan Batubara yang jelas akan memperburuk bencana dan kerusakan ekologis juga lebih sebagai karpet merah kooporasi pertambangan, terutama batubara, lolos dengan mulus oleh DPR-RI.

 

Ilustrasi. Begini tampilan tepian pantai kala ada tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Kini, nada kengototan DPR dan pemerintah pusat masih tinggi untuk meloloskan RUU Cipta Kerja, penyederhaan bermacam UU, biasa disebut omnibus law, yang ditolak beragam kelompok sosial dan masyarakat sipil di Indonesia. Satu bukti nyata makin panjang deretan politik pengabaian (politik of ignorance) dan tuna empati-nurani rakyat di tengah derita pandemi sekarang ini.

Politik pengabaian adalah satu bentuk perspektif kebijakan kekuasaan yang lebih bersandar pada gugusan ‘nalar elite’ yang tidak tersambung dengan ‘nalar massa’ (W.F Weitheim, 2016).

Argumen kritis yang ditegaskan para akademisi dan organisasi masyarakat sipil, untuk menolak RUU Cipta Kerja meliputi empat hal, pertama, cacat proses bawaan lahir. Sebab, sejak awal muncul penuh akrobat politik dan serba cepat. Menabrak prinsip transparansi dan partisipasi genuine publik. RUU ini juga dianggap melanggar syarat formil dan materiil dalam pembentukan sebuah Undang-undang. dDri dasar filosofi, konsepsi, asas/prinsip dan substansi berpotensi melanggar konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi (Sumardjono, 2020).

Kedua, tujuan utama adalah liberalisasi ekonomi berbasis investasi dengan watak develomentalistik, yang mendudukkan sumber agraria semata aset ekonomi yang boleh di-komoditifikasikan dalam skema pasar. Hal ini jelas bertabrakan dengan mandat UU Pokok Agraria No.5/1960, yang menegaskan, tanah dan sumber agraria memiliki fungsi sosial yang tidak boleh diperjualbelikan demi menjaga kedaulatan bangsa (Wiradi, 2009).

Baca juga: Omnibus Law, Potensi Tambah Masalah Lingkungan dan Sosial

Ketiga, seluruh kemudahan izin dan konsesi yang akan diberikan kepada pengusaha dan kooporasi besar, terutama sektor pertambangan, pertanahan, kehutanan, pertanian, property/infrastruktur berpotensi kuat menggerus prinsip keadilan sosial dan tujuan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sebagai ruh nilai-nilai nasionalisme-kebangsaan. Sisi lain, ujung akhirnya omnibus law ini jelas berpotensi kuat melanggengkan ‘state chapter corruption’(Kartodihardjo, 2020).

Temuan KPK-GNPSDA (2019) menunjukkan, tanpa karpet merah kemudahan izin omibus law saja, kuasa koorporasi besar di sektor sumberdaya alam masih mewariskan aneka ragam masalah korupsi yang ‘berkelanjutan’ hingga sekarang. Untuk menyebut beberapa kasus, misal, selama 15 tahun (1998-2013) Perhutani diperkirakan kehilangan aset hutan Rp998 miliar pertahun.

Di sektor pertambangan dan minerba, terdapat kekurangan pajak hingga Rp15,9 miliar pertahun dari tiga pulau, yaitu, Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Tahun 2016, KPK juga menemukan potensi pajak tidak terpungut di sektor perkebunan sawit Rp18,13 triliun, dan lain-lain.

Contoh kasus ini hanyalah sebagian dari puncak gunung es dari kompleksitas gurita oligarki dan mafia korupsi sumberdaya alam. Sebagaimana disebut JA Winters dalam Oligarki (2011), sifat dasar oligarki ditopang oleh dua dimensi penting yakni: memiliki dasar kekuasaan—kekayaan material—yang sangat susah untuk dipecah dan diseimbangkan, dan memiliki jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemis, meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu komunitas.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

Dasar konseptualnya, adalah “pertahanan kekayaan”  (harta dan pendapatan). Maka, oligarki adalah sebuah sistem yang merujuk pada “politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material (oligark).” Praktik oligarki ini selaras dengan jaring kuasa para “orang-orang terkaya” di negeri ini, yang bukan hanya sebagai pemilik puluhan koorporasi berbasis sumberdaya alam tetapi berkuasa atas aneka media, penentu kemenangan pilkada/pilpres hingga, pengatur politik “dagang sapi” di arena partai politik. (Forbes: 2018-2019, Jatam: 2019, TuK, 2019, KPK-GNPSDA: 2019).

Keempat, prioritas kerja pemerintah dan wakil rakyat di tengah wabah ini seharusnya fokus memaksimakan seluruh kekuatan untuk menjamin keselamatan nyawa rakyat (people first). Parkir atau hapus agenda lain di luar itu. Wabah COVID-19 mestinya jadi momentum penting melakukan titik balik arah panduan berbangsa dan bernegara yang baru. Kalau jalan dengan mulai refleksi kebangsaan, maka dasar yang layak diajukan adalah, “mengapa bangsa yang melimpah kekayaan alam ini, tak mampu sejahtera dan berdaulat sejak awal kemerdekaannya?, Siapa sebenarnya yang selama ini menikmati gelimang kekayaan alam bangsa ini?”

Jika “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, maka, pemerintah, wakil rakyat, para elite politik tidak boleh membiarkan sistem ekonomi-politik disandera para mafia dan bandit korupsi. Sebab, pembiaran itu, bisa berarti percik di muka sendiri. Atau, serpih pantulan wajah koruptif keseluruhan politik berbangsa dan bernegara di negeri ini. Pandemi Corona, mesti jadi titik refleksi: bagaimana memangkas gurita oligarki korupsi, agar imun daulat negeri, tumbuh kembali. Kalau hal itu tak terjadi, pupuslah mimpi gemah ripah loh jinawani, yang tercipta justru gemah ripah oligarki.

 

*Penulis adalah Peneliti Sosial-Agraria dan Korupsi Sumber Daya Alam di Sajogyo Institute. Asisten Pengajar di Devisi Kajian Agraria dan Kependudukan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Tulisan ini adalah opini penulis.

 

Keterangan foto utama: Tubang tambang batubara di Kalimantan Timur. Setelah puas menguras batubara dalam perut bumi, lubang dibiarkan menganga. Puluhan orang tewas dalam lubang bekas tambang batubara seperti ini. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Batubara yang diangkut dengan tongkang melalui jalur air. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Exit mobile version