Mongabay.co.id

Tanjung Budi yang Bukan Lagi Lumbung Padi

 

 

Daiman, 65 tahun, duduk sendirian di pondokan. Matanya tajam, mengawasi sawahnya seluas lapangan bola kaki itu.

“Sebulan terakhir banyak burung pipit haji [Lonchura maja] menyerbu sawah,” kata Daiman, warga Desa Pondok Bakil, Kecamatan Ulok Kupai, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu, Kamis [04/5/2020].

Padi milik mantan ketua kelompok tani tahun 1986 itu, sebagian besar sudah menguning. Menurut dia, sekitar tiga minggu lagi bisa dipanen. “Masa-masa seperti ini adalah kesukaan pipit haji memakannya,” jelasnya.

Guna menghalau rombongan White-headed Munia, dia merentangkan tali panjang ke penjuru sawah. Pada tali itu digantungkan kantong-kantong kresek, orang-oranganan sawah, dan kaleng-kaleng bekas. “Saat burung datang, tali ditarik yang mengeluarkan suara ‘teng-teng’ nyaring dan orang-orangan sawah bergoyang,” terangnya.

Baca: Tutupan Hutan Berkurang, Bengkulu Harus Fokus Perbaiki Lingkungan

 

Daiman mengawasi sawahnya dari serbuan burung. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Daiman mengaku, karena pipit haji ia tidak bisa meninggalkan sawah. Untung, jarak sawahnya tidak terlalu jauh, dengan sepeda motor hanya 15 menit. “Namun musuh utama sawah kami bukan burung, melainkan lubang tambang,” keluhnya.

Sawah Daiman berada di lembah dekat Sungai Budi, anak sungai yang airnya mengalir ke sungai utama, Sungai Ketahun. Lembah Tanjung Budi, namanya, dikelilingi tiga bukit besar dan beberapa bukit kecil dengan ketinggian sekitar 800-1.000 meter di atas permukaan laut, bagian dari bentang alam Bukit Barisan.

Lembah ini memiliki luas sekitar 1.500 hektar, terdiri sawah dan semak belukar. Namun, lahan produktif yang digunakan untuk bersawah sekitar 40 hektar, oleh masyarakat tiga desa: Pondok Bakil, Gunung Payung, dan Talang Berantai.

Sistem perairan sawahnya menggunakan tadah hujan, bukan irigasi air sungai. Akibatnya, padi hanya dipanen setahun sekali.

Sekali panen, sawah ini menghasilkan 70 karung per hektar. Satu karung ukurannya 50 kilogram. “Dengan luasan lahan produktif 40 hektar, kami menghasilkan 2.800 karung padi,” tutur Daiman.

Baca: Perburuan, Perambahan dan Konsesi Batubara, Akankah Gajah Bengkulu Tinggal Kenangan?

 

Amri, petani sekaligus penyuluh pertanian Tanjung Budi 2008-2018, menunjukkan bondol haji yang sering mendatangi sawah. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Di bawah naungan tambang

Perubahan sistem air dari irigasi ke tadah hujan dimulai pada 2011. Bermula ketika bukit-bukit yang mengelilingi lembah Tanjung Budi ditambang PT. Injatama, perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batubara. Luas konsesinya, enam ribu hektar.

Perusahaan ini menjadi owner, sedangkan kegiatan tambang dilakukan kontraktor PT. Mingan Mining Tecknologi. Menurut Daiman, bukit yang pertama ditambang berada di Desa Gunung Payung.

Berdasarkan penelitian Rio Pratama Putra [2018] dari Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Yogyakarta, dengan lokasi penelitian di Pit 8, diketahui target produksi pengupasan tanah penutup batubara sebesar 3.000 ton/hari.

Akibat pengulapasan tanah besar-besaran, air yang mengalir dari bukit-bukit tersebut mongering. Bahkan, di beberapa tempat tanah bekas tambang longsor, menimbun lembah Tanjung Budi sehingga tak bisa digarap menjadi sawah lagi.

Belum lagi, aktivitas pengerukkan batubara perusahaan dilakukan dekat Sungai Budi dan Sungai Terap, membuat badan sungai terbelah.

“Dampaknya, aliran sungai menyimpang ke lubang tambang, bukan ke sawah” lanjut Daiman.

Dari catatan kelompok tani setempat, sebelum tahun 2011, luasan sawah di Tanjung Budi yang produktif mencapai 200 hektar. Dari lahan tersebut, hasil panen per satu hektar mencapai 100 karung. Dalam satu tahun, petani panen dua kali. Sistem airnya mengandalkan irigasi air Sungai Budi dan Sungai Terap.

Tahun pertama beraktivitasnya tambang, sawah di Tanjung Budi gagal panen karena kekeringan. Tahun berikutnya terjadi penurunan produksi.

“Hasil panen yang semula 100 karung kini 70 karung,” keluhnya.

Baca juga: Habis Banjir Terbitlah Petisi Tutup Tambang di Bengkulu

 

Lembah Tanjung Budi yang kini bukan lagi lumbung padi. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Sawah jadi kebun sawit

Amri, 40 tahun, petani sekaligus penyuluh pertanian Tanjung Budi 2008-2018, bercerita bagaimana mereka kehilangan lahan produktif sejak beroperasi tambang. “Dari 200 hektar lahan produktif, kini hanya bisa digarap 40 hektar saja,” kata dia.

Paling parah, menurut Amri, rusaknya bentang alam di sekitar Sungai Budi. Lembah yang subur menjadi lembah gampang longsor.

Untuk menyiasati perubahan bentang alam, sebagian petani akhirnya mengubah sawah menjadi kebun sawit. “Sebenarnya ini kerugian, sebab lembah Tanjung Budi adalah lumbung padi bagi warga di wilayah Ulok Kupai,” tutur Amri.

Masalah lain, petani Talang Budi kini harus bergantung pada musim hujan untuk bisa menggarap sawah. “Sawah-sawah kering dan terbengkalai,” terangnya.

Kepala Desa Pondok Bakil, Yusma Nilu tak kalah khawatir. Apalagi di musim pendemi corona saat ini, dia takut ketersediaan pangan masyarakat terganggu dan terjadi pencaklik.

Yusma menyampaikan, hasil panen sawah kini tidak optimal sehingga petani lebih sering membeli beras. “Hasil panen kami tidak cukup untuk menyambung hidup kami ke panen berikutnya,” ujarnya.

Lahan pertanian Tanjung Budi telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, akan tetapi sempat ditinggalkan. Barulah tahun 1966, Kepala Marga Dalil mengajak warga Desa Pondok Bakil, Gunung Payung, dan Talang Berantai mengelola lahan di lembah Tanjung Budi.

Awalnya, mereka menanam padi besar, butuh lima hingga enam bulan untuk panen. Tahun 1970-an, warga mulai menanam padi jenis pendek seperti padi pelita dan padi cantik manis yang hanya butuh waktu empat bulan untuk panen.

Selanjutnya, pada 1986 pemerintah setempat membuat parit untuk pengeringan lahan, yang selesai 1990. Berikutnya, pada 1992 pemerintah membuat pintu air, untuk mengalirkan air ke sawah-sawah dengan memanfaatkan Sungai Budi dan Sungai Terap.

“ketika sawah gagal panen 2011, kami sudah melakukan demonstrasi menuntut perusahaan bertanggung jawab,” kata Yusman.

Ketika itu, para petani, pihak perwakilan perusahaan, tentara dan polisi, beserta kepala desa melakukan dialog yang berbuah kesepakatan. Salah satunya, PT. Injatama segera mengembalikan atau menganti lima sungai yang telah tertimbun dengan cara memasukkan air ke irigasi sawah dan memperbaiki irigasi yang rusak.

“Kesepakatan itu dilakukan pada 12 juli 2011. Sayangnya, sampai kini sungai tetap rusak,” keluh Yusman.

 

Sistem tatanan air untuk persawahan rusak dan bentang alam Tanjung Budi terganggu akibat wilayah ini ditambang. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Rapor merah dari KLHK

Pertengahan Januari 2020, PT. Injatama mendapat predikat merah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK]. Penilaian ini terkait kinerja pengelolaan lingkungan hidup [proper] yang dilakukan KLHK.

Dikutip dari Antara Bengkulu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Bengkulu, Sorjum Ahyar mengatakan, penetapan penilaian berdasarkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1049/MENLHK/SETJEN/Pkl.4/12/2019 tentang hasil penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup tahun 2018/2019.

“Ada 16 perusahaan yang mendapat rapor merah, salah satunya PT. Injatama,” kata dia Januari lalu.

Sorjum memastikan, pihaknya melakukan evaluasi kepada perusahaan proper merah. Tujuannya, agar perusahaan tersebut bisa memperbaiki pengelolaan lingkungan.

Dia juga menegaskan, pihaknya juga memberikan sanksi, meski baru bersifat administrasi. “Perusahaan tetap dapat beroperasi, tapi DLHK akan melakukan pembinaan dan pemantauan,” tuturnya.

Mongabay Indonesia coba konfirmasi ulang mengenai perusahaan PT. Injatama kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Bengkulu, Sorjum Ahyar, sejak Sabtu [30 Mei 2020]. Namun, hingga berita ini diturunkan, Sorgum tidak memberikan respon, baik melalui pesan WhatsApp yang telah tersampaikan maupun menjawab telepon.

Terkait 16 perusahaan berpredikat merah, persebarannya adalah 4 perusahaan berada di Kabupaten Bengkulu Utara, 4 perusahaan di Kabupaten Mukomuko, 3 perusahaan di Kabupaten Bengkulu Tengah, dan 2 perusahaan di Kabupaten Lebong. Sementara, 1 perusahaan masing-masing berada di Kota Bengkulu, Kabupaten Kaur, dan Kabupaten Bengkulu Selatan.

 

 

Exit mobile version