Mongabay.co.id

Rawan jadi Tempat Penyebaran Corona, Setop Operasi Tambang di Masa Pandemi

Ponton-ponton memenuhi sungai di Bangka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Perusahaan pertambangan yang mengeruk perut bumi menciptakan daya rusak pada lingkungan dan berdampak pada kehidupan warga. Kondisi tambah buruk kala dalam masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), perusahaan tambang masih terus beroperasi. Lokasi-lokasi pertambangan ini pun rawan menjadi tempat penyebaran virus. Belum lama ini, di Bangka Belitung, ada laporan sembilan orang positif COVID-19 di dalam kapal keruk timah milik perusahaan negara.

“Semestinya, korporasi tambang milik BUMN ini jadi tauladan dalam mentaati aturan pemerintah terkait protokol pencegahan COVID-19 demi memutus rantai penularan, pun tanpa terkecuali demi keselamatan pekerjadan masyarakat di Babel secara umum,” kata Jessix Amundian, Direktur Walhi Babel, dalam rilis kepada media pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2020.

Baca juga: Refleksi Hari Lingkungan di Masa Pandemi

Hari Lingkungan Hidup tahun ini bertema “Biodiversity, Time For Nature” yang menekankan, manusia perlu menjaga kelestarian alam dan keragaman hayati demi keselamatan manusia juga. Secara umum di Indonesia, masih terjadi kondisi kebalikan. Industri ekstraktif seperti pertambangan jadi andalan, dan deforestasi maupun kerusakan lingkungan terus terjadi.

Walhi Babel mengapresiasi Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Babel yang merespon cepat guna memutus rantai penularan.

Dia bilang, penting segera mitigasi dengan mengidentifikasi wilayah- wilayah rentan penularan, seperti pelabuhan termasuk pelabuhan kecil di setiap kabupaten dan kecamatan. Pelabuhan-pelabuhan itu, katanya, harus mendapat pengawasan ketat dengan Protokol COVID-19.

Pemerintah, katanya, harus tegas penghentian produksi dan pelarangan parkir atau berlabuh kapal-kapal di perairan Babel. Tak hanya tambang laut, katanya, pertambangan di darat dan pesisir laut yang merusak ekosistem Babel juga harus setop.

Walhi Babel meminta kepada Presiden Joko Widodo agar memerintahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Pemprov Babel menghentikan aktivitas tambang timah di masa pandemi. Penghentian aktivitas tambang ini, katanya, untuk memutus rantai penularan agar tak meluas sebagai carrier baru di Babel.

Catatan Jatam memperlihatkan, berbagai operasi pertambangan di Indonesia jadi sarana penularan pandemi. Selain di Babel, kluster penyebaran juga ditemukan di PT Freeport Indonesia, sudah 124 pekerja positif Corona dan di Kalimantan Timur, pekerja tambang batubara PT Kaltim Prima Coal (KPC).

 

Peta satelit dari kawasan pertambangan PT Freeport

 

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bilang, kalau pemerintah dan perusahaan bersungguh-sungguh ingin menjamin keselamatan pekerja sekaligus warga sekitar serta lingkungan hidup tersedia Pasal 113 dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara.

Intinya, pasal ini mengatur, penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK atas permintaan pemegang izin. Keadaan yang dapat jadi dasar penghentian sementara kegiatan, antara lain, keadaan kahar, keadaan yang menghalangi hingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan. Juga apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah itu tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral atau batubara.

Pandemi ini, katanya, masuk dalam kategori keadaan kahar, berdasarkan penjelasan Pasal 113 UU Minerba, yang mendefinisikan keadaan kahar, antara lain, perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran, dan bencana alam di luar kemampuan manusia.

“Jika, ingin rakyat selamat, pemerintah bisa ambil tindakan dan tersedia instrumen hukum.”

Walhi Babel dan Jatam menyerukan lockdown seluruh operasi bisnis pertambangan terutama yang berskala besar karena selain jadi sarana penularan juga mengancam imunitas sosial dan ekologis.

Imunitas warga dan alam, kata Merah, merosot karena sumber air tercemar, hutan dan ekosistem pesisir serta laut terganggu. “Otomatis daya tahan warga menghadapi pandemi tergerus.”

Menurut Merah, warga di tapak-tapak rantai industri pertambangan di saat pandemi menerima dampak berkali lipat karena kerusakan ruang hidup mereka.

Dalam situasi genting seperti saat ini, katanya, sudah saatnya menghentikan pertumbuhan dan penyebaran sektor pertambangan di seluruh kepulauan Indonesia demi menjamin keselamatan.

 

Aksi dan peringatan di Hari Anti Tambang dan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Foto: Jatam

 

Pertambangan menggurita di Malut

Seruan kritik terhadap pertambangan di Hari Lingkungan Hidup juga datang dari Maluku Utara. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, melihat problem lingkungan hidup di provinsi ini tidak jadi isu strategis dalam pertimbangan mendasar pengambilan kebijakan. Pertimbangan lebih dominan dengan ekonomi dan politik.

Munadi Kilkolda, Ketua AMAN Malut, mengatakan, jangan heran problem kerusakan lingkungan, termasuk kehilangan hak masyarakat adat atas ruang hidup, dari dulu sampai sekarang tidak terselesaikan.

Data BPS 2018, misal, ada 216 desa di Malut tercemar limbah pertambangan, belum lagi air tanah, udara dan baku mutu air laut dalam kondisi kritis. Ada juga sebagian besar daerah aliran sungai (DAS) kepulauan dilaporkan dalam keadaan kritis karena eksploitasi tambang di bagian hulu. Belum lagi, akses dan ruang hidup masyarakat makin terbatas.

“Ini masalah dari dulu, cuma dibiarkan pemerintah. Pemerintah tidak serius menyentuh soal ini. Industri pertambangan yang masuk juga makin massif,” katanya.

Dia menyinggung pengesahan RUU Mineral dan Batubara, bakal makin mengancam Malut, yang tak lagi mewajibkan hilirisasi industri tambang. “Dipastikan akan jadi pintu masuk bagi pemegang IUP   kembali eksploitasi. Akibatnya, deforestasi juga akan makin masif. Keseimbangan alam terganggu, bencana pun akan datang,” katanya.

Kalau keseimbangan alam terganggu, katanya, bakal mempengaruhi semua sektor termasuk pangan. Padahal, dalam kondisi pandemi COVID-19 dan krisis ekonomi seperti ini, rakyat tak perlu nikel atau emas untuk bertahan hidup.

“Yang kita butuh adalah sagu dan pangan local lain. Karena itu yang harus diubah pertama mindset kekuasaan.” Dia bilang, yang berkuasa kini harusnya ikut bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam Malut.

Dalam konteks kebijakan, katanya, ada celah dalam dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW). Karena itu, pemerintah harus memastikan industri dengan basis pada hutan dan lahan tak diberikan keleluasaan menguasai separuh dari luas Malut.

“Kami mengusulkan pemerintah membuat road map rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, hingga arah kebijakan berpedoman pada kepentingan lingkungan hidup,”katanya.

Dia juga menyoroti, penegakan hukum dalam kasus lingkungan hidup sangat lemah.Munadi mengutip kritikan dan peringatan keras Sultan Tidore, Husain Sjah kepada Gubernur Malut soal pandemi dan revisi izin-izin tambang, baru baru ini.

Menurut Munadi, surat sultan menyoroti penanganan dan pencegahan COVID-19 meminta gubernur evaluasi izin pertambangan yang merusak lingkungan. Dia bilang, surat sultan merupakan contoh konkret.

Sultan alam dan lingkungan, di Malut milik sah rakyat, wariskan leluhur, bukan milik pengusaha pertambangan itu.

“Jangan biarkan alam rusak dan binasa oleh pemilik modal yang tak punya nurani. Saya sangat berharap semoga gubernur tak berkompromi dengan cara-cara mereka,” katanya, mengutip surat elektronik sultan pada 28 April lalu.

Sultan juga waktu itu meminta pemerintah daerah melalui gubernur   mewariskan kepada anak cucu alam yang indah dan permai. Walaupun mereka hidup dalam kesederhanaan, tetapi bangga dengan kehidupan yang bersahaja dan punya harga diri.

 

Tongkang pengangkut ore nikel di Maluku Utara. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Sementara Walhi Maluku Utara,   menyatakan, ada Keppres Nomor 12 /2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Coronavirus Disease dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Skala Besar, tampak tak berlaku bagi sektor padat modal seperti pertambangan dan industri berbasis lahan.

Bahkan, saat pemerintah mengumumkan pemberlakuan situasi “normal baru”, adalah ekspresi dari kegamangan penanganan pandemi.

Yudi Rasyid, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Malut mengatakan, dalam kegamangan penanganan pandemi jadi persoalan, terlebih saat orang sulit mengakses pangan.

Jadi, ada kekhawatiran mereka kekurangan pasokan makanan lebih menyiksa daripada terinfeksi virus mutan baru itu. Kondisi ini, katanya, sudah sifat alamiah manusia. Inisiatif untuk mencukupi kebutuhan pokok itu pun mengandung risiko selain karena ancaman sebaran virus juga “polisi pikiran” bertebaran di mana-mana serta terkendali.

Di Indonesia , pemerintah mendorong percepatan pembangunan industri bahan baku baterai lithium yang akan mendukung pengembangan kendaraan listrik sesuai   peta jalan industri otomotif nasional dan program prioritas Making Indonesia.

Sektor pertambangan ini, sejak pemerintah RI di bawah rezim kabinet kerja menggeser struktur ekspor dari sebelumnya berbasis komoditas jadi manufaktur sebagai reaksi atas perubahan tren pasar global, terbit UU Minerba No 4/2009 yang mengatur soal pembaruan definisi dan status perizinan usaha pertambangan, larangan ekspor bahan mentah, serta mewajibkan semua industri pertambangan mendirikan pabrik pengolahan serupa smelter. Masalah lingkungan pun terus berlanjut.

Semula kebijakan itu, berpengaruh pada berkurangnya IUP di Malut. Dari 313 IUP jadi 96 IUP, tiga kontrak karya pada 2020.

Saat ini, katanya, degradasi lingkungsn dan land grabbing makin parah karena besaran izin konsesi pertambangan dan smelter yang terintegrasi dengan komponen infrastruktur seperti PLTU batubara.

Pada 2020, total konsesi pertambangan di Malut seluas 614.881,17 hektar atau 19,83% dari luas daratan 3,1 juta hektar, tersebar di seluruh pelosok kabpupaten/kota dengan status perizinan tahap operasi produksi.

Miris, katanya, besaran alokasi ruang itu tak sinergi dengan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil (RZWP3K) No. 2/2018 Malut karena pemanfataan ruang mengalami tumpang tindih.

Walhi Malut memberikan masukan bagi pemerintah daerah dan DPRD agar kaji ulang kembali perizinan usaha yang berdaya rusak masif dan menuai konflik dengan masyarakat di sekitar konsesi.

Pemerintah kabupaten dan kota, katanya, perlu meninjau kembali jenis-jenis perizinan berbasis lahan yang tumpang tindih dan tak sesuai RTRW yang berdasarkan kajian lingkungan hidup strategis.

Juga mendesak Pemerintah Malut mengevaluasi izin pertambangan dan industri berbasis lahan maupun timber yang menuai konflik dengan masyarakat di sekitar dan dalam hutan, merespon krisis energi, krisis pangan, dan krisis iklim, dengan memfasilitasi akuisisi lahan konsesi korporasi pertambangan, perkebunan monokultur, dan timber.

Sorotan sama juga disuarakan Konsorsium Advokasi Tambang (Katam Malut). Lembaga yang menyoroti kebijakan pertambangan itu melihat ada dua persoalan lingkungan perlu diseriusi.

Muhlis Ibrahim, Ketua Katam Malut meyampaikan , limbah tambang adalah ancaman sekarang dan masa depan daerah ini. Pembangunan pabrik sebagai suatu konsekuensi dari kegiatan pertambangan akan memberikan konstribusi terbesar bagi kerusakan lingkungan di daerah ini.

Puluhan ribu ton slak (limbah nikel) akan diproduksi pabrik, belum lagi operasi tambang emas tradisional masyarakat di Halmahera Selatan.

Kekuatiran kami, jika sistem pengelolaan dan pemurnian menggunakan merkuri atau raksa (hg) akan sangat membahayakan keberlangsungan lingkungan hidup, UU tentang pengesahan minamata convension on mercury” tegas melarang ini,” katanya.

Kemudian, ancaman polusi udara yang tidak bisa dianggap remeh. Pengalaman menunjukkan, persoalan polusi sangat rumit selesai. Hal ini terjadi hampir semua daerah di mana beroperasi industri pertambangan. Polusi udara dari asap dan debu bersumber dari smelter perlu diawasi ketat.

“Negara harus hentikan proteksi dan promosi industri pertambangan di seluruh Kepulauan Indonesia,” kata Merah.

 

Keterangan foto utama:  Ponton-ponton memenuhi sungai di Bangka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Aktivitas pencarian jenazah almarhum Alif di lubang bekas tambang batubara pada 2018. Foto dok Jatam Kaltim
Exit mobile version