Mongabay.co.id

Ketika Sungai-sungai di Belitung Timur Rusak, Mengapa?

 

 

Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, luasnya sekitar 250.691 hektar. Kabupaten yang pernah dipimpin Ahok [Basuki Tjahaja Purnama] pada 2005-2006, yang juga sempat menjadi Gubernur DKI ini, wilayahnya dikelilingi sejumlah sungai.

Sebagian besar DAS [Daerah Aliran Sungai] didominasi hutan mangrove. Ada empat jejaring sungai utama, yaitu Sungai Buding di utara, Sungai Manggar di timur laut, Sungai Gantung di timur, dan Sungai Dendang di selatan.

Namun sejak 2016, sejumlah sungai di Kabupaten Belitung Timur yang pusat pemerintahannya di Kota Manggar, mulai terdegradasi akibat aktivitas perkebuan skala besar dan tambang timah liar. Banyak hutan dan lahan yang dibuka dan digali.

Akibatnya, pada Juli 2017, terjadi banjir besar. Ketinggian air berkisar 2-3 meter. Banjir ini kali pertama terjadi di Kabupaten Belitung Timur.

Peristiwa tersebut kemudian diteliti Fadillah Sabri, Taufik Aulia, dan Mega Tresnanda dari Universitas Bangka Belitung [UBB]. Berdasarkan laporan mereka yang berjudul “Analisis Banjir Belitung Timur” tercatat sekitar 152.477,70 hektar yang terdampak banjir.

Luasan tersebut berupa daerah DAS dan DTA [Daerah Tangkap Air], yakni DTA Sagu, DTA Buding, DAS Manggar, DAS Linggang, DAS Pala, DAS Senusur, DAS Pakem, dan DAS Batu Itam.

Dijelaskan pula, faktor-faktor penyebab banjir dibagi dua: alam dan perilaku manusia. Faktor alam karena curah hujan sangat ekstrim yang dipicu tropical storm, adanya pasang [rob air] laut, kondisi sungai, dan karakteristik DAS. Sedangkan faktor perilaku manusia karena perubahan signifikan pada tutupan lahan dan penggunaan lahan dari kawasan hutan menjadi perkebunan, serta banyaknya sebaran kolong atau eks tambang yang membuat aliran normal sungai terganggu.

Baca: Kisah Sungai di Sumatera, dari Kejayaan Menuju Kerusakan

 

Salah satu titik di Sungai Manggar yang dijadikan lokasi tambang timah liar. Dampaknya, air menjadi keruh. Foto: Yudi Amsoni/Komunitas Akar Bakau

 

Rusaknya hutan mangrove

Di sekitar Sungai Manggar, yang panjangnya 68 kilometer, hingga saat ini berlangsung penambangan timah rakyat.

“Sebenarnya kami sudah beberapa kali melaporkan aktivitas tambang timah liar ke pihak berwajib, dan sempat ditertibkan. Tetapi, karena tidak adanya penuntasan secara tegas dan jelas, tambang timah liar masih ada hingga sekarang,” kata Yudi Amsoni, pegiat lingkungan dari Komunitas Akar Bakau Belitung Timur, kepada Mongabay Indonesia, pertengahan Juni 2020.

Dijelaskan Yudi, penambangan timah liar tersebut merusak hutan mangrove di sejumlah titik Sungai Manggar. “Sedimentasi yang berasal dari limbah pasir tambang timah mengandung logam, secara perlahan menutupi lumpur di sepanjang bibir sungai. Biota di kawasan mangrove pun berkurang, yang berakibat terganggunya ekosistem mangrove.”

“Belum terdata pasti luasan mangrove yang rusak. Namun, sekitar 30 hektar lahan rusak telah kami tanami di tujuh titik berbeda. Kami masih terus melakukan penanaman di lokasi lain,” kata Yudi. Kegiatan ini sudah dilakukan komunitasnya bersama masyarakat sejak 2017.

“Selain itu, rusaknya hutan mangrove di sejumlah titik di sungai ini berdampak pada hasil tangkap nelayan,” katanya.

Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Belitung Timur, tercatat sekitar 6.000 nelayan mencari ikan di sungai, termasuk di Sungai Manggar.

“Sejak adanya tambang timah liar, penghasilan kami jauh berkurang dari sebelumnya. Baik kepiting, ikan sungkor, udang maupun kerang. Sebelum adanya tambang, sungai masih bagus, sehari kami bisa dapat sekitar tiga hingga empat kilogram ikan, yang jika dirupiahkan sekitar Rp240 ribu. Sekarang, satu kilogram sehari sudah sulit, “ kata Syahri Madan, nelayan di Sungai Manggar, kepada Mongabay Indonesia.

Kami berharap pemerintah segera mengatasi. “Jangan sampai masyarakat yang menyelesaikannya,” lanjutnya.

Dampak penambangan timah liar juga terjadi di Kecamatan Gantung. Air Sungai Linggang yang menjadi sumber air baku PDAM milik desa, berubah menjadi keruh setelah adanya penambangan timah, yang berjalan dua tahun terakhir.

Menurut seorang warga, pada 2018, saat aktivitas penambangan timah liar berjalan beberapa bulan, mereka mengadukan persoalan ini ke Bupati Belitung Timur. Setelah itu, penambangan timah liar sempat berhenti. Tapi muncul lagi hingga saat ini.

Di Gantung, sekitar 800 rumah atau 3.200 jiwa mengunakan air bersih dari PDAM tersebut.

Baca: Kejayaan Bahari dan Kesadaran yang Hilang Merawat Sungai Musi

 

Aktivitas tambang timah liar yang masih aktif di sekitar Sungai Manggar. Foto: Yudi Amsoni/Komunitas Akar Bakau

 

Kualitas air terus menurun

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Belitung Timur, setiap tahun memeriksa kualitas air di Sungai Manggar, Sungai Linggang, dan Sungai Pala. Pada 2010-2011, kualitas air sungai masih berada kelas II.

“Seiring waktu, kualitas air sungai turun dan sekarang berada kelas III hingga kelas IV. Selain itu terjadi pula pendangkalan sungai, dan kian berkurangnya jumlah air permukaan di Kabupaten Belitung Timur,” kata Sekar Melati, Kepala Seksi Pemantauan Kualitas Lingkungan DLH Kabupaten Belitung Timur.

Dijelaskannya, berdasarkan PP 82 Tahun 2001, ada 4 kelas yang menjadi parameter kualitas air. Kelas I berarti air yang diperuntukkan bisa untuk air minum. Kelas II berarti air bisa digunakan untuk saran rekreasi air dan kegiatan budidaya ikan. Kelas III berarti air bisa digunakan untuk kegiatan budidaya ikan, peternakan dan pertanian, sedangkan kelas IV hanya untuk pertanian.

“Penyebab menurunnya kualitas air di sejumlah sungai adalah berkurangnya resapan air dan pendangkalan sungai, karena kian banyaknya aktivitas ekonomi yang muncul di sekitar sungai. Faktor lain, bertambahnya lahan perkebunan seperti sawit serta adanya aktivitas pertambangan legal maupun ilegal, yang semuanya bermuara pada kerusakan lingkungan,” lanjutnya.

Pihaknya telah menerima pengaduan masyarakat terkait kondisi sungai. “Sumber air bersih berkurang, sehingga saat kemarau masyarakat kesulitan air bersih. Bahkan air terasa asin karena pengaruh air laut yang naik. Kondisi sungai dan kawasan sekitar sudah banyak berubah. Keragaman fauna berkurang dan nelayan kesulitan mencari ikan,” katanya.

Baca: Kala Kondisi Sungai-sungai di Jambi Makin Memprihatinkan

 

Foto Air Sungai Gantung keruh akibat adanya tambang timah. Foto: Dok. Komunitas Akar Bakau

 

Upaya penanggulangan

Novis Ezuar, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Belitung Timur mengatakan, terdegradasinya sejumlah DAS di Kabupaten Belitung Timur, bukan hanya karena aktivitas di sungai, tetapi juga seluruh kegiatan di daratan yang menjadi bagian DAS.

“Akibat pertambahan penduduk, membuat adanya pembukaan lahan hutan, sehingga mengubah tata guna lahan. Ada juga pertambangan dan perkebunan yang cukup masif, serta kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan DAS, yang semua itu disinyalir penyebab menurunnya fungsi DAS tersebut,” katanya.

Guna mengatasi hal tersebut, kata Novis Ezuar, misal terkait tambang yang disinyalir merusak DAS di Kabupaten Belitung Timur, terhadap kegiatan yang memiliki izin, DLH Kabupaten Belitung Timur selalu melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap masalah lingkungan. Jika ada pelanggaran, diterapkan sanksi sesuai aturan.

“Untuk tambang ilegal dan merusak DAS, aparat penegak hukum selama ini telah melakukan penertiban dan penindakan. Namus, sepertinya belum memberi efek jera sehingga masih berlangsung,” jelasnya.

Baca: Foto: Melestarikan Sungai di Pasaman Melalui Arung Jeram

 

Penanaman mangrove di pinggiran Sungai Manggar dilakukan oleh Komunitas Akar Bakau Belitung Timur. Foto: Yudi Amsoni/Komunitas Akar Bakau

 

Dinas Lingkungan Hidup telah menjalankan sejumlah program dan kegiatan, seperti menghitung Indeks Kualitas Lingkungan Hidup [IKLH], juga menggunakan data-data pemantauan kualitas air, udara, dan tutupan lahan.

“Kami selalu menganggarkan kegiatan rehabilitasi DAS, dengan melakukan penanaman pohon pada lahan-lahan kritis. Untuk kegiatan ini kami berkoordinasi dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung [BPDASHL] Baturusa Cerucuk serta Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,” kata Novis Ezuar.

Selanjutnya, pembuatan peta Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup [DDDTLH], berdasarkan jasa ekosistem. Ini sebagai dasar pertimbangan dalam setiap rencana kegiatan di Belitung Timur.

“Kami pun akan menyusun dan menetapkan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup [RPPLH], sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Selain itu, kami menginisiasi dan mendukung terbentuknya organisasi FORDAS [Forum Daerah Aliran Sungai] Kabupaten Belitung Timur, serta mengarahkan perusahaan agar mengalokasikan dana CSR mereka untuk kegiatan rehabilitasi DAS,” lanjutnya.

Sungai yang ada di sekitar kita tentunya harus dijaga dan dilestarikan, apalagi sungai di Belitung Timur ini mempunyai banyak sekali nilai sejarah. “Bila sungai rusak, kita juga yang menerima akibatnya,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version