Mongabay.co.id

Gejolak di Balik Indahnya Panorama Terasering Sawah Ceking Tegalalang

 

Sejumlah pemilik lahan sawah di obyek wisata Ceking, Tegalalang, Gianyar, Bali, protes. Beberapa buah kaca dipajang dan memantulkan berkas cahaya ke arah barat mengarah ke lokasi restoran, artshop, dan warung yang berderet, berhimpitan di seberang areal sawah yang jadi panorama utama lokasi wisata terasering sawah dekat Ubud ini. Membuat sedikit silau jika cahaya tepat mengenai cermin.

Jika berkunjung ke Ceking, turis mungkin tidak tahu jika areal sawah berundak-undak indah karena dirawat ini beda desa dengan lokasi restoran atau titik kumpul turis. Dua sisi ini berhadap-hadapan. Sisi barat adalah sawah yang sudah berganti jadi deretan restoran, artshop, warung, dan titik-titik selfie dengan latar belakang terasering sawah. Sementara di sisi timur adalah lahan sawah yang dimiliki kurang dari 10 orang warga. Dipisahkan sungai kecil.

Jejak masa lalu sisi barat yang dulunya juga sawah masih terlihat dari sepetak lahan yang masih dikelola sepasang petani. Wayan Gi dan Nyoman Binawi, pasangan petani ini masih menjaga lahan sawahnya sekitar 40 are. Ditanami beras Mansur dengan total waktu tanam sampai panen sekitar 6 bulan. Lahannya juga indah, teknologi tradisional terasering untuk bersiasat di lahan terjal.

“Beras ini untuk konsumsi sendiri, sawah ini tidak dijual atau disewakan,” urai Binawi sambil rehat ditemui Rabu (15/7/2020). Ia menunjukkan nasi dari panen berasnya. Terlihat pulen, lebih bulat dan pendek dari beras biasanya. Untuk mengisi waktu di sela-sela bertani, ia membuat warung, sebuah gubuk sangat sederhana di lahan paling atas. Namun selama pandemi ini warungnya tutup. “Saya terpaksa buang semua minuman karena kedaluwarsa,” katanya sedih.

baca : Not for Sale, Seni Pengingat agar Sawah Bali Tak Musnah

 

Wayan Gi, petani yang masih menjaga keasrian sawahnya di sisi Barat yang sudah penuh restoran, artshop, dan lainnya di objek wisata Ceking, Tegalalang, Gianyar, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Di seberang sawahnya inilah ada beberapa cermin yang dipasang di dekat sebuah bale-bale di bagian atas persawahan. Kedua petani ini seolah tak ingin ikut campur. Mereka mengaku tidak tahu siapa nama pemilik lahan, hanya menunjukkan itu masuk wilayah banjar Tangkub dan Kebon di Desa Kedisan.

Seorang pekerja di restoran yang baru buka pasca pembukaan obyek wisata juga tak mau menyebutkan namanya saat ditanya soal konflik di obyek wisata ini. “Kan sudah sering kejadian,” ujarnya. Ia hanya minta media seimbang menuliskan masalahnya.

Mongabay Indonesia menelusuri Desa Kedisan untuk mencari pemilik lahan. Menuju ke area timur, lokasi panorama sawah, aset utama objek wisata Ceking, Tegalalang ini. Beberapa warga yang ditanya mengaku tidak tahu. Walau area sawah ini sekitar mereka.

Sampai akhirnya menemukan rumah Kelian Dinas (kepala dusun) Banjar Tangkub. Dari sana, akhirnya bertemu salah seorang pemilik lahan, Wayan Japa. Di area sawahnya, beberapa cermin ini terpasang.

Jika berniat membuat semua orang di sisi barat silau, ia bisa saja memasang cermin lebih besar atau lebih banyak. “Dulu ada pembicaraan berbagi hasil 60:40, sampai kini belum ada realisasi. Akhirnya masalah ini muncul lagi,” urai Japa. Kesepakatan bagi hasil retribusi wisata dengan nilai Rp4,5 juta per bulan untuk pemilik lahan juga sudah berakhir pada 2019 dan belum diperbaharui. Hal yang menurutnya memperparah kondisi adalah diputusnya jembatan, akses dari sisi barat menuju sisi timur ke area persawahan.

Jika jembatan diputus, maka pelancong yang biasanya jalan-jalan dan foto-foto di sawah akan terhambat. Pemilik lahan dan petani penggarap kerap mendapat donasi juga misalnya saat para turis berlagak seperti petani atau mengambil foto selfie.

baca juga : Menikmati Kemegahan Sawah dan Refleksi Ancamannya di Jatiluwih

 

Cermin yang digunakan untuk memantulkan cahaya sebagai bentuk protes oleh pemilik lahan di sisi timur. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Di kawasan obyek wisata Ceking yang dikelola desa ini, akses menuju sawah dari sisi barat seolah punya rute-nya masing-masing. Misalnya melalui akses restoran atau artshop tertentu kemudian menyambung jembatan menuju persawahan.

Salah satu pemilik lahan, Japa mengaku siap bicara dan kerjasama kembali karena ia mendukung pengelolaan berbasis kawasan. Ia sendiri mengelola sekitar 1,8 hektar sawah yang digarap 7-8 petani tiap hari. Untuk melestarikan panorama terasering untuk turis di sisi barat, biayanya tak murah. Misalnya jika petani yang bekerja ditanggung makan, upahnya Rp120 ribu per hari, jika tanpa makan Rp100 ribu.

Pupuk dan bibit juga dibeli sendiri di kelompok tani. “Biaya rawatnya yang mahal. Kami dituntut lestari, indah, kelihatan bagus kan,” keluhnya. Karena itu ia membuat warung di area paling atas dekat pemukiman untuk menambah pemasukan selain tempat berteduh turis.

Dalam kesepakatan kerjasama sebelumnya, kewajiban pemilik lahan adalah merawat dan selalu menanam padi. Jenis yang ditanam adalah padi mansur. “Turis sering ikut panen,” imbuh Japa.

Pemilik lahan lain adalah dua kerabatnya, termasuk Kepala Dusun Tangkub I Nyoman Rena. Ia mengaku memiliki sedikit dibanding dua saudaranya yang lain, yakni sekitar 16 are. Ia awalnya tidak nyaman membahas konflik ini. “Tidak ada niat merusak sawah, itu kebanggaan kami. Kami tak menuntut iuran, mengerti Corona. Kawasan kan artinya keseluruhan, ini tak adil. Di barat bisa eksplor sampai ke bawah. Profit kami apa? Kalau mau jahat, ditanam ketela pohon saja apakah enak dilihat?” tuturnya.

Namun aset leluhur ini menurutnya perlu dilestarikan, terlebih ada biaya perawatan agar terlihat terus rapi dan indah. “Dulu tidak boleh donasi, sudah dituruti. Katanya pungli. Kami sudah tidak taruh kotak donasi. Keponakan saya buat usaha swing, ditata, jembatan sebelum Covid masih berfungsi sekarang diputus,” herannya.

perlu dibaca : Subak, Warisan Budaya Ribuan Tahun, dan Tantangan Pelestarian ke Depan

 

Panorama sawah berundak-undak menyesuaikan kontur tanah yang terjal inilah panorama utama di Ceking, Tegalalang. Dilihat dari sisi Barat. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Rena mengaku tidak tahu penghasilan dari retribusi objek wisata Ceking ini. Ia meminta keadilan karena sisi barat dan pengelola dapat penghasilan dari menjual panorama Ceking.

“Ada obyek yang mendunia kok tidak dipelihara. Pemilik lahan menyewa penggarap karena perlu perawatan agar selalu indah, tiap hari sekitar Rp600 ribu untuk sekitar enam orang,” sebutnya. Para petani tidak memiliki subak karena natak tiis, mengandalkan air yang masuk dari hulu.

Pihaknya sempat negoisasi minta 50% hasil kemudian disepakati lisan 40% untuk pemilik lahan tapi belum jalan. “Kami malu bicarakan hal ini, kalau ada pis megarang (rebutan uang), orang desa malu,” urai Rena. Ia sendiri tidak mau merusak yang sudah bagus. Karena banyak lokasi lain yang bagus saja bisa ditinggal pariwisata.

Jika hendak menikmati sawah dari desanya langsung, datanglah ke Banjar Tangkub dan Kebon di Desa Kedisan yang mudah diakses, sekitar 10 menit berkendara dari obyek wisata Ceking di Jalan Raya Tegalalang. Ketika berdiri dari sisi timur, kita bisa merefleksikan diri.

“Lihat, di cermin kami bisa lihat pemandangan bangunan di barat,” seloroh Sena. Ia mempersilakan pengunjung langsung ke dusunnya jika ingin mengakses panorama sawah.

baca juga : Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia [1]

 

Ceking, hamparan terasering sawah yang menjadi obyek wisata populer di Desa Tegalalang, Gianyar, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Bendesa Adat (pemimpin desa adat) Tegalalang, Made Jaya Kusuma yang terlibat dalam pengelolaan mengatakan persoalan ini sudah dimediasi pada 28 Juli oleh Kapolsek Tegalalang. Ia sendiri tak bisa hadir. “Retribusi sedang diusahakan, karena ada Covid tak dibayar sekian bulan. Ada program desa adat, akan dibayar,” ujarnya dikonfirmasi pada Senin (29/7/2020).

Akar konflik ini diakuinya terkait kesepakatan pembagian retribusi, tiap pemilik lahan sawah diberikan antara Rp4-4,5 juta juta per bulan tergantung lokasinya. Jaya mengakui jembatan yang mengakses sawah dari sisi barat diputus karena sistem donasi bertentangan dengan peraturan dan tak ada pertanggungjawaban secara umum karena milik pribadi.

Ia sendiri tak banyak tahu detail soal penghasilan karena sudah ada Badan Pengelola Objek Wisata Ceking sebagai penanggungjawab. Namun selama pandemi ini, ia mengeluhkan ketiaadaan penghasilan.

Pertanian adalah salah satu aset “jualan” pariwisata Bali selain pantai dan pegunungan. Jatiluwih juga menghadapi masalah yang mirip dan pernah diulas Mongabay.

 

Exit mobile version