- Berwisata tak hanya menikmati keindahan juga mempelajari kerapuhannya
- Trekking di kawasan persawahan terluas dan kawasan wisata Jatiluwih, Tabanan, Bali, bisa mengantarkan pada rasa syukur juga waswas
- Kemegahan lansekap pertanian ini mendapat ancaman alih fungsi lahan untuk fasilitas non pertanian
- Turis perlu edukasi soal pertanian tradisional untuk mendorong kesadaran lingkungan
Pagi di Jatiluwih di musim hujan, dinginnya tak menusuk tulang. Namun bakal buah durian jatuh dengan mudah ke tanah dikoyak hujan angin.
Pohon durian tumbuh di beberapa sudut area D’Uma yang dibuat pengelola kawasan wisata Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, Bali. Area dengan spot kemah, panggung terbuka, dan kebun. Ada dek kayu untuk mendirikan kemah. Pemandangannya mewah, hamparan sawah, dan Gunung Batukaru.
Bekal buah-buahan dikeluarkan untuk sarapan pagi. Gunung Batukaru terlihat lebih jelas dari berkas cahaya dari ufuk timur yang berusaha menerobos awan.
Kompor mulai dinyalakan untuk menjerang air. Gelas-gelas aluminium menampung racikan kopi pagi ini. Aromanya semerbak. Dari kejauhan, satu dua petani mulai berjalan menuju ladangnya. Sawah-sawah masih dibajak, untuk persiapan musim tanam awal tahun 2020 ini.
Walau sebagian sawah ditata terasering, traktor bisa masuk ke ladang di petak-petak yang kelihatannya sulit diakses. Bahkan di ladang yang sempit. Burung kokokan mengikuti petani yang menjalankan traktornya berharap rekahan tanah berisi cacing untuk makan pagi mereka.
baca : Asyiknya Trekking di World Heritage di Kaki Gunung Batukaru
Di warung dan dapur tradisional dekat pintu D’Uma, seorang perempuan sedang menghidupkan kayu untuk tungku batu. Ia sedang meramu tepung beras merah. Resep laklak (mirip serabi) dari beras merah hasil pertanian Jatiluwih.
Cetakan besi disiapkan di atas bara api, dan adonan dituangkan dengan tangkas, lalu ditutup penutup tanah liat. Dalam tiga menit, laklak matang. Toping-nya adalah kelapa parut diguyur gula aren. Sarapan pagi di dapur tungku kayu mengurai dingin pagi ditemani teh beras merah. Energi untuk memulai trekking di jalur persawahan sekitarnya.
Jalur trekking dibagi menjadi beberapa pilihan, rute pendek dan panjang, antara 1-5 km. Informasi trekking ini bisa didapatkan di pos tiket masuk. Ditandai dengan garis putih, merah, hijau, dan biru. Ada juga jalur trekking jalan kaki sekaligus naik sepeda dengan rute lebih panjang.
Sebagai penanda arah, ada gugusan gunung di Utara yang memandu menuju jalur keluar ke arah jalan raya. Aktivitas petani membersihkan lahan, menggemburkan tanah, dan memperbaiki saluran irigasi subak (pengairan) adalah kemewahan juga pengetahuan. Subak tak hanya dikenal sebagai sistem pertanian juga budaya, dengan padatnya rangkaian tahapan ritual dan persembahan untuk alam dari petani.
Sayangnya jalur-jalur ini tidak diberi nama untuk memudahkan mengingat atau mengidentifikasikan lokasinya secara spesifik. Di jalur menuju dan balik dari D’Uma, jalur trekking dilengkapi tong sampah, lampu penerangan untuk malam hari, beberapa karya instalasi, dan warung-warung yang cukup banyak.
baca juga : Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia [1]
Sejumlah warung kini berdiri di tengah persawahan area Jatiluwih. Terutama di area trekking utama dengan pos penjaga tiket di depannya. Ada yang menjual camilan, minuman, dan suvenir.
Komang Ardika memilih menjual hasil pertanian seperti beras putih, beras merah, beras hitam, ketan, dan lainnya. Ia bercerita kondisi pertanian saat ini yang makin ditinggalkan. “Anak muda kebanyakan di pariwisata, jarang yang ke uma (sawah),” katanya. Karena itu banyak lahan yang hasil panennya dijual secara borongan atau istilah lokalnya pajegang borong.
Ia pun demikian dan berharap dari warung penjual hasil pertanian ini ada penghasilan harian yang bisa diandalkan. “Harapan petani seperti saya kan dapat harian,” lanjutnya. Komang berharap hasil tambahan dari lahan pertanian, sawah sebagai panorama seperti di Ubud.
Menurutnya di Ubud, pemilik sawah 1-2 are bisa dapat Rp4 juta/bulan dari perusahaan yang memanfaatkan panorama sawah untuk hotel atau restorannya. Sementara di Jatiluwih, menurutnya masih tergantung hasil panen. Dari pengalamannya, satu hektar hasil panennya sekitar 4-5 ton. Tergantung terasering. Makin banyak terasering atau kemiringannya, makin sedikit hasilnya.
Selain hasil panen kurang maksimal, tantangan lain adalah pemasaran dengan harga yang baik. Dampak daerah tempat wisata Jatiluwih ini bagi petani menurutnya mendapat bibit, pupuk, dan biaya pengolahan yang masuk ke subak.
Persaingan usaha dan penghasilan makin nampak di Jatiluwih yang menjadi tujuan wisata panorama sawah terluas di Bali. Terutama makin menjamurnya akomodasi, restoran, dan warung di kawasan persawahan. Tak heran, hal ini memancing hadirnya warung-warung dan bangunan lain non hasil pertanian juga.
perlu dibaca : Menikmati Berkah Air Panas dan Eksotisnya Hutan Gunung Batukaru
Di sisi lain, warga seperti Kerut Ariani yang berjualan aneka sayuran dari sawah dan ladang sekitarnya juga perlu mendapat akses untuk memasarkan langsung. Ia terlihat duduk menunggu pembeli di parkiran salah satu objek wisata air panas.
Dagangannya digelar seadanya dengan selembar alas. Ia mengaku membeli sebagian sayur di orang lain, dan ia menjual kembali. Di antaranya sayur paku, kecombrang, keong sawah, biji nangka, terong kokak, sayur daun ketela, dan lainnya. Segar dan berasal dari ladang sekitar.
I Wayan Windia, salah satu budayawan Bali ini menyebut sistem irigasi subak di Bali telah diakui dunia. Dalam sebuah Kongres Kebudayaan pada 2013 lalu, ia menyebut peristiwa bersejarah itu tercatat sejak sistem subak ditetapkan oleh UNESCO, sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD).
Saat itu di Pittsburg, Rusia pada 29 Juni 2012, pengakuan UNESCO terhadap subak diresmikan sebagai Cultural Landscape of Bali Province, Subak as Manifestation of Tri Hita Karana Philosophy.
Jika berjalan-jalan di area persawahan, misalnya di Jatiluwih, terlihat simbol-simbol Tri Hita Karana, tiga penyebab keseimbangan. Pertama, dari sisi tata ruang, petani membangun sawah dengan memperhatikan lansekap tanah. Misalnya jika kemiringannya terjal, dibuatkan terasering, walau menyempit tapi membuatnya terlihat indah, estetis.
Kemudian dari sisi manusia, tiap kelompok subak memiliki aturan atau awig-awig yang menyepakati sejumlah hal terkait tata kelola pertanian. Misalnya kesepakatan pinjam air irigasi antar subak dan antar petani yang menunjukkan gotong royong.
Selanjutnya dari sisi hubungan dengan Tuhan, akan terlihat komplek pura subak di tiap kelompok yang terdiri dari puluhan KK pemilik tanah. Digunakan untuk kegiatan persembahan atau upacara ritual yang menunjukkan rasa iklas dan bakti syukur atas karunia alam.
Namun, filosofi ini makin digerogoti. Luas lahan pertanian di Bali terus menyusut. Data BPS tahun 2010 menyebutkan alih fungsi lahan sawah dalam periode tahun 2005-2009, rata-rata sekitar 1000 ha/tahun.
baca juga : Hutan Adat Besikalung yang Ditakuti Pemburu
Gede Pitana dalam makalahnya saat kongres kebudayaan dengan topik subak saat itu memberi catatan lingkungan strategis subak banyak berubah berkaitan dengan gencarnya program-program pembangunan di berbagai bidang di luar sektor pertanian termasuk pesatnya perkembangan pariwisata di Bali.
Sejumlah masalah-masalah dalam pelestarian subak diantaranya semakin menurunnya minat pemuda menjadi petani. Pariwisata telah memicu urbanisasi dan migrasi. Penduduk desa khususnya kalangan muda, cenderung ingin mencari pekerjaan yang lebih bergengsi di sektor pariwisata dari pada tetap bertani, karena menjanjikan pendapatan yang jauh lebih besar.
Menciutnya lahan sawah akibat alih fungsi ke arah penggunaan lain di luar pertanian dan ancaman krisis air. Pitana menyebut berimplikasi pada semakin tajamnya persaingan dan konflik kepentingan dalam pemanfaatan air antara berbagai pengguna, teruama antara sektor pertanian dan sektor non pertanian. Kasus petani-petani di Penebel Tabanan yang memprotes keras pengambilan air di Yeh Gembrong oleh Pemda Tabanan untuk kebutuhan air minum sekitar tahun 1990-an adalah contoh soal dari akibat persaingan pemanfaatan air.
Ancaman lain pada subak dalam pencemaran air sungai dan air saluran irigasi. Akibat limbah dari industri garmen, sablon, hotel, dan restoran.