Mongabay.co.id

Hari Tani 2020: Seruan Tolak Omnibus Law dan Desak Reforma Agraria Sejati

Aksi KNPA di depan DPR Jakarta, menola RUU Cipta Kerja, dan mendesak reforma afraria sejati. Foto: KPA

 

 

 

 

Akhir Agustus lalu, lima orang adat Laman Kinipan, di Lamandau, Kalimantan Tengah, terjerat hukum. Mereka kena tahan polisi atas tudingan kasus pencurian dengan kekerasan. Ceritanya, beberapa bulan sebelum itu mereka menghentikan dan menyita satu mesin pemotong kayu pekerja perusahaan yang sedang menebang pohon di hutan adat mereka.

Hutan adat yang jadi sumber pangan, papan sampai obat-obatan itu tumpang tindih dengan izin perusahaan perkebunan sawit, PT Sawit Mandiri Lestari (SML).

“Kami akan tetap jaga hutan adat kami,” kata Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan di Jakarta, awal September. Buhing, juga kena tahan.

Buhing bebas dari tahanan polisi dengan alasan belum cukup bukti. Empat warga adat yang lain, penangguhan penahanan dan proses hukum terus jalan.

Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan

Kinipan sudah punya peta partisipatif wilayah adat. Beberapa tahun lalu, Kinipan juga ajukan hutan adat mereka ke Pemerintah Lamandau, tetapi tak ada kabar berita.

Orang Kinipan, sudah hidup turun menurun di sana, mereka bertani, dan berkebun, tetapi belum ada pengakuan dan perlindungan dari pemerintah. Ruang hidup mereka tak aman. Kondisi macam ini, tak hanya terjadi di Kinipan, tetapi ribuan komunitas adat lain, petani, masyarakat lokal, di Indonesia, alami kondisi tak jauh beda.

Sementara, pemerintah dan DPR kini mengusung Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, aturan hukum yang berisi penyederhanaan berbagai macam aturan di negeri ini, biasa disebut omnibus law. Dalam draf RUU ini, pemerintah berusaha memberikan berbagai kemudahan kepada investor, dari kemudahan perizinan, kelola lahan sampai ‘diskon’ hukuman bagi pelaku usaha pelanggar.

Baca juga: Kado Hari Tani 2018: Presiden Tandatangani Perpres Reforma Agraria

Berbagai kalangan protes dan menolak RUU ini. Termasuklah pada Hari Tani, yang jatuh 24 September 2020, berbagai elemen, dari petani, buruh, masyarakat adat, kaum miskin kota sampai mahasiswa serukan penolakan rancangan omnibus law  yang berpotensi makin sengsarakan buruh, petani, masyarakat adat, dan mengancam keberlanjutan lingkungan. Mereka juga mendesak  reforma agraria sejati juga  pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.  Pada Hari Tani ini, berbagai elemen masyarakat ini aksi di DPR RI dan di berbagai daerah dari Kalimantan, Pulau Jawa, Sulawesi, Sumatera, sampai Papua.

 

Aliansi Kaltim Melawan (AKM) dalam Peringatan Hari Tani 2020 di Kalimantan Timur, Foto: Aliansi Kaltim Melawan (AKM)

 

Omnibus law ini bahayakan petani. Selama ini, informasi yang dibangun seolah-olah ini hanya berdampak pada buruh. Tidak demikian, hak-hak konstitusional petani terhadap sumber agraria juga terancam oleh RUU ini,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria, sekaligus Komite Nasional Pembaruan Agraria, dalam konferensi daring peringati Hari Tani.

Begitu ngebut DPR membahas RUU ini di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), Dewi nilai sebagai sikap kontraproduktif. Petani, katanya, pihak yang berjibaku menyiapkan ketersediaan pangan tetapi DPR dan pemerintah terus membahas aturan yang berpotensi mencabik hak petani atas lahan seperti mandat Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960.

“Karena itu, kami bersama para petani akan memastikan RUU ini tidak disahkan dan ditarik kembali,” kata Dewi.

Baca juga: Mengupas Borok Agraria, Akankah Temukan Obatnya?

Tergabung dalam komite ini dan turut menyampaikan hal senada yaitu Walhi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) sampai Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Khusus aksi di Ibu Kota, koalisi mengerahkan 2.000 massa di depan DPR dan bergerak ke Istana Negara. Aksi ini tetap menerapkan protokol kesehatan ketat untuk menjamin keselamatan massa aksi.

“Hari Tani ini bukan hanya gerakan agraria, juga gerakan lingkungan, gerakan masyarakat adat, gerakan buruh dan mahasiswa. Sudah saatnya kita semua bergerak memberikan tanda peringatan pada pemerintah supaya tidak lagi mengabaikan suara rakyat di tengah pandemi,” kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional.

 

Hutan adat Laman Kinipan dihancurkan untuk kebun sawit. Protes tak mau hutan mereka rusak, warga Kinipan pun hadapi jerat hukum. Kini, Kampung Kinipan sedang dilanda banjir besar. Kala hutan mereka hilang, bencana datang….Foto: Save Kinipan/ Mongabay Indonesia

 

Kembalikan keadilan agraria

Perayaan Hari Tani 2020 ini juga bertepatan dengan 60 tahun kelahiran UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Ia juga jadi dorongan mengembalikan spirit keadilan agraria yang kini dinilai tak berjalan sebagaimana mestinya.

Hingga kini, banyak konflik agraria di berbagai daerah, seperti di Laman Kinipan, baik itu berupa perampasan tanah, penggusuran, intimidasi maupun penangkapan rakyat.

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Bahkan, di tengah pandemi COVID-19 konflik agraria terus terjadi, Catatan KNPA ada 35 konflik agraria sejak Maret- September 2020.

Kondisi ini, kata Yaya, sapaan akrabnya, menginspirasi kaum buruh ikut bersama para petani turun di Hari Tani 2020 ini. Selama ini, juga terjadi konflik agraria di perkotaan, dan buruh jadi satu kelompok alami kerugian.

“Ketimpangan kepemilikan tanah di kota jelas terjadi, di mana tanah dikuasai segelintir perusahaan properti. Rakyat, terutama buruh terlempar ke pojok atau pinggir perkotaan,” kata Ilhamsyah, Ketua Umum KPBI Ilhamsyah.

Untuk itu, KPBI mendorong reforma agraria sejati berjalan. Monopoli tanah, katanya, harus setop supaya rakyat mendapatkan hak mereka.

Baca juga: Omnibus Law, Potensi Tambah Masalah Lingkungan dan Sosial

Dewi mengatakan, ketimpangan struktur dan penguasaan lahan begitu besar di Indonesia. Data KNPA memperlihatkan, sekitar 1% pengusaha kuasai 68% tanah. Sedang data BPS 2018, sedikitnya 15,8 juta rumah tangga petani hanya menguasai tanah sekitar 0,5 hektar.

Kajian Transparansi untuk Keadilan (TuK) Indonesia memperlihatkan, sektor perkebunan sawit ada 25 grup perusahaan mendominasi penguasaan 16,3 juta hektar tanah. Hutan seluas 30,7 juta hektar dikuasai 500 perusahaan dan sektor tambang mencapai 37 juta hektar.

Berdasarkan data KPA, 71% daratan di Indonesia dikuasai korporasi kehutanan. Lalu, 23% tanah dikuasai korporasi perkebunan skala besar, para konglomerat, baru sisanya, masyarakat.

“Tercatat, rata-rata pemilikan tanah petani di pedesaan kurang dari 0,5 hektar bahkan tidak bertanah,” kata Dewi.

 


Padahal, katanya, secara nyata mata penopang krisis pangan di tengah corona ini adalah petani. Di tengah keterbatasan lahan itu saja, petani bisa membantu masyarakat lain dalam menyediakan pangan.

Persoalan ketimpangan penguasaan tanah ini, katanya, harus diselesaikan oleh presiden dan wakil presiden. Bukan sebaliknya yang terjadi saat ini, pemerintah dan DPR kejar tayang menyelesaikan RUU Cipta Kerja.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN juga menyuarakan hal sama. Menurut dia, masyarakat adat selama ini menanti keadilan agraria dari negara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 menegaskan, kalau hutan adat adalah hutan di wilayah adat, bukan lagi hutan negara.

“Tapi, sampai saat ini baru 32.000 hektar secara resmi diadministrasi negara,” katanya.

Di Hari Tani ini, AMAN pun merasakan semangat sama dengan anggota koalisi lain dalam meminta reforma agraria sejati. Kalau negara serius menjalankan reforma agraria, seharusnya konflik seperti Kinipan, tidak terjadi lagi di Indonesia.

“Inilah titik penting kita untuk mengembalikan gaya hidup yang sesuai dengan adat, karena gaya hidup kapitalis tidak lagi feasible.”

 

Aksi Hari Tani 2020 di Kalimantan Timur yang menyuarakan tolak omnibus law dan jalankan reforma agraria sejati. Foto: Aliansi Kaltim Melawan (AKM)

 

Omnibus law ancaman

Dewi melanjutkan, kekhawatiran pada omnibus law ini antara lain, rencana pembentukan bank tanah. Dewi bilang, wacana ini berupaya mengebiri semangat reforma agraria karena RUU Cipta Kerja akan memberikan alas hak konsesi 90 tahun di muka.

Padahal, dalam UUPA setiap badan usaha dapat hak guna usaha 25 tahun, atau 35 tahun, bisa diperpanjang dengan persyaratan tertentu.

“Dalam UUPA dan sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi bahwa tanah itu bukan miliki negara, tapi negara sebagai perwakilan, mewakili bangsa harus mengatur tanah itu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

KNPA menolak dengan keras RUU Cipta Kerja dan wacana bank tanah. Tanpa bank tanah saja, katanya, banyak praktik politik yang bertentangan dengan UUPA. Kalau ada bank tanah, maka rakyat rawan jadi korban.

“Karena sampai sekarang saja banyak gesekan, di mana rakyat tergusur oleh proyek infrastruktur dan proyek strategis nasional. Bank tanah ini akan memperburuk keadaan,” katanya.

Masyarakat dipil juga menilai, reforma agraria yang berjalan belum memberikan kesejahteraan, utama bagi petani dan masyarakat adat.

Rina Mardiana, Kepala Pusat Studi Agraria (PSA), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor, melihat relasi petani, agraria dan pembangunan berkelanjutan. Dengan begitu, katanya, tujuan utama mencapai keadilan agraria, lingkungan selaras dengan aspek ekonomi dan kedaulatan pangan. Petani dan tanah, katanya, merupakan dua komponen saling berkaitan.

 

Aksi Hari Tani di depan DPR Jakarta. Foto: KPA

 

Soal reforma agraria, katanya, berada di persimpangan jalan karena yang terjadi lahan-lahan cemderung untuk pemodal, termasuklah yang masuk dalam RUU omnibus law. “Tanah untuk rakyat, atau tanah untuk investor?” katanya.

Reforma Agraria merupakan mandat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP-MPR), Nomor IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.

Di sana, dijelaskan berkenaan penataan kembali penguasaan, kepemilikan, pemanfaatan dan pengunaan sumber agraria hingga dapat dinikmati bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kenyataan, di lapangan terjadi ketimpangan. Petani bahkan banyak tak punya tanah. “Untuk menyediakan tanah sebagai lahan pertanian, dalam rencana detil tata ruang di Indonesia, kabupaten-kota baru menyisihkan 3% saja.”

Belum lagi soal benih. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi 99/2012, petani memiliki hak memuliakan tanaman dan mendistribusikan hasil pemuliaan tanaman pada komunitasnya.

Namun, katanya, dalam RUU omnibus law, petani harus mengantongi izin untuk melakukan itu.

Begitu pula soal tanah. Luas areal lahan pertanian yang telah ditetapkan dalam tata ruang daerah, dan beberapa aturan pusat, bakal kalah dengan omnibus law. “Semua itu tetap bisa dialih fungsikan jika terkait kegiatan strategis negara.”

Rina bilang, dalam draf RUU Cipta Kerja, petani malah terkekang dan terhambat. “Semua tentang ruang tanah ini ambyar jika terkait proyek strategis nasional dengan alasan pembangunan infrastruktur yang intinya investor yang menguasai lahan,” katanya.

Senada dikatakan Erasmus Cahyadi, pengurus AMAN. Dia menyatakan, agenda reforma agraria Indonesia makin tidak jelas. Salam Tap MPR IX itu sudah disebutkan landasan hukum bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, tetapi tak jalan.

Legislatif dan eksekutif, katanya, harus jadi pelaksana pembaharuan agraria dengan mencabut, mengubah atau mengganti semua UU dan peraturan pelaksana yang tidak sesuai dengan ketetapan MPR itu.

Kebijakan-kebijakan terkini tentang pengakuan masyarakat adat pun bersifat sektoral parsial. Dalam Perpres tentang Reforma Agraria, katanya, posisi masyarakat adat tak jelas. Masyarakat adat, tidak masuk dalam kategori subjek penerima tanah objek reforma agraria. Subjek penerima tora adalah ‘kelompok masyarakat’.

Istilah kelompok, bagi AMAN bukan kelompok yang tumbuh alamiah sebagaimana masyarakat adat.

Tidak adanya masyarakat adat sebagai subjek dalam reforma agraria justru membuat agenda-agenda reformasi itu tidak sejalan dengan TAP MPR IX itu.

 

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Eko cahyono, peneliti dari Sayogyo Institute, mengatakan, salah satu tujuan reforma agraria untuk mengurangi atau menghentikan konflik agraria. Pada praktiknya, kata Eko, kriminalisasi petani dan masyarakat adat makin meningkat. Kepentingan sektor perkebunan, kehutanan pertambangan serta iinfrastruktur lebih diutamakan negara.

“Reforma agraria, kebijakan agraria itu sertifikasi saja. Cuma mengatasnamakan kebijakan berkeadilan,” katanya.

Ada lagi RUU omnibus law, katanya, bakal jadi tsunami investasi.

Model-model memberikan ‘karpet merah’ kepada investor ini sebenarnya wajah lama alias koridor ekonomi seperti yang diterapkan rezim sebelum ini. Setiap koridor, katanya, akan menghubungkan satu pulau ke pulau lain guna menjembatani sentra produksi hasil pengolahan sumber daya alam. Tak heran, proyek-proyek besar infrastruktur marak.

Eko contohkan, proyek pariwisata nasional dengan baju ekowisata. “Praktiknya untuk melancarkan aktivitas yang disebut pembangunan infrastruktur. Bangun bandara, jalan tol.”

Proyek itu, seolah-olah demi tujuan konservasi dan pelestarian lingkungan, tetapi yang terjadi perampasan atas nama ekowisata, hak dasar masyarakat adat atau masyarakat lokal bisa tergusur.

Fakta ini, kata Eko, menunjukkan, lahan atau tanah jadi komodifikasi seperti barang dagangan. Semangat reforma agraria, pemerintah, katanya, bertolak belakang dengan implementasi di lapangan. Tsunami investasi, sudah tentu akan menguras sumber daya alam. Ia juga rawan memuluskan praktik korupsi sumber daya alam.

 

Alex Waisimon saat berada di lokasi pembukaan lahan PT. Permata Nusa Mandiri. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

***

Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, Wakil Ketua DPR mengatakan, ada kesalahan prosedur dalam pembentukan omnibus law ini. Pembahasan RUU Cipta Kerja ini, katanya, cepat sekali apalagi masa pandemi masih terus bahas.

“Menjadi tanda tanya juga mengapa masih kukuh mengesahkan RUU omnibus law, apalagi itu belum mengacu pada UU awal. Sebenarnya ini jika dipandang sangat bertentangan dengan konstitusi,” kata Cak Imin.

Dia bilang, perlu meluruskan omnibus law ini agar sesuai amanat UU Pokok Agraria. Hingga kini, katanya, hak lahan bagi petani masih jadi pekerjaan rumah.

Cak Imin menilai, omnibus law sebagai solusi prakmatis menangani dunia bisnis yang maju. Dia mengingatkan, RUU ini harus kaji mendalam dan sungguh-sungguh, apakah sesuai amanat UUD’45.

Achmad Sodiki, pakar hukum agraria menerangkan, UUPA itu mengemban misi sosial masyarakat, dan kepentingan politik. Lagi-lagi, katanya ekonomi sering mewarnai hukum hingga UU pun tak berjalan.

“Sebenarnya, pemberian kemudahan kepada swasta sudah berjalan sejak lalu, hingga kita temukan satu komoditas menguasai tanah [begitu luas]. Ada omnibus law ini sangat berbahaya.”

Rizal Ramli, pakar ekonomi, mengatakan, RUU omnibus law ini sebenarnya karya mafia hutan dan lahan di Indonesia. Sejak awal dia sudah memplesetkan singkatan RUU Cipta Kerja ini jadi RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja). Kemudian dia memplesetkan omnibus law jadi omnibus gombal.

RUU ini, kata Rizal, terlihat menarik, seolah-olah akan menciptakan lapangan pekerjaan. “Omnibus gombal, packing-nya, istilah keren, seolah-olah menciptakan lapangan kerja, naikkan investasi, kemudian memicu pertumbuhan ekonomi.”

Pertanyaan sampai hari ini, kata Rizal, tak pernah ada perkiraan angka resmi berapa investasi, berapa juta lapangan pekerjaan akan tercipta dan berapa pertumbuhan ekonomi akan bertambah lewat pembuatan aturan ini.

Lewat RUU ini, katanya, para pekerja dapat iming-iming kesejahteraan padahl justru sebaliknya. Melalui RUU ini, pemerintah akan mempermudah investasi.

Rizal menyebut, ada penumpang gelap di RUU omnibus law ini. Penumpang gelap itu, katanya, adalah ‘raja hutan’ dan ‘raja tambang’. Merekalah, yang jadi sponsor RUU Cipta Kerja.

Siapa si ‘raja hutan’ dan ‘raja tambang’ ini? “Terutama raja-raja hutan HPH yang sudah habis atau raja tambang yang udah 30 tahun harus dikembalikan ke negara. Nah, dalam omnibus ini, itu dibikin langsung otomatis diperpanjang kepada pemilik lama.”

Kalau sampai RUU omnibus law ketok palu, bagaimana nasib petani, buruh, maupun masyarakat adat, seperti di Laman Kinipan?

 

Keterangan foto utama: Aksi KNPA di depan DPR Jakarta, menola RUU Cipta Kerja, dan mendesak reforma afraria sejati. Foto: KPA

Exit mobile version