Mongabay.co.id

11 Pekerja Tewas Tertimbun di Tambang Batubara Ilegal, Tidak Jauh dari PLTU Sumsel 8

 

 

Sebelas pekerja yang tengah membuat jalan di lokasi penambangan batubara liar atau tanpa izin, tewas tertimbun tanah longsor. Peristiwa tersebut terjadi di Desa Penyandingan, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan [Sumsel], Rabu [21/10/2020], sekitar pukul 15.30 WIB. Lokasi penambangan liar tidak jauh dari lokasi PLTU Power Plant Sumsel 8, yang dalam tahap pembangunan.

Berdasarkan informasi AKP Faisal, Kapolsek Tanjung Agung, kepada Mongabay Indonesia, Rabu [21/10/2020] tengah malam, lahan penambangan batubara liar tersebut milik Helmi, warga Desa Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung Agung, yang dikelola Ita, warga Desa Penyandingan, Desa Tanjung Agung.

Para pekerja yang sebagian berasal dari Lampung tersebut, tertimbun tanah dari bukit sebelah kanan jalan. Pada saat kejadian tidak ada hujan yang dapat menjadi pemicu longsor.

Adapun ke-11 korban yang sebagian besar petani tersebut yakni:

 

Ke-11 korban tersebut dibawa ke Puskesmas Tanjung Agung untuk dilakukan tindakan medis, sebelum diserahkan ke keluarganya.

Baca: Menguak Lapisan Persoalan Perizinan Batubara di Sumsel (Bagian-1)

 

Sebanyak 11 pekerja tewas tertimbun di lokasi penambangan batubara liar, di Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Foto: Dok. Polsek Tanjung Agung, Muara Enim, Sumsel

 

Harusnya ditertibkan

Peristiwa kecelakaan di penambangan batubara liar tidak akan terjadi, jika pemerintah melakukan penertiban. “Peristiwa tersebut seharusnya tidak terjadi jika pemerintah optimal menertibkan tambang-tambang ilegal. Hampir penambangan liar seperti emas dan batubara sering menyebabkan kecelakaan yang menelan korban jiwa,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang, Kamis [22/10/2020].

Pemerintah Sumsel sudah melakukan penertiban 8 tambang batubara ilegal, pada 2019. Sebagian lokasi tersebut di Tanjung Enim dan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim.

Menurut Robert Heri, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumsel, seperti dikutip CNN Indonesia, 8 tambang ilegal yang ditutup itu, menyebabkan negara menderita kerugian Rp432 miliar per tahun, dihitung dari royalti yang seharusnya diterima negara. Hitungan ini belum termasuk kerugian lingkungan, seperti lubang eks tambang yang tidak direklamasi.

Dijelaskan Yenrizal, munculnya penambangan batubara ilegal juga dikarenakan tingginya permintaan batubara. “Coba kalau pemerintah tidak mengandalkan batubara sebagai sumber energi, mungkin tidak banyak orang memburu. Tapi lihat sekarang, semuanya berburu batubara, baik orang asing hingga orang lokal,” ujarnya.

Baca: Reklamasi Lahan Tak Efektif. Bentang Alam yang Berubah Pasca Pertambangan Batubara di Sumsel (Bagian-2)

 

Peristiwa meninggalnya 11 pekerja ini terjadi Rabu [21/10/2020], sekitar pukul 15.30 WIB. Foto: Dok. Polsek Tanjung Agung, Muara Enim, Sumsel

 

Dekat PLTU Sumsel 8

Kabupaten Muara Enim, merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi batubara terbesar di Sumsel. Dari luasan konsesi batubara di Sumsel yakni 1.136.363 hektar, sekitar 77.931,70 hektar berada di Muaraenim yang dikelola 13 IUP. Luasan ini belum ditambah penambangan liar di kabupaten yang luas wilayahnya 748.306 hektar.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [SDM], pada 30 Januari 2020, jumlah cadangan batubara terbesar di Indonesia berada di Sumsel, sekitar 50,226 miliar ton.

Cadangan batubara di Muara Enim berjumlah 9,78 miliar ton, dengan rincian cadangan terkira sejumlah 5,39 miliar ton dan cadangan terukur sejumlah 4,39 miliar ton. Selain itu cadangan batubara di Muara Enim memiliki kandungan gas metana sekitar 0,69-150,53 scf per ton, serta unsur logam tanah jarang [LTJ]/Rare Earth Element [REE].

Baca juga: Tambang Batubara di Sumsel, Ancaman Serius untuk Bentang Alam dan Masyarakat Sehile (Bagian-3, Terakhir)

 

Pada 2019 lalu, Pemerintah Sumsel telah menutup 8 penambangan liar, yang sebagian berada di Kabupaten Muara Enim. Foto: Dok. Polsek Tanjung Agung, Muara Enim, Sumsel

 

Tingginya potensi batubara di kabupaten ini membuat pemerintah membangun dua Pembangkit Listrik Tenaga Uap [PLTU] Mulut Tambang [Power Plant] yakni Sumsel 8 dan Sumsel 1.

PLTU Power Plant 8 berada di Desa Tanjung Lalang, yang tidak jauh dari peristiwa tertimbunnya pekerja di tambang batubara liar tersebut. PLTU Power Plant 8 berkapasitas 1.240 MW yang dibangun atas kerja sama China dan Indonesia oleh perusahaan Huadian Bukit Asam Power, konsorsium antara China Huadian [saham 55 persen] dan Bukit Asam [saham 45 persen].

PLTU tersebut dalam tahap konstruksi dan dibiayai oleh The Export-Import Bank of China senilai 1,26 miliar dolar. Meskipun pademi Covid-19, pembangunan konstruksi terus dijalankan, sehingga target operasional pada 2022 terwujud.

 

Sumsel merupakan wilayah tertinggi di Indonesia yang memiliki potensi batubara sekitar 50,226 miliar ton. Salah satunya di Kabupaten Muara Enim. Foto: Dok. Polsek Tanjung Agung, Muara Enim, Sumsel

 

Konflik harimau dan manusia

Ancaman adanya aktivitas penambangan batubara dan pembangunan PLTU Power Plant di Sumsel, bukan hanya terjadinya kecelakaan yang merenggut jiwa manusia, tapi juga mendorong degradasi lahan. Kondisi ini membuat terdesaknya habitat harimau sumatera, sehingga dikhawatirkan terjadi konflik.

Pius Ginting, Direktur Eksekutif Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat [AEER], mengatakan keberadaan batubara dan pembangunan PLTU Power Plant di Kabupaten Muara Enim, yakni Sumsel 8 dan Sumsel 1, telah mendorong terjadinya konflik satwa liar.

“Selama ini terjadi empat konflik manusia dengan harimau di Sumsel yang menyebabkan korban jiwa, salah satunya dekat lokasi PLTU Sumsel 8,” kata Pius.

Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KHLK] tahun 2018, laju deforestasi di Sumsel terus terjadi setiap tahun. Tahun 2014 seluas 3.527,2 hektar, selanjutnya 290.777 hektar [2015], 4.294,2 hektar [2016], 22.286,6 hektar [2017] dan 3.741 hektar [2018].

 

 

Exit mobile version