Mongabay.co.id

Kelola Lahan Pangan Berkelanjutan Hadapi Beragam Tantangan

Panen sorgum di Flores, NTT. Foto Dewi Hutabarat

 

 

 

 

Pengelolaan lahan pertanian pangan berkelanjutan sesuai amanat UU Undang-undang Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB), belum berjalan signifikan, sudah menghadapi beragam tantangan. Proyek lumbung pangan (food estate) berskala besar sampai UU Cipta Kerja, yang menyederhanakan berbagai aturan di negeri ini (omnibus law), antara lain jadi tantangan bagi pengelolaan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Ernan Rustiadi, Kepala Divisi Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, IPB dalam webinar Oktober lalu menilai proyek lumbung pangan (food estate) dinilai kurang tepat. Food estate, katanya, hanya akan mengulang kesalahan dalam pengelolaan pangan.

Baca juga: Kala Proyek Food Estate Bisa Makin Sulitkan Petani dan Dorong Krisis Pangan

Balik ke belakang soal pembukaan lahan gambut di Kalimantan Tengah sawah era Presiden Soeharto yang dikenal dengan proyek satu juta hektar lahan gambut (PLG). Buka sawah gagal, yang terjadi deforetasi dan kerusakan gambut. Proyek mengalih fungsi sejuta hektar lahan dan hutan gambut itu menimbulkan berbagai masalah lingkungan maupun sosial hingga saat ini.

Dia bilang, lahan gambut untuk pertanian lebih memerlukan perlakuan khusus dibandingkan lahan mineral. Meskipun dia menyadari ketersediaan lahan subur makin menipis. Berdasarkan catatan Ernan, lahan subur di Indonesia tersebar di Jawa, sebagian Sumatera dan sebagian Sulawesi.

Masalah lain, katanya, pembangunan food estate ini mengulangi lagi rantai distribusi yang panjang. Konsep sentralisasi lumbung pangan ini tak akan memotong rantai distribusi lantaran dari lokasi produksi harus dibawa lagi ke seluruh penjuru Indonesia.

 Baca juga: Omnibus Law ‘Jalan Mulus’ Legalkan Pelanggaran Investasi Sawit dalam Kawasan Hutan

“Seperti yang sudah-sudah, ada beras yang tamasya, dari sawah di Merauke lalu dikirim ke Sulawesi.” Kondisi ini, katanya, yang membuat beras mahal, antara lain, karena perjalanan jauh dan ada persoalan logistik.

Sementara kalau melihat produktivitas lahan, Indonesia, terbilang bagus. Satu hektar lahan pertanian di Indonesia bisa menghasilkan 5,1 ton padi saat panen. Di negara tetangga seperti Thailand hanya hasilkan 3 ton per hektar.

“Tapi kenapa Thailand bisa surplus? Karena lahan pertanian mereka lebih tinggi.” Sebaliknya, kata Ernan, lahan pertanian di Indonesia, terus alami penyusutan untuk berbagai peruntukan. Beberapa tahun belakangan ini, terlihat alih fungsi lahan pertanian terjadi karena pembangunan infrastruktur, perkebunan dan lain-lain.

 

Taufik Iskandar bersama rekannya di lahan pertanian cabai. Kampunya kini berdampingan dengan tambang dan PLTU batubara. Lahan tani mereka pun terancam terlibas tambang batubara. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Kondisi ini, kata Ernan, sebenarnya bisa dihindari kalau pengelolaan lahan pertanian pangan berkelanjutan berjalan.

Dia bilang, salah satu latar belakang lahir UU PLP2B ini dari kekhawatiran terhadap rencana konversi 3 juta hektar dari 9 juta hektar sawah berdasarkan rencana tata ruang dan wilayah di berbagai daerah pada 2004.

Alasan itu juga, katanya, UU PLP2B memunculkan pasal-pasal penataan ruang pedesaan. Penataan ruang pedesaan itu, katanya, penting agar lahan pertanian di tingkat desa tidak diganggu alih fungsi yang mengancam keberlanjutan sektor pangan. Ujungnya, menyebabkan, orang berbondong-bondong urbanisasi.

Senada dengan Program Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Kalteng selalu mengalami penyusutan lahan tani setiap tahun.

Data JKPP menunjukkan, sejak 2015 sampai 2020, selalu terjadi penyusutan 51.000 hektar sawah setiap tahun. Jadi, lebih 200.000 hektar ladang atau sawah hilang di Kalteng selama empat tahun.

Data ini, katanya, berbanding terbalik dengan peningkatan izin konsesi yang mencapai sekitar 7 juta hektar. Atau 38% dari provinsi ini sudah terbebani izin hak guna usaha, izin usaha pertambangan maupun hutan tanaman industri, belum lagi, konsesi yang tumpang tindih.

 

 

Terancam UU Cipta Kerja

Selain food estate, ancaman lain terhadap pengelolaan lahan pangan berkelanjutan oleh petani lokal adalah kemudahan untuk impor. Praktik ini akan terus terjadi dengan pengesahan UU Cipta Kerja.

Andi Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, dengan UU Cipta Kerja, pemenuhan pangan seakan tidak penting melihat dari lokal berbasis budaya, tetapi bisa lewat impor. Hal ini, katanya, jadi ancaman bagi pengembangan pangan lokal.

 

Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di daerah-daerah di nusantara ini, seperti Riau, Papua, Maluku dan lain-lain. Tanaman sagu, antara lain yang cocok di lahan gambut. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Salah satu pasal bermasalah dalam omnibus law adalah perubahan Pasal 36 UU Nomor 18/2012 tentang Pangan. Dari pasal ini, kata Inda, ada arah kebijakan ketahanan pangan lebih kental dibanding kemandirian pangan dalam negeri.

Senada dengan Indah, Dewi Sutedjo dari Divisi JKPP menyatakan hal sama. Selain masalah impor, ada dua hal lain yang jadi perhatian JKPP dari omnibus law yang dinilai jadi ancaman pangan berkelanjutan.

Pertama, alih fungsi lahan pertanian atas nama proyek strategis nasional. Poin lain, impor benih gratis tanpa mempertimbangkan nilai lokal.

“Hal inilah yang membuat petani tidak berdaulat,” katanya.

 

Kedepankan pemetaan partisipatif

Salah satu instrumen penting dalam PLP2B adalah membuat tata ruang pedesaan yang dapat mengakomodir sistem ini. Langkah itu, katanya, bisa dengan mengajak warga menata ruang secara partisipatif.

Hal seperti ini, katanya, sudah dipraktikkan masyarakat di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, lewat dampingan JKPP.

Dengan melibatkan masyarakat, mereka akan tahu seperti apa arah pengembangan desa dalam menjalankan PLP2B.

“Dengan hasil pemetaan dan perencanaan tata guna lahan dari masyarakat ini, pemda harusnya tinggal mengesahkan saja,” ucap Diarman, Kepala Divisi Layanan Pemetaan Partisipatif JKPP.

Pengalaman di Sigi, masyarakat sendirilah yang memberikan usulan lahan PLP2B, seluas 122,62 hektar di Desa Balumpewa, 30,50 hektar di Desa Balaroa Pewunu, dan 53,70 hektar di Desa Kaluku Tinggu serta 23,53 hektar di Desa Mantikole.

Rencana-rencana ini, katanya, akan ditindaklanjuti dengan pembuatan peraturan desa yang dapat mengakomodir inisiatif masyarakat ini.

Contoh di Sigi, katan Ernan, dapat jadi peluang untuk mendorong pengelolaan lahan pangan di tingkat masyarakat. “Kita harus mendorong pengelolaan lahan berkelanjutan ini dengan pendekatan advokasi kolaboratif. Ini yang harus kita tawarkan pada masyarakat desa dan pemerintah.”

 

 

Keterangan foto utama: Mama Maria Loretha panen sorgum di lahan kering dengan  hasil melimpah. Foto: Dewi Hutabarat

Exit mobile version