Mongabay.co.id

Pemerintah Harus Alihkan Program Prioritas dari Ekspor Benih Lobster

 

Terungkapnya praktik korupsi yang melibatkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kegiatan ekspor bening benih Lobster (BBL), harus menjadi pelajaran penting bagi Pemerintah Indonesia. Untuk itu, harus ada evaluasi program kerja yang akan dilaksanakan pada 2021 mendatang.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menjelaskan, pemanfaatan BBL untuk kegiatan ekspor diduga kuat sudah menjadi program prioritas yang dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama setahun terakhir.

“KKP hanya fokus pada regulasi benih Lobster dan melupakan prioritas program strategis lainnya,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

Menurut Abdi, KKP yang saat ini menjadi salah satu kementerian strategis, seharusnya memiliki peran untuk memberikan perlindungan ekonomi kepada kelompok nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha lain. Terlebih, karena saat ini sedang berlangsung masa krisis akibat pandemi COVID-19.

Tak hanya peran strategis tersebut, seluruh menteri juga sudah diingatkan oleh Presiden RI Joko Widodo agar bisa bekerja keras dan mencari terobosan untuk mengatasi krisis yang sekarang sedang berlangsung. Juga, diminta untuk meningkatkan perlindungan ekonomi masyarakat.

Akan tetapi, imbauan tersebut tidak dijalankan dengan baik oleh mantan Menteri KP Edhy Prabowo yang memimpin KKP. Hal itu, terbukti dengan rendahnya kemampuan belanja KKP dalam melaksanakan penyerapan anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN) 2020.

“Hingga September 2020 lalu, penyerapan anggaran hanya 50,28 persen dari pagu APBN sebesar Rp5,082 triliunan,” tutur dia.

baca : Pasca Penangkapan Menteri KP, Regulasi Ekspor Benih Lobster Didesak untuk Dicabut

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memegang anakan lobster di di Tangerang, Sabtu (4/7/2020). Foto : KKP

 

Masih rendahnya kemampuan untuk menyerap anggaran, mengindikasikan ada yang tidak beres di dalam tubuh KKP. Terlebih, karena KKP seharusnya berperan sebagai institusi yang melakukan intervensi dan stimulus kepada masyarakat kelautan dan perikanan dalam mempertahankan keberlanjutan usaha.

Tak hanya itu, Abdi Suhufan juga menerangkan, KKP memperlihatkan kinerja yang sangat rendah pada subsektor perikanan budi daya dengan kemampuan daya serap hanya mencapai Rp328 miliar atau 32,34 persen dari total pagu senilai Rp1,018 triliun.

Fakta tersebut sangat memprihatinkan, karena subsektor perikanan budi daya sudah ditetapkan menjadi program kerja prioritas dari 2019 hingga 2024, sesuai arahan yang diberikan Presiden Joko Widodo seusai terpilih kembali menjadi Presiden RI periode kedua 2019-2024.

“Tujuan Pemerintah melakukan refocusing anggaran dengan maksud menopang ekonomi pembudidaya akhirnya gagal tercapai,” ucap dia.

 

Program Prioritas

Karenanya, KKP harus bisa mengambil hikmah dari penangkapan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk memperbaiki keadaan dan pemantapan program prioritas untuk menyentuh kehidupan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir.

Dengan kata lain, pekerjaan rumah bagi KKP saat ini semakin banyak dan itu menjadi tantangan yang harus dijawab oleh institusi tersebut. Terutama, tantangan untuk menciptakan lapangan kerja baru di era pandemi COVID-19 sekarang, dan bagaimana memulihkan serapan pasar terhadap produk perikanan.

“Juga mendorong BUMN Perikanan untuk mengaktifkan Sistem Logistik Ikan yang mandek, serta mengimplementasikan kegiatan budi daya perikanan yang hingga saat ini belum kelihatan di lapangan,” tegas dia.

baca juga : Ekspor Benih Lobster Berhenti Pasca Penangkapan Menteri KP, Masalah Tetap Ada

 

Seorang nelayan di Desa Ketapang Raya, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur, NTB, menunjukkan bibit bening lobster (BBL). Dari nelayan bibit ini dibawa ke pengepul yang biasanya memiliki hubungan dengan perusahaan tertentu. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Peneliti DFW Indonesia Muh Arifuddin mengimbau agar Menteri Kelautan dan Perikanan Ad Interim untuk bisa fokus pada program yang bersentuhan langsung dengan kelompok rentan di pesisir. Untuk itu, sebaiknya belanja KKP fokus pada persoalan ekonomi nelayan dan pembudi daya ikan yang terdampak krisis.

“Jangan terjebak pada program pencitraan yang tidak perlu,” tambah dia.

Di sisi lain, kebijakan ekspor BBL yang menuai kontroversi sempat diminta untuk dievaluasi oleh Menteri KP Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mengatakan hal tersebut sebelum berangkat ke Jepang untuk melaksanakan kunjungan kerja sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Juru Bicara Menko Marves Jodi Mahardi menjelaskan, evaluasi kebijakan ekspor BBL dilakukan karena masih mencari apakah kebijakan tersebut tepat atau tidak. Jika memang sudah benar, maka kebijakan tersebut akan terus dijalankan.

Menurut Jodi, yang terpenting dari semua itu adalah semua tahapan dan prosedur bisa diikuti oleh para pelaku usaha ataupun eksportir yang ditunjuk. Contohnya saja, syarat budi daya yang harus dilakukan oleh eksportir, maka itu ikuti saja agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.

“Selama eksekusinya tidak ada permainan korupsi atau kolusi ya. Tapi sekali lagi, kita tunggu saja hasil evaluasi,” ujarnya mengutip pernyataan dari Luhut.

Perlunya mendengar hasil evaluasi secara keseluruhan, karena nanti akan ketahuan apakah kebijakan yang salah atau memang pelaksanaan di lapangan yang diselewengkan. Jika memang itu permasalahan di lapangan, maka tidak ada alasan untuk dihentikan, karena itu bermanfaat bagi masyarakat.

Menteri KP Ad Interim pengganti Luhut Binsar Panjaitan, Syahrul Yasin Limpo tak berkomentar banyak tentang kebijakan ekspor BBL. Menurut dia, kebijakan tersebut akan dilihat dulu lebih detail dan praktiknya di lapangan seperti apa.

Inspektur Jenderal (Irjen) KKP Muhammad Yusuf menjelaskan, kebijakan ekspor BBL memang sedang dilakukan evaluasi oleh KKP. Proses tersebut dijanjikan bisa selesai pada pekan ini dan langsung dilaporkan kepada Syahrul Yasin Limpo.

menarik dibaca : Benih Lobster Dieksploitasi, Berbahayakah Secara Ekologi?

 

Nelayan menunjukkan lobster jenis mutiara hasil tangkapannya di perairan Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Penyelundupan BBL

Diketahui, kegiatan ekspor BBL untuk saat ini dihentikan oleh KKP melalui surat edaran Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap No.B.22891/DJPT/Pl.130/XI/2020 tertangggal 26 November 2020.

Surat tersebut berisi tentang Penghentian Sementara Penerbitan Surat Penetapan Waktu Pengeluaran (SPWP) kepada para Kepala Dinas KP provinsi/kabupaten/kota, Ketua Kelompok Usaha Bersama Penangkap BBL (Benih Bening Lobster), dan para eksportir BBL.

Saat kebijakan ekspor BBL dihentikan, penyelundupan BBL kembali terjadi pada Minggu (6/12/2020) dan dilakukan oleh seorang penumpang KM Kelud yang berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta menuju Batam, Kepulauan Riau dan kemudian akan dikirim ke Singapura dan Vietnam.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Tb Haeru Rahayu mengatakan, kerugian akibat aksi tersebut mencapai Rp4,3 miliar yang berasal dari 42.500 BBL. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.000 ekor merupakan BBL jenis mutiara.

Seluruh BBL kemudian disita oleh Kantor Bea Cukai Batam, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Khusus Batam, dan Stasiun Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (SKIPM) Batam.

Untuk menjaga dan melestarikan BBL yang sudah disita, Balai Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang melakukan pelepasliaran seluruh BBL hasil sitaan di perairan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Batam.

“Itu menjadi bentuk komitmen KKP dalam menjaga dan melestarikan populasi lobster di habitatnya,” tegas dia.

perlu dibaca : Penyelundupan Benih Lobster Berakar dari Regulasi yang Tidak Tepat

 

BPSPL Padang melepasliarkan barang bukti penyelundupan benih bening lobster (BBL) di perairan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Batam, 7 Desember 2020. Foto : BPSPL Padang

 

Kepala BPSPL Padang Mudatstsir menjelaskan pemilihan KKPD Batam sebagai lokasi pelepasliaran, didasarkan atas pertimbangan keselamatan petugas dan kondisi perairan untuk habitat BBL. Kata dia, saat ini kondisi sedang musim angin utara, sehingga gelombang cukup tinggi.

“Dengan pertimbangan keselamatan petugas, maka kita putuskan di kawasan lindung terdekat yaitu Pulau Ngual yang masuk dalam KKPD Batam. Kondisi karangnya juga bagus, bisa untuk habitat BBL,” jelas dia.

Di Pulau Ngoan—sebutan lokal untuk Pulau Ngual– ada kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) bernama Penjaga Samudera yang membantu pengawasan agar BBL bisa tumbuh besar dan terlindungi. Dengan demikian, BBL bisa aman dari oknum yang berniat mengambil lagi BBL.

 

Exit mobile version