Mongabay.co.id

Dulu Makmur, Perubahan Bentang Alam Membuat Warga Desa Ini Menjadi Miskin

 

 

Perubahan bentang alam di Kecamatan Sirah Pulau [SP] Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, ternyata bukan hanya berdampak bagi lingkungan seperti banjir dan kekeringan. Tetapi juga, menyebabkan berbagai persoalan sosial, seperti hilangnya lapangan pekerjaan dan meningkatnya tindak kriminal.

Awal perubahan terjadi setelah kawasan rawa gambut Sepucuk yang terhubung dengan persawahan di SP Padang [satu lanskap], dibuka menjadi perkebunan sawit, awal 2000-an.

Sepucuk merupakan kawasan rawa gambut di Kecamatan Kayuagung, Kabupaten OKI, yang selama 15 tahun terakhir menjadi perhatian dunia. Sebab hampir setiap musim kemarau panjang, wilayah ini mengalami kebakaran, yang menyebabkan bencana kabut asap. Bahkan pada 2015, Presiden Jokowi [Joko Widodo] mendatangi lahan gambut terbakar milik PT. Tempirai Palm Resources di Desa Pulau Geronggang, Minggu [06/09/15] siang.

Akibat perubahan rawa gambut Sepucuk, sejak 2006, sebagian besar persawahan di SP Padang tidak dapat ditanami, karena tergenang air. Bahkan kebun warga yang banyak ditumbuhi pohon duku, durian, manggis dan beragam jenis mangga, turut tergenang, sehingga banyak pohon mati atau gagal berbuah.

Salah satu persawahan pasang surut yang kini tergenang air sepanjang tahun, sejak 2010, adalah Lebak Belanti di Desa Terusan Menang yang dikunjungi Mongabay Indonesia, Jumat [11/12/2020]. Persawahan seluas 2.000 hektar ini tidak dapat lagi ditanami padi. Ibarat danau yang dipenuhi enceng gondok, petai air, teratai, lotus, dan rumput gajah. Kawasan ini juga tidak akan mengering meskipun musim kemarau.

Baca: Perempuan, Purun dan Relasi Gender di Lahan Gambut

 

Pilut [63], warga Desa Terusan Menang, yang sawahnya seluas 1,5 hektar tidak dapat ditanam lagi karena tergenang air sepanjang tahun. Dia kini memelihara kambing dan mencari ikan. Foto: Humaidy Kenedy

 

Disebut “Lebak Belanti” sebab dulunya merupakan kawasan lebak [rawa gambut] yang banyak ditemukan tanaman bebeti atau jambu air nasi [Syzgium zeylanicum].

Di sisi lain pada saat musim kemarau, sebagian wilayah seperti di permukiman dan kebun yang jauh dari kawasan Lebak Beranti, mengalami kekeringan. Banyak kebun atau sumur warga tidak ada airnya saat musim kemarau. Padahal, sebelumnya hal tersebut jarang terjadi.

Dampak dari perubahan bentang alam tersebut, sejak tahun 2010-an, banyak generasi muda di Kecamatan SP Padang mencari kerja keluar dusun atau desa. Sebab mereka tidak dapat lagi bersawah, mencari ikan, dan hidup bergantung pada kebun buah tahunan yang setiap tahun sering gagal berbuah.

Mereka menjadi buruh sawit, buruh perusahaan hutan tanaman industri [HTI], atau merantau ke Jakarta dan luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia.

Bahkan, tidak sedikit warga SP Padang yang melayang jiwanya di luar negeri guna mendapatkan pekerjaan. Hanya dijanjikan gaji Rp5 juta per bulan, Sepri dan Ari, pemuda asal Desa Serdang Menang, bekerja di kapal ikan Long Xing 629 yang dimiliki perusahaan China, Dalian Ocean Fishing. Mereka tewas saat bekerja di kapal, dan jasadnya dilarung ke laut.

Baca: Gelebak Dalam, Desa Sentra Padi yang Berjuang Mandiri

 

Kebun buahan seperti duku, durian, dan beragam mangga saat ini banyak yang tidak menghasilkan karena tanahnya tergenang air. Foto: Humaidy Kenedy

 

Selain itu, tingkat kriminalitas di Kecamatan SP Padang terus meningkat, terutama terkait penggunaan dan peredaran narkoba. Selama pandemi COVID-19 ini [2020], peredaran narkoba di SP Padang terus berjalan, yang dibuktikan adanya penangkapan sejumlah bandar.

“Pilihannya sulit sekali. Menetap di dusun dekat keluarga, tapi hidup miskin dan berpotensi terlibat kriminalitas, atau merantau ke luar mencari pekerjaan,” kata Budi Masdrian, warga Desa Terusan Menang, Kecamatan SP Padang, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [11/12/2020].

Selama pandemi, kondisi ekonomi masyarakat di SP Padang kian sulit. “Masyarakat kini sudah saling was-was, sebab sering terjadi pencurian. Ini semua ya karena hidup kian sulit atau susah,” kata Budi.

Sebagai informasi, Kecamatan SP Padang luasnya mencapai 14.908 hektar dengan rata-rata ketinggian lahan sekitar 10 meter dari permukaan laut [m dpl]. Di kecamatan ini terdapat 18 desa dengan jumlah penduduk sekitar 43.556 jiwa. Sebagian besar statusnya sebagai petani dan nelayan sungai.

Baca: Desa Ini Sediakan Lahan Pertanian untuk Generasi Milenial

 

Persawahan di Lebak Belanti yang sepanjang tahun tergenang, sejak 2010. Ribuan warga tidak dapat lagi bersawah. Foto: Humaidy Kenedy

 

Daerah makmur

Pada masa pemerintahan Belanda, SP Padang dikenal sebagai wilayah makmur. Selain sebagai sentra ikan dan padi, juga sebagai penghasil buah seperti duku, durian dan beragam jenis mangga, yang sebagian besar dijual ke Palembang dan Jakarta. Sehingga selain petani dan nelayan sungai, juga banyak pedagang yang menetap di SP Padang.

“Pada masa Belanda, SP Padang jauh lebih ramai dibandingkan Kayuagung [ibukota Kabupaten OKI]. Banyak orang sekolahan dari sini, yang kemudian menjadi pejabat selama pemerintahan Belanda. Bahkan kondisi ini terus berlangsung hingga era Orde Baru,” kata Pilut [63], warga Desa Terusan Menang yang bertemu Mongabay Indonesia di Lebak Belanti, saat mencari kangkung untuk makanan kambing peliharaannya.

“Namun sejak reformasi, banyak yang berubah. Hutan di Sepucuk habis, akibatnya sawah dan kebun kami rusak. Tidak dapat ditanami lagi, dan buah di kebun hasilnya menurun karena banyak tanaman mati atau sering tidak berbuah,” kata pemilik sawah sekitar 1,5 hektar di Lebak Belanti yang sejak 2006 tidak dapat ditanami padi lagi.

“Saya ke sini ya paling mencari ikan, dan mencari makanan buat peliharaan kambing di rumah,” lanjutnya.

Selain itu, setiap terjadi kebakaran di kawasan Sepucuk warga SP Padang, khususnya warga Desa Terusan Menang, akan merasakan dampaknya.

“Yang lebih menyakitkan, kami warga di sini yang dituduh melakukan pembakaran sehingga kebun sawit tersebut terbakar, seperti kebakaran hebat 2015 lalu,” kata Budi.

Baca juga: Kembalikan Tradisi Masyarakat Sriwijaya untuk Lestarikan Alam

 

Petai air, teratai, lotus, dan rumput gajah kini memenuhi persawahan Lebak Belanti yang tergenang sepanjang tahun. Foto: Humaidy Kenedy

 

Kerugian

Tergenangnya persawahan Lebak Belanti secara permanen jelas memberikan dampak kerugian ekonomi cukup besar. Setiap hektar sawah di Lebak Belanti, menghasilkan gabah sekitar delapan ton per tahun. Jika harga gabah kisaran Rp5 ribu per kilogram, maka sekitar Rp40 juta per hektar atau Rp80 miliar per tahun dari persawahan Lebak Beranti.

“Jadi kalau dihitung selama 10 tahun, kerugian kami sekitar Rp800 miliar,” kata Budi.

Apa yang dilakukan pemerintah?

Tahun 2019 lalu, Tim Koordinasi Pengendalian Sumber Daya Air [TKPSDA] Wilayah Sungai Musi – Sugihan – Banyuasin – Limau [WS MSBL], melakukan kunjungan ke Lebak Belanti. Mereka ingin membuktikan informasi tentang kawasan sawah tersebut yang tergenang sejak 2010, dan dinyatakan benar. Mereka ingin melaporkan hal ini ke pemerintah pusat, dan menawarkan sejumlah solusi kepada sejumlah pihak, termasuk berunding dengan PT. Waringin Agro Jaya [WAJ] guna mengatasi banjir berkepanjangan di Lebak Belanti.

 

Pondok warga di persawahan rusak sebagai bukti hilangnya persawahan Lebak Belanti, akibat tergenang sepanjang tahun. Foto: Humaidy Kenedy

 

Muhammad Hairul Sobri, Direktur Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Sumatera Selatan mengatakan, wilayah pangan Belanti merupakan bentuk nyata dampak dari ekspansi perkebunan sawit sejak 2005.

“Kawasan yang dulunya merupakan lumbung pangan bagi kabupaten OKI kini menjadi areal penampungan air dari beberapa konsesi perusahan sawit di sekitarnya.”

Lanjutnya, dampak tata kelola air yang tidak berkeadilan ini membuat belasan tahun rakyat di sana gagal tanam, yang terkurung dalam pusaran kemiskinan. Paling disesalkan adalah, perusahan tersebut merupakan perusahan-perusahan langganan kebakaran.

“Jadi, bisa kami simpulkan bahwa izin perkebunan sawit yang mengalihfungsikan lahan rawa gambut memunculkan dampk sosial dan lingkungan hidup yang luar biasa, baik pendidikan maupun kesehatan rakyat. Bahkan, kerugian kerusakan ekologis ini tak ternilai dengan uang. Pada akhirnya suka atau tidak, rakyat yang harus menanggung beban.”

“Solusinya? Seperti yang kami sampaikan selama ini, hentikan perkebunan sawit di lahan rawa gambut, dan kembalikan rawa gambut seperti semula,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version