Mongabay.co.id

Belajar dari Banjir Kalimantan Selatan, Peringatan agar Bijak Kelola Alam

Banjir parah di Kalsel, melanda setidaknya 11 kabupaten dan kota pada Januari 2021. Foto: BNPB

 

 

 

 

Banjir bandang menerjang 11 kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan, medio Januari lalu. Banjir merendam kurang lebih 87.765 rumah warga dengan ketinggian air mencapai dua meter, setidaknya menyebabkan 74.863 orang mengungsi dan 21 orang meninggal dunia.

Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) mengatakan, Indonesia sedang alami fenomena alam La Nina.

Anomali cuaca yang kerap menyebabkan bencana hidrometeorologi itu. Namun, katanya, Kalsel termasuk wilayah yang tak diprediksi mengalami dampak La Nina.

“Seingat saya, Kalimantan Selatan termasuk wilayah yang tidak dikira akan menghadapi dampak badai La Nina,” katanya dikutip dari rilis kementerian.

Pada 21 Januari Muhadjir ke posko pengungsian banjir Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Kota Banjarbaru, Kalsel.

Banjir bandang Kalsel sebabkan sarana prasarana rusak, seperti jembatan putus, tanggul jebol, Jalan Trans Kalimantan putus, dan banyak pula sekolah dan rumah ibadah rusak.

Muhadjir bilang, banjir ini merupakan pertanda ketahanan lingkungan di Kalsel lemah. Apabila ketahanan lingkungan kuat, fenomena La Nina tidak akan menyebabkan bencana parah.

Untuk itu, katanya, warga Kalsel dan para penentu kebijakan harus betul-betul melakukan koreksi yang mendasar terhadap masalah penataan lingkungan, termasuk tata guna tanah.

 

Baca juga: Tak Hanya soal Cuaca, Banjir Parah Kaliamantan Selatan karena Alam Rusak

 

Bumi Kalimantan memiliki sumber daya alam berupa keragaman hayati dan kandungan mineral di dalam perut bumi. Dia tak memungkiri, eksploitasi alam menjadi salah satu penyebab banjir besar di Kalsel. Pengelolaan alam yang salah dan sembrono, kata Muhadjir, menyebabkan malapetaka bencana alam.

Dia pun meminta kepada seluruh pihak, baik masyarakat umum, pengusaha, dan pemerintah daerah untuk lebih mencintai alam dan memanfaatkan alam dengan bijaksana.

“Marilah kita memanfaatkan alam ini dengan cara-cara bijak, arif, dengan penuh perhitungan manfaat dan risikonya. Jangan sampai ternyata manfaat itu lebih kecil dibanding risikonya,” katanya.

Risiko dan keuntungan, kata Muhadjir, jangan hanya dihitung jangka pendek, tetapi jangka panjang.

“Jangan sampai ada yang mengambil keuntungan terlalu besar (dari lingkungan), sementara sebagian yang lain menanggung risiko terlalu besar.”

Apa yang disampaikan Muhadjir tak berlebihan. Merujuk laporan Sayogjo Institute, dari 3,7 juta hektar wilayah Kalsel, setengahnya dibebani perizinan industri ekstraktif seperti perkebunan sawit dan tambang batubara.

Melalui analisa tumpang tindih izin tambang dengan penggunaan lahan yang dilakukan Sayogjo Institute, 1,1 juta hektar luas izin tambang di Kalsel.

Sebagian besar konsesi tambang ini dimiliki oleh apa yang disebut dalam laporan ini sebagai “Haji Batubara.” merujuk para ‘haji’ kaya pengusaha batubara di Kalsel.

“Ada banyak haji kaya di Kalsel yang ziarah ke tanah suci melalui eksploitasi batubara. Yang hidup mewah, bergelimang harta di tengah kerusakan lingkungan dan kemiskinan masyarakat sekitarnya,” tulis Tommy Apriando, penulis laporan ini.

Menurut laporan ini, izin tambang baik berupa izin usaha produksi (IUP), kontrak karya (KK) maupun perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) seperti milik para haji inilah yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan melucuti kedaulatan masyarakat atas tanah dan air.

Catatan Walhi Kalsel, 399.000 hektar (41%) dari 984,000 hektar kawasan hutan Pegunungan Meratus di Kalsel dikuasai izin tambang. Dalam kawasan hutan ini ada sungai yang selama ini jadi tumpuan masyarakat kini terancam serius.

Masih data Walhi Kalsel, dari 3,7 juta hektar lahan di Kalsel, 581.188 hektar merupakan hutan sekunder, hanya 89.169 hektar hutan primer. Selebihnya, didominasi konsesi. Seluas 234.492,77 hektar untuk HPH, 567.865,51 hektar buat HTI, 1.219.461,21 hektar izin tambang, dan 620.081,90 hektar untuk kebun sawit.

 

Baca juga: Kala Hutan Gundul, Pulau Lombok dan Sumbawa jadi Langganan Banjir

Keindahan alam di Lembah Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel, yang terancam tambang batubara PT.MCM. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

#SaveMeratus

Dalam laporan ini juga disebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) merekomendasikan fatwa mengharamkan pertambangan batubara di Kalsel. Pengalihan wilayah hutan dinilai menjadi bagian perusakan lingkungan yang tidak sesuai ajaran Islam.

Fatwa ini juga mendukung gerakan #SaveMeratus, perjuangan masyarakat HST melawan tambang batubara PT Mantimin Coal Mining (MCM).

MCM punya izin operasi PKP2B dari KESDM pada 2017. Konsesi 5.908 hektar. Sekitar 1.900 hektar berada di Pegunungan Meratus. Izin ini berada tak jauh dari Bendungan Batang Alai yang masuk dalam proyek strategis nasional PSN) terkait ketahanan pangan.

Temuan lain laporan ini menunjukkan 356.000 hektar dari total 610.000 hektar ekosistem pegunungan karst di Kalsel juga terbebani izin tambang. Tak hanya itu, 399.000 hektar hutan Kalsel dari 984.000 hektar sudah punya izin tambang.

Total sekitar 1,2 juta hektar atau 33% dari seluruh luas Kalsel sudah menjadi izin tambang. Ini belum termasuk 618.000 hektar atau 17% buat izin perkebunan sawit.

Meratus adalah hulu banyak sungai. Lebih dari 5.600 km sungai melintas dan berasal dari Pegunungan Meratus. Aktivitas tambang di hulu merusak hutan, sedangkan di bagian tengah dan hilir mencemari sungai.

Selain MCM, perusahaan lain yang mengancam Meratus dengan pertambangan adalah PT Adaro Indonesia dan PT Antang Gunung Meratus.

Dijelaskan dalam laporan ini, pembukaan lahan tambang batubara mengupas lapisan permukaan tanah hingga kedalaman tertentu. Tata air alami dirombak merusak tata air setempat. Persediaan air bagi warga menurun kualitas dan kuantitas. Selain itu timbul risiko bencana longsor dan banjir.

Jalan tambang PT Adaro misal, dibangun membelah rawa dan sawah warga. Ia juga membongkar lahan transmigrasi di Kabupaten Tabalong hingga menggusur penduduknya.

Longsor, pernah terjadi di Desa Kintap Lama, Kabupaten Tanah laut pada 2017. PT Darta Katama Jaya (DKJ) yang mengantongi izin tambang daru Bupati Tanah Laut, menambang dengan jarak hanya 50-100 meter dari Sungai Kintap dan mengakibatkan longsor.

Banjir di daerah hilir pertambangan juga terjadi berulang kali dalam beberapa tahun terakhir. Di Tanah Bumbu, genangan banjir hingga 4.252 hektar. Di Kotabaru tercatat 2.380 hektar genangan.

“Banjir di wilayah hilir berkaitan dengan penggundulan hutan dan perombakan lahan di wilayah hulu,” tulis Tommy.

Kerusakan ekosistem di hulu yang berfungsi sebagai area tangkapan air menyebabkan kelebihan air di daerah hilir yang berujung pada banjir.

Selain itu juga terjadi penggusuran ruang hidup rakyat, berupa ladang, kebun dan sumber air, akibat perombakan bentang alam.

Ada 32.717 km sungai besar dan kecil melintas di Kalsel. Di atas seperempat sungai itu sudah ada izin tambang. Sepanjang 335 km dari sungai yang berizin tambang itu telah jadi lubang tambang.

Sungai-sungai dalam izin tambang dibongkar saat pembukaan lahan hingga menghancurkan pola aliran alaminya. Laporan ini memprediksi bisa terjadi longsor lahan dan pemukiman, sungai dan sumber air rusak mungkin terjadi.

 

Baca juga: Lingkungan Hidup Rusak, Penyebab Banjir dan Longsor di Sumatera Utara

 

Konsesi tambang di sepanjang DAS

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menemukan 70 konsesi pertambangan batubara di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Utara, Tengah hingga Banjar. Di keseluruhan Kalsel, Jatam memetakan 814 lubang tambang yang menganga dan berkontribusi pada banjir.

Jatam kemudian mengolah data Sistem Informasi Pinjam Pakai Kawasan Hutan (SIPKH)–yang bisa diakses publik di situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—ditemukan, hingga Juni 2020 terdapat 1.034 IPPKH di 34 provinsi di Indonesia dengan luas 499.655,57 hektar atau nyaris setara dua kali luas Kabupaten Bogor.

Luasan kawasan hutan ini atas izin Menteri Kehutanan—kini Lingkungan Hidup dan Kehutanan– sejak Orde Baru termasuk saat era reformasi, sejak zaman Menteri M.Prakosa (2001-2004), MS Ka’ban (2004-2009), Zulkifli Hasan (2009-2014) hingga Menteri Siti Nurbaya (2014-sekarang).

“Semua menunjukkan setiap menteri dari semua rezim pemerintahan harus dituntut bertanggung jawab, termasuk rezim pemerintahan Jokowi melalui Menteri Siti Nurbaya,” kata Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam.

Kondisi ini, katanya, menunjukkan saat hutan diurus negara dan KLHK, justru jadi penyebab utama deforestasi. Apalagi, saat terdapat konflik kepentingan menteri-menteri dari partai maupun oligarki korporasi tambang dalam urusan kehutanan yang menyebabkan rakyat jadi pengungsi sosial ekologis karena bencana. “Karena itu, episentrum bencana sesungguhnya ada di pemerintah dan elit politik sendiri.”

Eko Teguh Paripurno, Direktur Pusat Kajian Penanggulangan Bencana UPN Veteran Yogyakarta, menyatakan, tata kelola pertambangan di Indonesia masih abai manajemen risiko bencana. Kini, risiko jadi beban alam dan masyarakat sekitar pertambangan.

Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara KESDM membantah, ada kaitan pertambangan dengan bencana banjir. Dalam konferensi pers minggu lalu, dia bilang, kalau dibandingkan dengan luasan DAS Barito dan izin tambang relatif kecil.

Sebelum ini, Belinda Arunarwati Margono, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, mengatakan, ada penurunan luas hutan alam DAS Barito di Kalsel selama periode 1990-2019 sebesar 62,8%. Penurunan hutan terbesar terjadi pada periode 1990-2000 yaitu sebesar 55,5%.

Meski begitu, kata Belinda, untuk mendapatkan gambaran utuh tentang penyebab banjir perlukan kajian keseluruhan DAS utama di wilayah banjir. Kajian dilakukan terutama pada DAS Barito yang merupakan DAS utama, dengan perhatian khusus pada wilayah hulu DAS.

 

Komunitas AMAN di Kalsel, yang jadi korban banjir bandang. Foto: AMAN

 

Mitigasi?

Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) mencatat setidaknya ada 137 komunitas terdampak bencana saat ini. Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional menyayangkan, mitigasi bencana pemerintah gagap hingga mengorbankan tak hanya ruang hidup juga lumbung-lumbung pangan.

“Masyarakat adat yang menghuni Pegunungan Meratus adalah korban pertama dan utama paling menderita saat fungsi tandon air sudah rusak karena konstruski besar-besaran untuk sawit,” katanya.

Dia menyayangkan, sejak Kalsel terendam banjir pemerintah baik daerah maupun pusat tak pernah menyebut konsesi tambang dan sawit yang sudah menghabiskan setengah wilayah Kalsel. Kondisi ini, katanya, menyebabkan kualitas ekologi daerah ini terus menurun.

“Tak ada upaya mitigasi sistemik. Gagap terus kita menghadapi bencana buatan manusia ini,” katanya.

Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), katanya, sudah mengingatkan akan ada La Nina sejak beberapa bulan lalu. Sayangnya, minim dalam menyikapi peringatan itu.

Abdon bilang, kalau kondisi ini terus terjadi maka ‘panen’ bencana banjir akan terus terjadi ke depan. Pemerintah, katanya, harus benahi mitigasi bencana.

Mitigasi, katanya, termasuk mengevaluasi izin-izin industri ekstraktif yang sudah diberikan di berbagai wilayah termasuk di Papua.

“Sumatera dan Kalimantan sudah ‘panen’ bencana. Tinggal Papua. Papua sebetulnya juga sudah habis diobral, cuma [izin] belum beroperasi saja. Kalau pemerintah cepat tanggap ini bisa diatasi,” katanya.

 

*****

Foto utama: Banjir parah di Kalsel, melanda setidaknya 11 kabupaten dan kota pada Januari 2021. Foto: BNPB

Exit mobile version