Mongabay.co.id

Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka

 

 

Pulau Bangka di Kepulauan Bangka Belitung, yang luasnya 1,191 juta hektar, merupakan pulau besar penghubung Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan bersama sejumlah perairan penting di Nusantara. Sejak ratusan tahun lalu, Pulau Bangka memiliki peranan dalam jalur kemaritiman Nusantara dan dunia. Salah satu penunjang peranan tersebut adalah keberadaan hutan mangrove yang mengelilingi Pulau Bangka. Bagaimana kondisinya saat ini?

Jessix Amundian, Direktur Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Bangka Belitung mengatakan, percaya jika sejak ratusan tahun lalu Pulau Bangka sudah dikunjungi banyak suku bangsa di dunia. Pulau Bangka juga memiliki sejumlah pelabuhan, khususnya di sepanjang Selat Bangka. “Ini dikarenakan keberadaan hutan mangrove yang menjadi sumber sandang seperti menjadi bahan baku kapal dan pelabuhan, serta sebagai sumber pangan dan obat-obatan.”

Keberadaan mangrove juga didukung kekayaan alam lainnya, seperti timah dan rempah-rempah, “Tidak heran Bangka menjadi rebutan banyak kekuatan di Nusantara dan dunia. Misalnya yang yang dilakukan Kedatuan Sriwijaya dengan menguasai bandar Kota Kapur,” kata Jessix, akhir Januari 2021.

Terkait peranan mangrove dalam peradaban bangsa di Nusantara pernah diungkapkan Ary Prihardhyanto Keim, Etnobiolog dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, kepada Mongabay Indonesia.

Baca: Bakau dan Rempah Pernah Jayakan Nusantara, Mampukah Kita Mengulangnya?

 

Kawasan hutan mangrove di Dusun Tanah Merah, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung, yang berubah menjadi pantai pasir akibat aktivitas penambangan TI. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Ary menceritakan bangsa Austronesia berasal dari Asia Tengah, Denovisian, menuju ke anak benua Sundaland sekitar 25 ribu tahun sebelum masehi [SM]. Leluhur Austronesia ini terpisah dengan saudaranya Mongoloid Utara pada masa yang sama.

Di Sundaland, yang terdapat banyak pulau, bangsa Austronesia beradaptasi dengan alam, terutama dengan mangrove [bakau]. “Sejumlah jenis bakau yang dimanfaatkan bangsa Austronesia, mulai dari bangunan, kapal, makanan serta obat-obatan,” tuturnya.

Selain itu, bangsa Austronesia juga menemukan berbagai tanaman yang memiliki manfaat bagi manusia yakni rempah-rempah, seperti cengkih dan kayu manis.

Kapal, makanan, dan obat dari bakau, serta produk rempah-rempah dari daratan ini mendorong bangsa Austronesia menjelajah ke berbagai wilayah di dunia. Baik Afrika, Timur Tengah, India dan Tiongkok.

Di masa masehi, peradaban amfibi diteruskan tiga kedatuan [kerajaan] yang sukses di Nusantara, yakni Medang, Sriwijaya, dan Majapahit. Selanjutnya, jalur maritim rempah-rempah dan hasil bumi lainnya, dimanfaatkan pedagang muslim Arab, lalu diteruskan Belanda, yang terbilang sukses.

Bambang Budi Utomo, arkeolog lahan basah, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [29/1/2021] memperkirakan Kota Kapur dulunya sebuah bandar besar yang berada di sebuah teluk. Bandar ini berhadapan dengan bandar di Teluk Cengal yang berada di seberangnya di Pulau Sumatera.

“Sebelum ditaklukkan Sriwijaya, Pulau Bangka, khususnya di Pesisir Barat-nya merupakan kawasan yang sudah didiami berbagai suku bangsa. Selain pelabuhan, saat itu juga sudah dilakukan penambangan timah secara tradisional,” kata arkeolog yang akrab dipanggil Tomi ini.

Baca: 7 Fakta Penting Mangrove yang Harus Anda Ketahui

 

Mangrove di Dusun Tanah Merah, Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung, yang mengalami kerusakan karena aktivitas penambangan timah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Empat ancaman

Selama 20 tahun terakhir, Kepulauan Bangka Belitung kehilangan hutan mangrove sekitar 240.467,98 hektar atau tersisa 33.224,83 hektar.

Dijelaskan Jessix, angka ini berdasarkan perbandingan data penelitian tahun 2016 yang dilakukan Ricca Affressia, Erny Poedjirahajoe, Soewarno Hasan Bahri dari Fakultas Kehutanan UGM [2017] yang berjudul “Karakteristik Habitat Mangrove di Sekitar Pertambangan Timah Lepas Pantai Kabupaten Selatan” dengan data yang disampaikan Dinas Kehutanan Kepulauan Bangka-Belitung.

Dalam penelitian itu dijelaskan, luas mangrove di Kepulauan Bangka-Belitung 273.692,81 hektar. Luasanan ini tersebar di Kabupaten Bangka [38.957,14 hektar], Kabupaten Bangka Barat [48.529,43 hektar], Bangka Selatan [58.165,04 hektar], Bangka Tengah [19.150,86 hektar], Belitung [65.658,06 hektar], dan Belitung Timur [43.232,28 hektar].

Dari laporan yang sama, pada 2016 didapatkan data jika dari luasan mangrove tersebut, sekitar 204.467,98 hektar mengalami kerusakan. Sekitar 117.229,29 hektar rusak berat, dan seluas 87.238,69 hektar rusak sedang.

Baca: Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?

 

Tutupan hutan mangrove seluas 1.200 hektar di Desa Labuh Air Pandan di Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Ini merupakan hutan mangrove terjaga di Pesisir Barat Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dinas Kehutanan Kepulauan Bangka Belitung pada Juli 2020, menyebutkan dari luasan mangrove yang tersisa tersebut mengalami kerusakan sekitar 36 ribu hektar. “Jadi selama 20 tahun, mangrove yang menjayakan dan melahirkan peradaban besar di Bangka Belitung rusak,” kata Jessix.

Dia memperkirakan, kerusakan tersebut lebih banyak terjadi di Pulau Bangka yang dulunya memiliki luas mangrove sekitar 164.802,47 hektar. Kondisi mangrove di Pulau Belitung seluas 108.890,34 hektar kondisinya jauh lebih baik dibandingkan Pulau Bangka.

Apakah kerusakan mangrove tersebut karena aktivitas penambangan timah?

“Tidak hanya disebabkan penambangan timah,” katanya.

Ada empat ancaman. “Penambangan timah liar atau tambang inkonvensional [TI], pertambakan udang skala besar, perkebunan monokultur skala besar, dan pembangunan infrastruktur.”

Wahyu Adi, peneliti wilayah pesisir dari Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [19/1/ 2021], membenarkan kerusakan baru mangrove [2020] seluas 36 ribu hektar. “Mangrove yang mengalami kerusakan ini umumnya berada di kawasan Pesisir Timur Pulau Bangka,” katanya.

Kerusakan ini, kata Adi, bukan hanya disebabkan penambangan timah, tapi juga tambak udang dan infrastruktur seperti pelabuhan.

Baca juga: Bukan Hanya Jembatan Bangka-Sumatera, Ada Juga Rencana Pembangunan PLTN di Sebagin

 

Hamparan pohon perepat di kawasan hutan mangrove di Pesisir Barat Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berapa luas tambang timah yang sudah diekspolitasi di Kepulauan Bangka Belitung?

Jessix menjelaskan, Walhi Bangka Belitung belum mendapatkan data pasti mengenai luasan daratan dan laut yang sudah ditambang timah. Namun, mengutip Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM], dinyatakan bahwa sekitar 700 IUP [Izin Usaha Pertambangan] yang beroperasi setelah CnC [Clean and Clear] oleh Korsup KPK.

Pertambakan udang yang menggunakan wilayah pesisir [mangrove] saat ini mulai marak di Bangka Belitung. Udang yang ditambak umumnya udang vaname. “Kami belum mendapatkan data pasti, yang rusak maupun masih bagus, tapi pertambakan udang ini jelas menjadi ancaman kerusakan atau upaya restorasi mangrove.”

Bahkan, lanjut Jessix, kawasan mangrove yang juga kawasan hutan lindung, yang sudah rusak, justru direncanakan akan diubah menjadi tambak udang. Bukan sebaliknya, dipulihkan atau direstorasi.

Rencana tersebut sempat disampaikan Abdul Fatah, Wakil Gubernur Kepulauan Bangka Belitung. “Upaya itu hanya menyelesaikan persoalan jangka pendek [ekonomi], sebab Kepulauan Bangka Belitung sangat membutuhkan mangrove yang gunanya mengatasi atau mencegah munculnya berbagai persoalan ekologi yang secara ekonomi kerugiannya jauh lebih besar. Misalnya bencana alam, wabah penyakit, konflik sosial dan budaya di masyarakat,” kata Jessix.

 

Masyarakat yang menetap di desa sekitar daerah aliran sungai di Pesisir Barat Pulau Bangka, sangat bergantung dengan sungai dan mangrove. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI No.833/KPTS/SR.020/M/12/2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Indonesia tahun 2019, luas perkebunan sawit di Kepulauan Bangka Belitung seluas 273.842 hektar. Aktivitas ini secara tidak langsung juga memengaruhi kawasan mangrove. Sebab, sebagian perkebunan sawit berada di belakang mangrove.

Terakhir, terkait pembangunan infrastruktur di Bangka Belitung, seperti pelabuhan dan jembatan. Setelah Pelabuhan Pangkalanbalam Pangkalpinang, Tanjungkalian Muntok, Tanjung Gudang Belinyu, juga dibangun baru yakni Pelabuhan Sadai di Kabupaten Bangka Selatan pada 2011.

Selain itu pemerintah Kabupaten Bangka-Belitung juga berencana membangun 20 pelabuhan perikanan pada 2021. Pelabuhan international juga direncanakan dibangun di Pantai Gusung, Kabupaten Bangka Selatan. Sementara pembangunan Jembatan Bahtera Sriwijaya saat ini sudah dalam tahap pembangunan lokasi jembatan di Desa Sebagin, Kabupaten Bangka Selatan.

 

Di masa pandemi, anak-anak yang seharusnya belajar di rumah sebagian justru membantu orangtuanya menambang timah. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

DAS juga rusak

Dari empat ancaman tersebut, kerusakan bukan hanya dialami mangrove, juga kawasan DAS [Daerah Aliran Sungai] di Kepulauan Bangka-Belitung. Kepulauan Bangka Belitung memiliki 271 sungai, baik besar maupun kecil. Sebanyak 159 sungai mengalami kerusakan sehingga butuh diperbaiki.

Hutan di Kepulauan Bangka Belitung juga mengalami kerusakan. Menurut Erzaldi H Rosman Djohan, Gubernur Bangka Belitung, pada 2017 lalu, dari 657.510 hektar luasan hutan di Bangka-Belitung, sekitar 55 persen mengalami kerusakan atau kondisinya kritis.

Kerusakan DAS ini menimbulkan bencana banjir 10 tahun terakhir. Wilayah yang menjadi langganan banjir yakni Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Barat dan Kabupaten Belitung Timur.

Di awal 2021, bencana banjir sudah terjadi di Bangka Belitung. Pertengahan Januari 2021, ribuan rumah warga di Kabupaten Bangka, terendam air. Ribuan rumah itu di Parit Pekir, Air Anyut, Lingkungan Nelayan, dan Lingkungan Sidodadi.

 

Tampak DAS Menduk, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, yang mulai terbuka sebagai perkebunan sawit. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menenggelamkan Bangka

Dari berbagai masalah yang merusak dan mengancam mangrove dan DAS di Bangka Belitung, kata Jessix, yang paling terancam adalah Pulau Bangka. “Mungkin sebagian Pulau Bangka terancam tenggelam atau terendam, baik secara harfiah maupun peradaban manusianya.”

Logika tenggelam atau terendam sebagian, ketika air laut naik dan masuk ke Pulau Bangka, baik karena naiknya permukaan air laut [dampak perubahan iklim global] dan tidak adanya mangrove, disertai hujan deras tanpa ada lagi penampungnya [DAS].

“Saat itu, Pulau Bangka menjadi pertemuan air laut dan hujan. Saya percaya sebagian besar wilayah akan menjadi lautan. Jika itu terjadi, peradaban manusia di Bangka juga hilang,” katanya.

Terkait hilangnya peradaban di Bangka, juga tetap akan terjadi meskipun Pulau Bangka tidak “tenggelam”. Sebab hilang atau rusaknya DAS dan mangrove menyebabkan tersingkirnya ratusan ribu jiwa masyarakat, yang selama berabad hidup harmonis dengan alam. “Khususnya mangrove, sungai, dan hutan.”

 

 

 

Selamatkan Pesisir Barat Pulau Bangka

Apa yang harus dilakukan? Jessix berharap, saat ini pemerintah dan masyarakat selain melakukan perbaikan mangrove dan DAS di wilayah Pesisir Timur Pulau Bangka, juga mempertahankan dan menjaga kelestarian DAS dan mangrove di Pesisir Barat Bangka yang relatif masih baik.

“Artinya, kita tidak hanya memikirkan bagaimana memperbaiki Pesisir Timur Bangka yang sebagian besar sudah rusak. Kita juga harus menjaga Pesisir Barat Bangka.”

DAS di Pesisir Barat yakni DAS Menduk, DAS Kotawaringin, dan DAS Selan yang kondisinya juga masih baik. Masyarakat masih menjadikan tiga DAS tersebut sebagai sumber air bersih, pangan, dan transportasi.

Ada 55.080 jiwa warga hidup di 29 desa di Pesisir Barat, yang sangat bergantung dengan tiga DAS tersebut yakni Desa Kota Kapur, Labuh Air Pandan, Mendo, Paya Benua, Penagan, Rukam, Petaling [DAS Menduk]. Kemudian Desa Kotawaringin, Labu, Puding Besar, Saing, Nibung, Tanah Bawah dan Kayu Besi [DAS Kotawaringin]. Selanjutnya Desa Sungai Selan, Sungai Selan Atas, Bangka Kota, Pangkalraya, Romadhon, Lampur, Kerantai, Keretak, Sarangmandi, Munggu, Kemingking, Melabun, Kereta Atas, Kerakas, dan Tanjungpura [DAS Selan].

Pesisir Barat Bangka juga merupakan wilayah bersejarah peradaban kemaritiman di Nusantara. Pelabuhan dan permukiman tua di masa sebelum atau sesudah Kedatuan Sriwijaya, seperti Kota Kapur, berada di Pesisir Barat Bangka.

Sistem nilai yang tumbuh di masyarakat masih mencerminkan kearifan dengan lingkungan atau alam. Namun, saat ini ada sejumlah ancaman besar ada di Pesisir Barat Bangka. Selain penambangan timah dan perkebunan monokultur skala besar, yang telah mengubah hutan dan menimbulkan konflik dengan masyarakat di Bangka, juga rencana pembangunan Jembatan Bahtera Sriwijaya.

“Pembangunan jembatan tersebut bukan hanya mengubah mangrove di lokasi jembatan, juga memungkinkan hilangnya mangrove dan hutan lainnya sebagai respon pembangunan jembatan tersebut. Sebut saja, jalan darat, pergudangan, pabrik, atau permukiman baru setelah jembatan tersebut dibangun,” kata Jessix.

“Jika Pesisir Barat Bangka juga mengalami kerusakan, maka bencana tenggelamnya Pulau Bangka itu sangat mungkin terjadi,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version