Mongabay.co.id

Penampakan Udang Purba yang Bertahan di Gelapnya Gua

 

 

Jika Anda berkesempatan mengunjungi sebuah gua, cobalah untuk lebih cermat mengawasi kolam-kolam kecil di lantai yang terbentuk dari tetesan air dari atapnya [air perkolasi]. Siapa tahu, Anda dapat menemukan spesies udang purba [Stenasellus sp], yang telah mengalami proses adaptasi ekstrim selama jutaan tahun. Seperti apa?

Biota akuatik dari kelompok isopoda ini, mempunyai nenek moyang yang hingga saat ini masih hidup di perairan asin, seperti di wilayah Asia Barat hingga Eropa.

“Tetapi, khusus di Indonesia belum pernah ditemukan di luar gua, spesies ini hanya ada di air perkolasi yang benar-benar tawar. Hal ini sangat menarik, karena aslinya, Stenasellus sp merupakan biota laut,” terang Cahyo Rahmadi, Peneliti Zoologi LIPI, dalam Bincang Alam Mongabay Indonesia, Jum’at [05/2/2020], bertajuk Penemuan Udang Purba Melalui Susur Gua.

Menurut Cahyo, Stenasellus sp di Indonesia selama ini mempunyai habitat di karst yang memiliki gua. Kawasan karst merupakan terumbu karang yang terangkat ke permukaan dan telah melalui proses geologi selama jutaan tahun.

“Jadi, kemungkinan besar usia Stenasellus sp kurang lebih sama dengan usia batuan di karst tersebut. Wajar saja, jenis ini dikatakan sebagai spesies purba,” lanjutnya.

Baca: Gunung Guha: Habitat Udang Purba, Wisata Alam dan Ancaman Eksploitasi Karst

 

Stenasellus javanicus mempunyai organ perasa seperti antena, tidak memiliki mata, serta pigmen tubuh mencolok dengan warna merah jambu. Kondisi ini mengindikasikan tingkat adaptasi tinggi di lingkungan gua. Foto: Indonesian Speleological Society [ISS]

 

Cahyo merupakan orang yang pertama menemukan spesies udang purba di Jawa Barat, tepatnya di Karst Klapanunggal Bogor [Gua Cikarae], yang kemudian dinamakan Stenasellus javanicus, bersama tim susur gua Lawalata IPB pada 2004. Setelah itu, ditemukan juga di kawasan Karst Ciampea [Bogor], Karst Bojanglopang [Sukabumi], tepatnya di Gua Buni Ayu, Gua Ta’l, Gunung Walat serta Gunung Cibodas, dan di Tasikmalaya, tepatnya di Gua Sarongge Jompong.

Khusus di Karst Klapanunggal ditemukan di ketinggian 200-300 meter di atas permukaan laut [mdpl]. Sementara, yang paling tinggi ada di Karst Bojanglopang, pada 700 mdpl.

“Dari perbedaan ketinggian ini, artinya di setiap lokasi mempunyai usia, formasi batuan dan sejarah geologi yang berbeda pula. Dengan begitu, jenis serta proses evolusi Stenasellus sp di setiap lokasi di Indonesia, kemungkinan besar berbeda. Ini jadi peluang untuk penelitian lanjutan,” katanya.

Baca: Gua-Gua Alam Gunung Bongkok, Surga Tersembunyi di Pegunungan Halimun

 

Stenasellus javanicus yang ditemukan di Gua Cikarae. Udang purba ini masuk kelompok Isopoda. Foto: Indonesian Speleological Society [ISS]

 

Peran ekologi, perilaku dan populasi

Dikutip dari laman caves.or.id, ekosistem gua sangat sensitif dan memiliki kerentanan tinggi. Ekosistem ini bergantung pada ekosistem di permukaanya, dengan kata lain permukaan gua harus tetap terjaga.

Selanjutnya, ekosistem gua juga sangat ekstrim, karena lingkungannya gelap total tanpa sinar matahari, serta minim makanan. Hal ini menyebabkan hanya beberapa spesies yang mampu hidup, sehingga unik dan langka dengan tingkat endemintas yang tinggi.

“Seperti Stenasellus, yang mempunyai organ perasa seperti antena, tidak memiliki mata, serta pigmen tubuh mencolok dengan warna merah jambu. Ini mengindikasikan tingkat adaptasi tinggi di lingkungan gua,” kata Cahyo yang juga tergabung dalam Indonesian Speleological Society [ISS].

Bersama tim ISS, mahasiswa dan instansi peminat lingkungan lainnya, Cahyo juga melakukan pemantauan selama satu tahun di Gua Cikarae untuk mengamati perilaku serta interaksi Stenasellus sp, pada 2018 lalu.

Hasilnya, dari segi populasi, jumlah Stenasellus sp yang ditemukan, di setiap kolam hanya berkisar di angka 5 hingga 7 individu. Bahkan, lebih sedikit di sejumlah titik lainnya. “Sedangkan dalam satu tahun pengamatan, jumlah totalnya tidak pernah melebihi 60 individu.”

Baca: Karst dan Gua-Gua Alam: Sisi Lain Kekayaan Kepulauan Aru yang Perlu Diketahui

 

Stenasellus sp. yang habitatnya di kolam-kolam kecil di lantai gua. Foto: Indonesian Speleological Society [ISS]

 

Stenasellus sp agak sulit ditemukan ketika musim kemarau, cenderung menyebar saat penghujan tiba.

“Hipotesis saya, ketika kemarau Stenasellus sp masuk ke substrat-substrat lumpur di lantai atau celah-celah kecil gua. Sedangkan saat musim penghujan, jumlah mereka kembali seperti semula dan menyebar, karena banyaknya kolam-kolam kecil yang terisi air. Jenis ini memakan protozoa, atau bakteri di dasar kolam tempat mereka hidup,” jelasnya.

Apa peran Stenasellus sp dalam ekosistem? Cahyo mengatakan belum terlalu jauh melakukan penelitian.

“Habitat mereka di air sangat bersih atau terbebas dari pencemaran. Bisa dikatakan, spesies ini menjadi indikator baik buruknya kualitas air.”

Baca juga: Wisata Susur Gua dan Aspek Konservasi yang Harus Diperhatikan

 

Kegiatan susur gua harus teliti dan hati-hati karena ekosistem gua yang sangat sensitif. Foto: Indonesian Speleological Society [ISS]

 

Hunian purba dan Ancaman

Di luar Jawa, Stenasellus sp juga ditemukan di Kalimantan, seperti di Pegunungan Muller, tepatnya di Tumbang Topus, dan Sumatera, seperti di Karst Lhoknga [pesisir barat Aceh Besar], Karst Ngalau Indah [Payakumbuh/Sumatera Barat], Karst Bukit Bulan atau Gua Mesiu [Sarolangun/Jambi], dan di Gua Putri [Padang Bindu/Sumatera Selatan].

“Sejauh ini, Stenasellus sp hanya ditemukan di wilayah Indonesia bagian barat. Seperti di Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Sumatera. Kemungkinan spesies ini memang tersebar di daratan Sundaland, karena antar-wilayah temuan mempunyai sejarah geologi yang hampir sama,” kata lanjut Cahyo.

Sementara itu, sejumlah gua seperti Gua Mesiu dan Gua Putri yang masuk dalam lanskap bukit barisan juga terhubung dengan jejak hunian manusia prasejarah di masa lalu.

 

Kegiatan monitoring Stenasellus Project yang dilakukan Indonesian Speleological Society di Gua Cikarae. Foto: Indonesian Speleological Society [ISS]

 

Penelitian Dhanang Puspita, Andy S. Wibowo dan Mohammad Ruly Fauzi berjudul “Eksistensi Stenasellus SP. Pada Gua Hunian Prasejarah di Kawasan Kars Bukit Bulan, Sarolangun, Jambi” tahun 2019 menjelaskan, habitat Stenasellus sp. menunjukkan karakteristik lingkungan yang bertolak belakang dengan lokasi aktivitas hunian manusia, di gua-gua prasejarah pada umumnya.

“Karakteristik habitat Stenasellus sp pada temperatur relatif stabil [sepanjang tahun], lembab, dan gelap. Sementara itu, deposit antropogenik yang merupakan sisa-sisa aktivitas manusia prasejarah seperti artefak dan ekofak hanya ditemukan pada Zona Terang,” tulis laporan itu.

Dengan kata lain, aktivitas manusia prasejarah di gua-gua hunian purba sama sekali tidak mengakses lingkungan atau habitat Stenasellus sp. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab bertahannya eksistensi Stenasellus sp. hingga hari ini.

Namun, kondisi kekinian ekosistem gua di Indonesia yang semakin sering diakses manusia, baik untuk wisata, maupun susur gua, menjadi ancaman serius bagi populasi Stensellus sp.

“Karena Stenasellus sp. tinggalnya di lantai gua serta ukuran yang hanya sekitar satu milimeter, jika tidak hati-hati, sangat mungkin terinjak wisatawan atau manusia yang memasuki gua. Selain itu, kegiatan pariwisata di gua, juga dapat memicu penumpukan sampah jika tidak dikelola dengan baik,” kata Cahyo.

 

 

Ancaman lain, menurut dia, berkurangnya tutupan hutan di sekitar ekosistem karst atau gua. Selanjutnya, polusi air yang salah satunya disebabkan aktivitas manusia di sekitar gua atau sanitasi yang kurang baik.

Cahyo berharap, dengan ditemukannya spesies ini, dapat menjadi pemicu para scientist di Indonesia untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait ekosistem gua-gua di Indonesia.

“Saya yakin, masih banyak hal-hal baru yang dapat ditemukan. Paling penting adalah membangun kesadaran kita bersama, untuk melindungi dan melestarikan kawasan karst Indonesia,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version