Mongabay.co.id

Bencana Alam, Destruksi Iklim dan Badan Pengelola Dana Kebencanaan (BPDK)

Sedari awal banyak pihak selalu menekankan pentingnya perhatian pemerintah terhadap tingginya frekuensi bencana yang melanda Indonesia. Terlebih ketika di awal 2020 ini seluruh dunia sedang dilanda bencana pandemi COVID-19, suatu jenis bencana baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Dari berbagai jenis bencana tersebut, pada intinya diupayakan supaya terjadi transisi pendanaan untuk penanganan bencana yang lebih mengutamakan sumber-sumber pendanaan non-publik berbasis pasar. Jangan sampai mekanisme yang digunakan hanya identik pendanaan dari APBN semata.

Karenanya, peran seluruh pemangku kepentingan lainnya baik LSM, private, bisnis dan masyarakat perlu didorong seoptimal mungkin. Dan hal ini sejatinya yang menjadi cermin berlakunya era masyarakat madani. Urgensi perlunya kerjasama dengan seluruh pemangku kepentingan didasari oleh besarnya biaya yang ditimbulkan oleh masing-masing bencana.

baca : Ratusan Bencana di Awal Tahun Penanda Krisis Lingkungan Hidup

 

Seorang bocah menggunakan masker kain ditengah mewabahnya pandemi Covid-19. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Dalam kurun waktu 2019 sendiri, merujuk kepada hasil rilis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kejadian bencana mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Peristiwa bencana mengalami periode puncak di tahun 2017 sebanyak 2.869 kejadian, disusul tahun 2018 sebanyak 2.573 kejadian.

Meski intensitasnya turun, namun biaya yang ditimbulkan justru mengalami kenaikan yang signifikan. Dari proyeksi dampak secara detail, biaya penggantian kerusakan saluran irigasi menjadi yang paling mendominasi hingga Rp860 miliar, disusul biaya relokasi mencapai Rp416 miliar, biaya kerusakan rumah Rp109 miliar, rusaknya pertanian Rp78 miliar, kerusakan jalan Rp62 miliar dan jembatan Rp23 miliar.

Dalam skala yang lebih massif, bencana gempa bumi dan tsunami di Provinsi Aceh serta di Pulau Nias di tahun 2005, menimbulkan kerugian tak kurang dari Rp42 triliun. Kerugian yang hampir sama juga terjadi pada waktu gempa bumi Provinsi DIY tahun 2006 dengan taksiran hingga Rp35 triliun. Selanjutnya rentetan bencana yang terjadi berikutnya hingga terakhir gempa bumi NTB serta tsunami di Palu, Sigi dan Donggala.

Sedangkan bencana banjir yang melanda Jabodetabek tanggal 1 Januari 2020, menimbulkan dampak kerusakan yang tak kalah serius. Menurut hitungan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), nilai kerugian mencapai Rp960 miliar hanya dari eskalasi perhitungan jumlah toko ritel yang tutup akibat banjir belum menghitung dampak lanjutannya.

Sayangnya, kerugian yang sama sepertinya hampir selalu berulang pada setiap kejadian banjir besar di ibu kota. Siklus awal banjir tahun 2002 misalnya membawa kerugian hingga Rp5,4 triliun, sementara banjir yang sama di tahun 2007 menelan biaya sebesar Rp5,2 triliun. Kerusakan yang lebih signifikan hingga mencapai Rp7,5 triliun terjadi periode banjir tahun 2013, sehingga total kerugian yang dihasilkan pada tiga periode banjir tersebut mencapai Rp18,1 triliun.

baca juga : Presiden Jokowi Tekankan Pencegahan Bencana secara Menyeluruh

 

Selain intensitas curah hujan yang tinggi. Pasangnya air laut juga menjadi pemicu terjadinya banjir di Gresik. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Destruksi Iklim

Makin seringnya frekuensi bencana menghampiri plus ragam jenis wabah yang ditengarai akan menyusul pandemi wabah COVID-19 saat ini, sekiranya sudah menjadi bukti valid destruksi iklim yang terjadi. Terlebih ketika beberapa waktu lalu, Economist Intelligence Unit (EIU) baru saja merilis Indeks Ketahanan Perubahan Iklim (Climate Change Resilience Index) global.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa perubahan iklim di seluruh dunia secara langsung dapat menelan biaya ekonomi hingga US$7,9 triliun per 2050. Hal ini disebabkan adanya konektivitas ragam bencana yang dihasilkan baik kekeringan, banjir, gagal panen serta jenis lainnya.

Dimensi kebencanaan inilah yang dikhawatirkan akan membawa dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan infrastruktur di seluruh dunia. Indeks juga menyebutkan bahwa berdasarkan tren yang ada saat ini, potensi pemanasan global dapat menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) di setiap negara hingga kisaran 3% pada periode 2050.

Meski demikian, dampak akan semakin besar di negara berkembang dimana Benua Afrika akan mengalami penurunan PDB terbesar mencapai 4,7%. Angola diperkirakan menjadi yang paling rentan sekitar 6,1% PDB-nya akan tergerus, disusul Nigeria sebesar 5,9% PDB, Mesir mencapai 5,5% PDB, Bangladesh sekitar 5,4% PDB serta Venezuela mencapai 5,1% PDB.

Karenanya dibutuhkan aksi nyata saat ini dan juga nanti sebagai bentuk upaya mengurangi potensi dampak yang dihasilkan. Kegiatan nyata pun tidak akan cukup jika dikerjakan dengan pola bussiness as usual (BAU). Dibutuhkan adanya ekstra effort yang akan membawa laju percepatan terhadap pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

perlu dibaca : Skeptis Terhadap Perubahan Iklim tapi Akrab Bencana, Apa Persiapan Kita?

 

Foto udara kali Ciliwung yang meluap di seputar Jakarta Pusat Rabu (1/1/2020). Foto : BNPB/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, lebih dari 11 ribu ilmuwan di 156 negara dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, juga sepakat menyebutkan bahwa dunia sedang darurat iklim. Mereka juga mengamati berbagai potensi dampak buruk yang ditimbulkan apabila manusia tidak mengubah pola perilakunya.

Jika dirunut, hal tersebut bukan yang pertama kalinya karena sebelumnya tahun 2017, sekitar 16 ribu ilmuwan dari 184 negara turut serta dalam sebuah publikasi yang meyakini bahwa manusia dan alam berada di jalur yang tak tepat.

Laporan terbaru oleh BioScience, jurnal ilmiah peer-review menguatkan pernyataan itu. Dalam rekomendasinya, para ilmuwan yang berasal lebih dari 150 negara, mengatakan krisis iklim “terkait erat dengan konsumsi berlebihan gaya hidup orang kaya”.

 

Badan Pengelola Dana Kebencanaan

Adanya fakta besarnya kebutuhan pendanaan bencana oleh APBN/APBD, menjadi lebih memprihatinkan ketika ditemukan operasi tangkap tangan (OTT) beberapa pejabat publik terkait pengelolaan dana itu. Karenanya, menjadi sangat penting untuk mulai memikirkan opsi skema asuransi kebencanaan di tanah air demi mendukung optimalisasi penanganan bencana.

Dalam dokumen APBN 2019 sendiri, pemerintah juga sudah membuka wacana untuk lebih mengoptimalkan potensi sumber pendanaan bencana non-APBN. Beberapa langkah awal sudah ditempuh misalnya uji coba skema asuransi barang milik negara (BMN), sembari secara pararel melakukan pengembangan kerangka pendanaan risiko bencana, skema transfer risiko sekaligus pembentukan mekanisme pendanaan khusus penanggulangan bencana alam di APBN.

baca juga :  Pentingnya Menjadi Bangsa yang Melek Mitigasi Bencana

 

Warga yang mengungsi pasca longsor di Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (11/1/2021). Tim SAR gabungan TNI Polri masih akan mencari sedikitnya 26 korban hilang yang telah terdata akibat bencana tanah longsor yang terjadi pada Sabtu (9/1) lalu hingga tujuh hari kedepan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay

 

Nilai pertanggungan asuransi beberapa BMN sangat bervariasi tergantung hasil valuasi dan tingkat risiko lokasi. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Cibitung misalnya tercatat memiliki nilai asuransi sekitar Rp8,4 miliar, sementara KPP Cibinong sebesar Rp6,3 miliar. Untuk KPP Bekasi Utara mencapai Rp1,5 miliar dan KPP Bekasi Selatan sebesar Rp24,9 miliar. Balai Laboratorium Bea dan Cukai Tipe A di Jakarta memiliki angka sebesar Rp9,5 miliar.

Di tahun 2021 ini, beberapa aset BMN lainnya rencananya akan segera akan menyusul dilakukan skema perikatan asuransi kebencanaan. Secara umum, rencana tersebut meliputi aset di sembilan Kementerian/Lembaga (K/L) seperti Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Informasi dan Geospasial (BIG), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Perluasan kepesertaan akan meningkat menjadi 20 K/L di 2021, 40 K/L pada 2022 hingga akhirnya seluruh K/L akan terjangkau skema asuransi kebencanaan di tahun 2023.

Selain asuransi, bentuk pengelolaan dana khusus penanggulangan bencana alam di dalam APBN secara teori dapat diwujudkan dalam banyak skema. Ada skema on call fund, ada juga pembentukan dana kontijensi. Dari kesemua usulan, penulis justru tertarik melalui pembentukan Badan Pengelola Dana Kebencanaan (BPDK). Sebagai bentuk lain dari Badan Layanan Umum (BLU) yang dapat diciptakan pemerintah, BPDK ini nantinya mampu menghimpun dana pengelolaan bencana baik yang berasal dari APBN/APBD, swasta serta dana-dana internasional apapun jenisnya.

Dana yang dihimpun kemudian wajib dipupuk dan dikelola untuk seluruh kegiatan yang terkait dengan penanggulangan bencana, mulai dari hulu sampai hilir, apakah kegiatan mitigasi maupun pasca terjadinya bencana, plus pengadaan berbagai alat peringatan dini bencana yang kerap lalai pada tahapan pengadaan barang dan jasa.

Dari sisi sumber daya manusia (SDM), BPDK ini nantinya dapat memasukkan unsur-unsur pegawai profesional dengan standar gaji yang competitive dan memuaskan, selain tetap memasukkan keterwakilan pemerintah di dalamnya. Dengan demikian, aspek profesionalitas kerja dan berorientasi kepada kinerja output menjadi hal yang utama.

 

Pemukiman yang rata pasca tsunami di wilayah penggaraman Pantai Talise, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu, pada Sabtu (29/9/18). Foto : Rosmini Rivai/Mongabay Indonesia

 

Dengan keberadaan BPDK ini, ke depannya pemerintah seharusnya lebih mampu mengelola dana kebencanaan secara lebih optimal, sekaligus menyelenggarakan layanan manajemen bencana secara lebih tanggap dan antisipasif untuk berbagai jenis bencana.

Ketika bangsa lebih tanggap dan antisipasif, maka dampak kerugian yang ditimbulkan juga akan lebih terminimalkan. Dengan latar belakang kondisi geografis yang berada di ring of fire serta berada dalam iklim tropis yang kaya nutrisi, keberadaan BPDK sekiranya keniscayaan, cepat atau lambat akan segera terwujud di Indonesia. Semoga !!!!

 

*Joko Tri Haryanto, Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI. Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

 

Exit mobile version