Mongabay.co.id

Ironi Negara Penyumbang Tenaga Kerja Perikanan Terbesar di Dunia

 

Indonesia adalah negara pemasok terbesar ketiga di dunia untuk tenaga kerja perikanan. Status itu ditasbihkan, karena Indonesia memiliki 1,2 juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja sebagai pelaut dan awak kapal perikanan (AKP) pada kapal perikanan maupun kapal niaga.

Data tersebut diterbitkan Kementerian Perhubungan RI dan diperbarui pada 8 Februari 2020. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang mengutip data tersebut, menyebutkan sedang berusaha dengan keras untuk memberikan perlindungan penuh kepada seluruh AKP.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Basilio Dias Araujo belum lama ini mengatakan bahwa Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengklaim Indonesia sebagai negara penyuplai pekerja perikanan terbanyak di negeri sendiri.

“Kami memberikan perhatian khusus bagi pekerja di sektor maritim,” ucap dia.

Pernyataan tersebut diungkapkan Basilio, karena dia melihat saat ini kondisinya sangat ironis bagi Indonesia. Meski menjadi penyumbang terbanyak ketiga di dunia untuk tenaga kerja perikanan, namun jumlah kasus eksploitasi, penelantaran atau pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih sangat tinggi.

Dia menyebutkan, sepanjang 2017 hingga 2020 saja, sudah tercatat ada sebanyak 5.371 kasus penelantaran dan eksploitasi yang dialami para pelaut dan AKP. Kondisi tersebut semakin parah, karena hingga sekarang regulasi nasional masih belum mengacu pada regulasi internasional.

baca : Cita-cita Perlindungan Awak Kapal Perikanan Semakin Mendekati Kenyataan

 

Sebanyak 157 awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia, termasuk dua jenazah yang berhasil dipulangkan oleh Pemerintah Indonesia dari Republik Rakyat Tiongkok pada November 2020. Foto : Hubla Kemhub

 

Selain itu, regulasi nasional yang berlaku sekarang, ada di antaranya yang belum melakukan ratifikasi mengikuti konvensi-konvensi internasional. Padahal, dengan melakukan ratifikasi, maka perlindungan penuh kepada pelaut dan AKP bisa dilakukan oleh Negara.

Adapun, ratifikasi yang sudah dilakukan Indonesia adalah untuk Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga bagi Awak Kapal Penangkap Ikan pada 1995. Penegesahan hasil konvensi tersebut diterbitkan melalui Peraturan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2019.

Kedua, adalah peraturan yang disepakati melalui konvensi perjanjian negara-negara pelabuhan untuk tindakan kepelabuhan (PSMA) dan diratifikasi pada 2016. Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia semakin kuat untuk bisa mengawasai pelabuhan dalam mencegah berbagai aktivitas negatif.

Secara resmi, ratifikasi tersebut disahkan Perpres RI 43/2016 tentang Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (Persetujuan tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur).

baca juga : Kisah Para AKP yang Masih Terjebak di Kapal Perikanan Tiongkok

 

Ilustrasi. Para nelayan pada Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan Desa Pemana, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, NTT yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ratifikasi

Selain peraturan internasional tersebut, Indonesia sampai sekarang masih belum melakukan ratifikasi untuk peraturan yang lain. Tepatnya, untuk norma perlindungan bagi awak kapal yang dibuat ILO atau Konvensi ILO Nomor 188 (ILO C-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Norma ILO C-188 tersebut disahkan pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss.

Kemudian, ratifikasi juga perlu dilakukan pada peraturan yang disepakati secara internasional di Cape Town, Afrika Selatan pada 2012. Peraturan tersebut dikenal dengan nama Konvensi Perjanjian Cape Town (CTA) 2012 dan diinisiasi oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO).

“(Indonesia belum meratifikasi) sehingga belum memberikan perlindungan maksimal bagi illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF) dan awak kapal perikanan,” sebut Basilio.

Mengingat pentingnya untuk segera melakukan ratifikasi, Kemenko Marves terus melakukan koordinasi dengan kementerian yang ada di bawah koordinasinya, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Perhubungan RI.

Khusus untuk peraturan Konvensi ILO C-188, Basilio mengakui kalau pihaknya sudah mendorong Kementerian Ketenagakerjaan RI bersama kementerian ataupun instansi terkait lainnya untuk bisa segera melakukan ratifikasi.

Di lain pihak, tanpa adanya ratifikasi yang tuntas, maka pengiriman pekerja perikanan ke luar negeri untuk sementara didesak untuk berhenti sementara. Hal itu, karena jika terus dilakukan, maka itu melawan kebijakan luar negeri Pemerintah Indonesia.

perlu dibaca : Bagaimana Menata Kelola Pengiriman Awak Kapal Perikanan yang Tepat?

 

Ilustrasi. Nelayan menyiapkan perbekalan sebelum berangkat melaut di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan, Jatim. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Basilio menambahkan, dalam sebuah kegiatan internasional di London, Inggris, Menteri Perhubungan RI Budi Karya Sumadi sudah memberikan usulan resolusi atas nama Indonesia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam usulan tersebut, Indonesia bersedia untuk memberikan izin kepada kapal-kapal perikanan maupun niaga yang akan melaksanakan pergantian kru kapal di atas perairan Indonesia. Dengan demikian, masa kerja kru kapal tidak lebih dari 12 bulan sesuai ketentuan ILO.

Penerapan kebijakan tersebut menjadi penting bagi Indonesia, karena dari catatan PBB, sudah ada sebanyak 400 ribu AKP/pelaut yang bekerja melebihi waktu 12 bulan. Mereka yang masuk dalam catatan, dipastikan akan mengalami beragam persoalan yang tidak diinginkan.

Basilio memperkirakan, mereka yang masih tertahan di atas kapal lebih dari 12 bulan, kemungkinan besar akan mengalami stres, mengalami tindak kekerasan, dan juga hal negatif lainnya. Jika itu terus dibiarkan, maka akan berdampak buruk pada para AKP/pelaut.

“Kalau kita sering dengar, terutama di kapal-kapal ikan, banyak kejadian warga negara kita juga menjadi korban,” ungkap dia.

Bagi Basilio, usulan kepada PBB agar pergantian kru kapal segera diterapkan di Indonesia, diyakini akan memberi dampak baik, karena beragam masalah bisa dicegah dan diantisipasi. Dengan demikian, diharapkan tidak akan ada lagi permasalahan HAM dan atau lainnya yang dialami AKP/pelaut Indonesia.

“Dengan komitmen ini seharusnya Indonesia tidak boleh melakukan moratorium terhadap AKP yang akan bekerja di luar negeri,” tambah dia.

Selain bisa mencegah banyak masalah, pergantian kru kapal di Indonesia juga akan menghasilkan pendapatan negara di kisaran Rp4,9-Rp9,8 triliun. Potensi ekonomi itu muncul, dengan menghitung aktivitas pergantian di lima titik pelabuhan utama di Indonesia.

baca juga :  Eksploitasi Tenaga Kerja Perikanan yang Tak Pernah Usai

 

Ilustrasi. Nelayan di Lamongan sedang menangkap ikan. Selain ikan tongkol, jaring ini juga digunakan untuk menangkap ikan kembung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Mitigasi

Peneliti Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Muh Arifuddin pada kesempatan berbeda mengatakan, banyaknya kasus dan korban yang menimpa AKP/pelaut, menegaskan bahwa Negara harus segera melakukan perbaikan.

“Ego sektoral masih jadi masalah, tumpang tindih aturan dan minimnya pengawasan. Dalam kondisi ini Presiden Joko Widodo mesti turun tangan ikut menyelesaikan,” jelas dia.

Akibat ketiadaan tindak lanjut dari Pemerintah, setiap tahunnya Negara harus mengurusi ribuan AKP/pelaut yang mengalami masalah di luar negeri. Seharusnya, dengan kejadian yang berulang, Pemerintah bisa melaksanakan mitigasi dengan sangat baik dan detail.

Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan menambahkan, perlindungan terhadap AKP Indonesia di luar negeri memang masih harus terus ditingkatkan oleh Pemerintah Indonesia. Upaya tersebut, akan memberikan perlindungan penuh kepada mereka yang sedang mencari nafkah.

Akibat ketiadaan perlindungan yang baik, banyak AKP/pelaut yang akhirnya menjadi korban kerja paksa, HAM, dan perdagangan orang selama bekerja di atas kapal perikanan asing. Tak sedikit, di antara mereka ada yang harus berakhir dengan meregang nyawa.

baca juga : Kasus Pelarungan Mayat: Awak Kapal Perikanan Indonesia di Pusaran Praktik Perbudakan dan Kerja Paksa

 

Prosesi pelarungan di laut ABK asal Indonesia yang meninggal di salah satu kapal perikanan milik Dalian Ocean Fishing. Foto : screenshoot Youtube MBC News

 

Dia menyebutkan, sepanjang 2020 saja, ada sebanyak 22 orang AKP asal Indonesia yang meninggal dunia saat bekerja pada kapal perikanan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Selain itu, ada juga tiga orang yang dinyatakan hilang saat bekerja di kapal ikan Negeri Tirai Bambu.

“Ironisnya, proses hukum kepada pelaku dan ganti rugi berupa pemenuhan hak-hak korban tidak pernah maksimal dilakukan,” ucap dia.

Mereka yang meninggal, rata-rata karena sakit, mengalami penyiksaan, kondisi kerja yang tidak layak, dan keterlambatan penanganan. Sementara, fasilitas kesehatan di kapal Ikan Tiongkok diketahui sangat buruk dan mengakibatkan AKP yang sakit tidak mendapat perawatan.

Adapun, korban AKP Indonesia tersebut mayoritas bekerja di kapal ikan Tiongkok yang melakukan operasi penangkapan ikan di perairan internasional atau penangkap ikan jarak jauh (distant water fishing).

“Lokus kejadian atau meninggalnya korban terjadi ketika kapal mereka sedang mencari ikan di laut Oman, Samudera Pasifik, Kepulauan Fiji, Laut Afrika, Samudera Hindia, Laut Pakistan dan Australia,” terang dia.

Selain itu, Abdi juga menyebut adanya praktik penyenludupan manusia yang dialami oleh AKP asal asal Indonesia. Mereka yang sakit dan meninggal, biasanya dipindahkan ke kapal lain karena kapal tersebut tetap melanjutkan operasi penangkapan ikan.

 

Exit mobile version