Mongabay.co.id

Lanskap Kopi dan Lestarinya Peradaban Megalitikum Pasemah

Biji Kopi di kaki Gunung Kerinci. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Sampai saat ini, belum ditemukan tradisi yang menghubungkan manusia atau masyarakat dengan keberadaan puluhan situs megalitik di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan [Sumsel]. Namun, berbagai aktivitas pertanian dan perkebunan, selama ratusan tahun itu tidak merusak artefak peninggalan peradaban megalitikum Pasemah. Mengapa?

“Mereka sangat menghargai benda-benda tersebut sebagai bukti sejarah. Selain itu, mereka percaya jika merusaknya pasti akan mendatangkan keburukan nasib pada pelakunya,” kata Mario Andramartik, budayawan yang banyak melakukan penelitian megalitikum di Kabupaten Lahat, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [04/03/2021].

Jadi, puluhan situs tersebut tersebar di berbagai lokasi perkebunan kopi, persawahan, perkebunan karet, pemakaman, serta halaman rumah warga di Kabupaten Lahat, tanpa mengalami kerusakan.

“Yang berada di perkebunan kopi, karet dan sawah, kondisi situs jauh lebih terawat,” kata Mario. “Begitu pula ketika mereka membangun rumah, tidak menyingkirkan atau menghancurkan artefak-artefak megalit itu,” lanjutnya.

Bagaimana dengan adanya sejumlah patung yang kehilangan kepalanya?

“Itu semua terjadi di masa kolonial Belanda. Sebab saat Van der Hoop, seorang peneliti Belanda, dalam penelitiannya abad ke-19, menyebutkan banyak patung yang kehilangan kepalanya. Dan, dari masa itu hingga sekarang tidak ditemukan patung-patung baru yang kehilangan kepalanya,” kata Mario yang juga memimpin Lembaga Kebudayaan dan Pariwisata Paranomic of Lahat, yang melakukan penelitian situs megalitik di Kabupaten Lahat sejak 2009.

Baca: Fokus Liputan: Gurat Hitam Tambang Batubara di Wajah Peradaban Megalitikum

 

Marlini, juru pelihara situs Batu Macan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hingga saat ini tercatat 64 situs megalitik yang berada di 51 desa atau kelurahan di Kabupaten Lahat. Sebut saja, Batu Puteri, Arca Manusia [Batu Kodok], Puyang Raja Api, Kota Baru, Batu Garuda, Batu Aji, Batu Satria, Batu Beteri, Tinggihari I, Tinggihari II, Tinggihari III, Tinggihari IV, Tanjung Raja, Batu Nek Nambeng, Batu Buaya, Gunung Ayu, Sekayoen 1, dan Sekayoen 2.

Berikutnya, Batu Tigas, Muara Dua, Kedaton, Batu Beteri, Lesung Batu 1, Lesung Batu 2, Batu Beteri, Batu Rusa, Batu Macan, Tebat Sibentur [Negeri Celeng], Batu Datar, Batu Bute, Batu Beteri, Lebuhan, Batu Surau, Batu Beghamben, Tanjung Bulan, Batu Kerbau, Batu Tiang, Lesung Batu, Batu Lumpang, Batu Berelief, Pematang Panjang, Batu Datar, dan Bandar Aji.

Juga, Muara Tawi, Pagar Dewa, Jemaring, Gunung Kaya, Bilik Batu, Baturang, Talang Pagar Agung, Talang Pagar Agung Lama, Bilik Batu 7, Bilik Batu 4,5 dan 6, Bilik Batu 1,2 dan 3, Sumur, Benua Raja, Pajar Bulan, Pulau Panggung, Sukabumi, Tebat Serut, Batu Langgar, Tempayan Kubur, Batu Tiang 6, dan Dolmen.

Ada 15 jenis artefak dari 64 situs megalitik tersebut. Yakni Arca, Arca Menhir, Menhir 10, Tetralith, Batu Datar, Dolmen, Lesung Batu, Lumpang Batu, Batu Gelang, Bilik Batu, Lukisan dalam Bilik Batu, Tempayan Kubur, serta Monolith Trilith.

“Keberadaan artefak megalitik di sini jauh lebih kaya dibandingkan wilayah lain di dunia, baik di Inggris, Prancis maupun Pulau Paskah. Ini menandakan peradaban tinggi di masa megalitikum hingga perunggu di sini,” kata Mario.

Baca: Mampukah Pesona Situs Megalitik di Lahat Bertahan dari Kepungan Tambang?

 

Situs Batu Macan [harimau] di Desa Pagaralam, Kecamatan Pagargunung, Lahat, selama ratusan tahun terjaga, meskipun tidak ada tradisi di masyarakat terkait arca ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sigit Eko Prasetyo, arkeolog prasejarah dari Balai Arkeolog [Balar] Sumsel, mengatakan tradisi megalitik di Pasemah [Kabupaten Lahat, Pagaralam, Empat Lawang dan Muaraenim, cukup unik. “Bukan hanya dari masa prasejarah [2000-1000 tahun Sebelum Masehi], juga hingga di masa sejarah [Kedatuan Sriwijaya],” kata Sigit kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [06/03/2021].

“Yang lebih membanggakan, meskipun tidak ada tradisi [kepercayaan] terkait situs megalitik, tapi masyarakat di sana [Lahat, Pagaralam, Empat Lawang dan Muaraenim] sangat menjaga keberadaan situs megalitik. Jika ini terjadi pada masyarakat lain mungkin sudah pada rusak dan hilang,” kata Sigit.

“Beranjak dari kekayaan tersebut, saat ini kami berusaha untuk menjadikannya sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO. Tentunya diawali dengan dukungan pemerintah daerah, seperti melahirkan perda [peraturan daerah] tentang pelestarian dan pengelolaan cagar budaya, serta didukung Balar [Balai Arkeologi] Sumsel, BPCB [Balai Pelestarian Cagar Budaya] Jambi, serta para sejarawan, budayawan, dan lainnya,” kata Mario.

Baca juga: Batubara, Emas Hitam yang Sarat Permasalahan

 

Arca Manusia yang oleh penduduk setempat disebut Patung Imam ini berada di Komplek Megalitikum Tinggi Hari III, Kabupaten Lahat. Letaknya, di tengah perkebunan karet masyarakat. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Merusak situs jadi gila

Situs Batu Macan berada di Desa Pagaralam, Kecamatan Pagargunung, Kabupaten Lahat. Situs ini berada di sekitar persawahan dan permukiman penduduk. Selain arca berupa harimau [macan] kawin, juga terdapat batu tetralith, dolmen dan lumpang batu.

Marlini, juru pelihara situs Batu Macan, yang juga dari keluarga jurai tue [keturunan tua] masyarakat Desa Pagaralam, menjelaskan sejak ratusan tahun lalu masyarakat di desanya tidak pernah memindahkan atau merusak artefak di Situs Batu Macan. “Pernah ada yang mencoba merusak batu [arca] Batu Macan, akibatnya pelakunya menjadi gila, dan saat ini masih hidup,” jelasnya kepada Mongabay Indonesia, Rabu [03/03/2021].

Bagi masyarakat Pasemah [Besemah] jurai tue merupakan pemimpin di suatu wilayah atau masyarakat, yang secara adat dipilih secara turun temurun. Jurai tue selalu dari garis keturunan. Jurai tue memimpin kegiatan budaya atau tradisi yang berlangsung di suatu wilayah, misalnya ada kegiatan mencuci pusaka atau prosesi adat lainnya. Yang ditunjuk jurai tue adalah anak laki-laki. Tidak harus anak tua.

 

Hamparan sawah di Desa Pagaralam, Pagargunung, Lahat. Sawah ini berada di sekitar situs Batu Macan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dijelaskan Marlini, situs Batu Macan sejak ratusan tahun lalu dipercaya masyarakat di wilayah Pagargunung [kecamatan] sebagai pelindung empat penjuru angin [utara, selatan, timur dan barat]. Ada pun nilai-nilai yang dilindungi adalah terhindar dari perzinahan dan pembunuhan.

“Jika terjadi perzinahan dan pembunuhan [perkelahian hingga memakan nyawa], maka keluarga pelaku harus bersedekah dan diasingkan dari kampung dalam beberapa bulan atau benar-benar terusir. Ini semua demi menghindar malapetaka yang akan dialami seluruh masyarakat, seperti bencana alam dan wabah penyakit,” kata Marlini.

Selain itu, masyarakat juga harus menghormati kehidupan harimau [macan] sehingga ada beberapa wilayah hutan yang disebut sebagai hutan larangan [hutan lindung]. “Kami dilarang membuka hutan tersebut untuk diambil kayunya maupun dijadikan kebun,” katanya.

Desa Pagaralam dipercaya sebagai permukiman pertama di Pagargunung. Mereka datang ke wilayah ini diperkirakan pada masa Kerajaan Palembang [Majapahit]. Marlini menyatakan puyangnya berasal dari Pulau Madura, yang kemudian menikah dengan masyarakat setempat [Pasemah].

“Beragam etnis atau suku dari Jawa maupun daerah lain di Sumsel membentuk permukiman di sini. Tapi mereka sangat menghormati dan menjaga berbagai tinggal sejarah di sini, seperti Batu Macan ini,” jelasnya.

 

Mario Andramartik, budayawan Lahat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menjaga air

Dijelaskan Mario, semua situs megalit di Kabupaten Lahat [termasuk juga di kabupaten lainnya] berada di tepian atau tidak jauh dari sungai, tebat [danau buatan] dan mata air, serta menghadap Gunung Dempo.

Keberadaan situs dekat sumber air menunjukan jika sejak dahulu manusia di wilayah Sumatera Selatan [Nusantara] hidup dekat air, dikarenakan wilayahnya subur dan memiliki sumber pangan [ikan] dan air bersih.

“Jadi situs megalitik itu semacam penanda wilayah subur untuk pertanian dan perkebunan, serta sumber air bersih. Jadi berkaca dari keberadaan situs, masyarakat yang hidup pada saat ini turut menjaga sumber air tersebut. Mereka hidup harmonis dengan hutan, sungai, dan tebat,” katanya.

Kabupaten Lahat, seperti wilayah lainnya di sekitar Bukit Barisan, diyakini juga memiliki kekayaan mineral, seperti emas. Namun tradisi menambang emas ini tidak terjadi pada masyarakat. ‘Jika penambangan emas tersebut menjadi tradisi ekonomi, bukan tidak mungkin sudah sejak lama keberadaan situs megalitik tersebut hancur.”

 

Setiap situs megalitik di Pasemah [Kabupaten Lahat, Pagaralam, Empat Lawang dan Muaraenim] selalu dekat dengan sumber air, seperti Sungai Ayik Sam di Desa Pagaralam ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hasnul Basri, Ketua Dewan Kopi Kabupaten Lahat, menyebutkan berkebun kopi pada masyarakat Lahat merupakan tradisi melindungi keberadaan situs megalitik.

“Hampir semua wilayah perkebunan kopi lama berada di wilayah situs megalitik. Tampaknya berkebun kopi selain sebagai sumber ekonomi, juga sebagai upaya melindungi benda-benda warisan leluhur tersebut,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Kamis [04/03/2021].

Dampaknya, kata Hasnul, kebun kopi ini juga melahirkan peradaban luhur bagi masyarakat di Lahat. Hasilnya bukan hanya sebagai sumber pemenuhan sandang dan pangan, juga sebagai biaya pendidikan dan melakukan ibadah [berhaji]. Tradisi gotong royong juga terbentuk dari berkebun kopi ini.

 

Selama ratusan tahun kopi menjadi sumber ekonomi masyarakat di Lahat. Berbagai situs megalitik yang berada di kebun kopi selalu terjaga keberadaannya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“Kopi ini banyak melahirkan orang-orang pintar dari Lahat, baik yang berkiprah di nasional maupun di Sumsel,” katanya.

Selain itu, kebun kopi juga sangat arif dengan lingkungan. “Sebab, sejak dahulu di dalam kebun kopi selalu ditanam pohon hutan, baik yang menghasilkan buah [durian, petai, jering], juga kayu. Mereka pun menjaga sumber air, sebab jika sumber air rusak hasil kebun kopi juga terganggu.”

Memang, yang menjadi ancaman saat ini adalah ekspansi ekonomi ekstraktif seperti penambangan [batubara dan emas] dan perkebunan monokultur yang tidak ramah lingkungan seperti perkebunan sawit dan ubi racun [tapioka].

“Penambangan itu bukan hanya menghabisi kebun kopi, juga mengancam keberadaan situs megalitik. Wilayah perkebunan kopi di Lahat, seperti di wilayah Merapi, saat ini sudah habis karena penambangan. Situs megaltik di sana pun turut terancam,” katanya.

Jadi, guna melindungi situs megalitik, pemerintah dan masyarakat harus juga melindungi keberadaan kebun kopi. “Caranya dengan menetapkan zona perlindungan, menaikkan harga kopi [pemasaran], serta menjadikan Lahat bebas dari kegiatan ekonomi yang merusak lingkungan,” kata Hasnul yang tengah menyusun lanskap kopi di Kabupaten Lahat.

 

 

Exit mobile version