Mongabay.co.id

Kebangkitan dan Gerakan Perjuangan Hak Masyarakat Adat

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di area hutan adat mereka yang dikuasi PT. TPL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

 

Pada 17 Maret 2021, masyarakat adat memperingati hari kebangkitan masyarakat adat dengan tema, “Tetap Tangguh di Tengah Krisis.” Krisis pandemi COVID-19 mengajak melihat lagi arti penting pengelolaan alam lestari dan berkelanjutan. Model ini terbukti memperkuat resiliensi dalam menghadapi krisis.

Masyarakat adat adalah subjek yang konsisten dalam mempraktikkan pengelolaan alam sekaligus mempromosikannya. Kearifan-kearifan adat membuktikan ketahanan menunjang model kelola alam lestari dan berkelanjutan. Ia juga memiliki daya lenting dalam mengurangi dampak buruk karut marut tata kelola sumber daya alam. Ruang kelola alam masyarakat adat belum sepenuhnya diakui atau mendapatkan perlindungan. Hingga kini, mereka berada pada posisi marjinal.

Pola pembangunan berbasis lahan berskala luas merupakan tantangan utama bagi model kelola alam masyarakat adat, sekaligus mengancam eksistensi mereka. Pola pembangunan ini ditopang politik [hukum] agraria yang meminggirkan hak masyarakat adat hingga dalam tingkatan tertentu, tanah-tanah adat terancam alami perampasan lahan (land grabbing).

Situasi struktural ini menyebabkan pelbagai konflik tanah dan sumber daya alam berskala luas dan menahun. Pada 2020 saja, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, ada 40 kasus agraria berdampak pada 39.069 orang dan 18.372 keluarga. Konflik ini juga diwarnai kriminalisasi dan tindakan-tindakan intimidatif terhadap masyarakat adat.

Kalau melihat lebih dalam, konflik agraria dan marjinalisasi masyarakat adat berhulu sebab pada ketidakpastian hak masyarakat atas wilayah adat (hak ulayat). Ia makin susah kala prasyarat hukum pengakuan hak memberatkan, birokratis dan mahal. Dengan kata lain, marjinalisasi hak masyarakat adat bersifat sistemik dan struktural.

 

Baca juga : 22 Tahun AMAN: Terus Berjuang Upayakan Perlindungan Masyarakat Adat

Putusan MK-35 sudah keluar Putusan ini menyatakan hutan adat bukan hutan negara. Sayangnya, sampai saat ini masih jauh dari implementasi. Hak-hak masyarakat meskipun sudah banyak menjadi bahasan pemerintah tetapi di lapangan minim diakui. Malah, kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat masih terjadi.  Ini petisi yang dibuat AMAN di Change.org, setahun setelah MK-35. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Perjuangan hak

Marjinalisasi masyarakat adat hadir dalam setiap periode sejarah. Setidaknya, sejak masa kolonial Belanda ditandai pemberlakuan Agrarische Wet 1870. Masyarakat adat merespons situasi ini secara beragam, sesuai dengan konteks sosio-historis yang melatarbelakanginya. Umumnya, respon masyarakat adat bersifat lokal dengan benang merah yang sama, yakni resistensi terhadap eksploitasi alam dan pengabaian terhadap adat.

Pasca kemerdekaan Indonesia, formasi politik kolonial ternyata masih pada aspek-aspek tertentu, terutama lebih keberlanjutan dualisme hukum yang memposisikan hak masyarakat adat menjadi begitu lemah. Setidaknya, ini terlihat dari pemaknaan sempit hak menguasai negara, yang seolah-olah menjadi mirip dengan konsep “domein verklaring” dari hukum kolonial. Konsep hukum ini terbukti banyak merampas tanah-tanah adat.

Selanjutnya, respons masyarakat adat dalam menghadapi eksploitasi alam ini terakumulasi jadi sebuah gerakan, terutama sejak berkembangnya gerakan masyarakat sipil pada sektor agraria dan lingkungan hidup. Inti gerakan ini mengkritik dominasi [hukum] negara yang senantiasa berorientasi pada tata kelola sumber daya alam berbasis pemanfaatan lahan berskala luas, padat modal dengan mengabaikan hak dan lingkungan hidup.

Seiring itu, gerakan-gerakan lokal masyarakat adat mengalami berkembangan berarti pada dua dekade terakhir. Demokratisasi politik Indonesia pasca Orde Baru telah membuka ruang keterhubungan antara organisasi-organisasi gerakan lokal adat dengan gerakan agraria dan lingkungan hidup pada lingkup nasional.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang lahir pada tahun 1999 adalah fenomena dari kebangkitan gerakan masyarakat adat itu.

 

Baca juga : Studi: Masa Pandemi Cenderung Eksploitasi Alam dan Rawan Langgar Hak Masyarakat Adat

Masyarakat Adat Sabuai sedang melakukan ritual adat Sasi Pohon di Hutan Negeri Sabuai. Dok: Istimewa

 

Pembaruan hukum

Dalam perkembangannya, gerakan masyarakat adat masuk pada arena pengakuan dan perlindungan hak hukum. Dalam konteks ini, ada “pengakuan status legal” masyarakat adat jadi hal penting sebagai basis pelaksanaan dan perlindungan hukum atas hak masyarakat adat.

Namun, upaya ini tidaklah mudah. Setidaknya, ada tiga tantangan dalam perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat, yaitu; pertama, masih berlaku rezim hukum pengakuan bersyarat terhadap hak masyarakat adat. Pengakuan bersyarat ini jadi dalil pengabaian posisi, tersubordinasi dari kekuatan politik, dan termarjinalkan.

Dalam konteks ini, ruang pengakuan masyarakat adat perlu ditegaskan. Kedua, ruang pengakuan masyarakat adat saja tidaklah cukup, karena fenomena ‘elit capture’ bisa terjadi terhadap masyarakat adat, yang bekerja melalui kekuatan elit daerah, elit desa dan elit adat, berakibat pada perampasan-perampasan hak-hak masyarakat adat. Misal, penjualan-penjualan kekayaan masyarakat adat terjadi melalui kekuatan-kekuatan elit itu. Dalam konteks ini, hukum negara dan hukum adat diupayakan bisa berinteraksi untuk mencegah perampasan-perampasan hak.

Ketiga, penghancuran sistem sosial budaya dalam konteks politik hukum seringkali subordinasi pemerintahan lokal dan sistem masyarakat adat terjadi, sekaligus bentuk pengabaian identitas politik kewargaan di tingkat lokal.

Misal pemberlakukan UU Desa di masa Orde Baru menghancurkan sistem politik, sosial dan budaya masyarakat adat dengan penyeragaman desa, hingga sistem pemerintahan adat yang bekerja turun temurun dihilangkan secara sistematik.

Dengan perkembangan ini, sejatinya gerakan masyarakat adat mengupayakan pembaruan hukum yang menjamin keadilan dan perlindungan hak masyarakat adat. Memang ada pilar-pilar pembaruan hukum seperti kelahiran Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/2012 tentang pengakuan hutan adat dan UU Desa, baru yang mengakomodasi pengakuan desa adat.

Namun, jangkar perubahaan-perubahaan hukum ini dirasa belum memadai, karena masyarakat adat masih berhadapan dengan tembok politik pengakuan bersyarat hingga mereka mesti pula menempuh pemenuhan-pemenuhan syarat [administratif] yang tak perlu untuk mendapatkan hak-haknya. Misal, syarat penetapan masyarakat adat melalui peraturan daerah untuk mendapatkan hutan adat, yang notabene membutuhkan kapasitas politik dari masyarakat adat yang kuat, memakan biaya dan proses (waktu) yang panjang.

Tidak semua masyarakat memiliki kapasitas-kapasitas itu, terutama masyarakat adat yang minoritas.

Dalam konteks ini, perlu ada terobosan hukum untuk mengatasi kebuntuan dalam pengakuan hak masyarakat adat ini. Setidaknya, ada tiga saran, yakni, pertama. meniadakan atau paling tidak mempersempit prasyarat hukum pengakuan hak masyarakat adat.

Kedua, menjamin ruang partisipasi masyarakat adat, dan ketiga, menciptakan kelembagaan hukum untuk (1) pengadministrasian hak ulayat dalam jaminan perlindungan hak yang terintegrasi, (2) penyelesaian konflik agraria berbasis pada penghormatan hak masyarakat adat.

Demikianlah, kebangkitan masyarakat adat sejatinya perjuangan memulihkan hak-hak masyarakat adat yang dijamin konstitusi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 B ayat 2, Pasal 28 I dan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945, sekaligus panggilan memecahkan persoalan marjinalisasi masyarakat adat, terutama dalam pembaruan hukum yang lebih berkeadilan.

 

*Nurul Firmansyah, penulis adalah advokat dan peneliti hukum

 

Baca juga : Kontribusi Masyarakat Adat dalam Pembangunan Berkelanjutan Tak Bisa Diremehkan

Perempuan Suku Moi Kelim di Kabupaten Sorong, Papua Barat sedang menganyam dari bahan yang berada di hutan. Investasi tidak hanya berupa akumulasi modal, upaya masyarakat adat dengan menjaga hutannya dan mengembangkan kearifan lokal dan keserasian hidup itu juga sebuah investasi yang tak ternilai. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

******

Foto utama:  Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, yang pada 2016, dengan perjuangan gigih mendapatkan pencadangan hutan adat lebih 5.000 hektar. Saat penetapan hutan adat, luasa menyusut, tinggal sekitar 2.000-an hektar. Foto: Ayat S Karokato/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version