- Masa pandemi ternyata bukan menyadarkan pemerintah untuk serius membangun atau gerakkan ekonomi dengan pola ramah alam dan memperhatikan hak asasi manusia. Kondisi sebaliknya terjadi. Setidaknya, begitulah hasil studi di beberapa negara ini. Laporan yang disusun beberapa organisasi yang tergabung dalam Forest People Programme berjudul “Mengembalikan Perlindungan Sosial dan Lingkungan pada saat Pandemi COVID-19” menunjukkan, berbagai kebijakan untuk meningkatkan ekonomi masa pandemi COVID-19 cenderung destruktif dan eksploitasi sumber daya alam serta mengikis hak masyarakat adat.
- Myrna Cunningham, pimpinan Lembaga Pendanaan Pengembangan Masyarakat Adat Amerika Latin dan Karibia, mengatakan, penelitian ini membuktikan kebijakan pemerintah dan produsen komoditas di lima negara ini bertentangan secara langsung dengan meningkatnya permintaan di negara konsumen yang ingin rantai pasokan bebas dari pelanggaran HAM, deforestasi dan merusak keragaman hayati.
- Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN mengatakan, pemerintah harus melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan publik dan menjadikan mereka mitra dalam pemulihan ekonomi nasional.
- Mia Siscawati, antropolog dai Universitas Indonesia mengatakan, tantangan masyarakat adat selama pandemi ini, jadi pelajaran penting soal membangun ketahanan dengan mengelola lahan dan sumber daya alam. Masa pandemi juga makin memperlihatkan, betapa akses terjamin ke tanah dan sumber daya alam sangat penting dalam kelangsungan hidup masyarakat dengan mata pencaharian bergantung hutan dan pertanian.
Sebuah laporan yang disusun beberapa organisasi yang tergabung dalam Forest People Programme berjudul “Mengembalikan Perlindungan Sosial dan Lingkungan pada saat Pandemi COVID-19” menunjukkan, berbagai kebijakan untuk meningkatkan ekonomi masa pandemi COVID-19 cenderung destruktif dan mengeksploitasi sumber daya alam dan mengikis hak masyarakat adat.
Berdasarkan wawancara dengan komunitas terdampak dan mengacu pada studi khusus di negara-negara yang diteliti, laporan ini menunjukkan bagaimana pemerintah menggunakan kehancuran ekonomi akibat pandemi mengenyampingkan perlindungan sosial dan lingkungan hidup.
Berbagai kekerasan, pembunuhan, deforestasi dan relokasi paksa menyusul perusakan hutan terjadi di negara-negara tropis yang paling berhutan yakni Indonesia, Brazil, Kolombia, Peru dan Republik Demokratik Kongo.
Di Indonesia, ada pengesahan UU Cipta Kerja (omnibus law), pada Oktober 2020 tanpa partisipasi berarti dari masyarakat adat. Meskipun ditentang, melemahkan UU Perlindungan Lingkungan Hidup dan penggunaan lahan dan konsultasi publik, UU ini tetap disahkan.
Sebaliknya, RUU Masyarakat Adat sebagai bagian pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut klaim pemerintah atas hutan adat, mendekam selama hampir satu dekade di hadapan DPR.
“Omnibus law sama sekali tak menciptakan lapangan kerja. Berbagai kebijakan yang dikatakan untuk mengatasi krisis iklim dan menyelamatkan hutan tidak menguntungkan masyarakat adat karena masyarakat adat dianggap invisible,” kata Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saat rilis daring laporan ini Jumat (1/2/21) waktu Jakarta.
Pemerintah Indonesia, katanya, mengambil kesempatan saat masyarakat adat mengisolasi diri karena pandemi, untuk menyusun omnibus law dan menghapus kesempatan masyarakat ikut serta dalam pengambilan keputusan.
“Ini berisiko buat kami. Ekonomi global sedang jatuh. Kita harus merestrukturisasi cara pandang. Ini waktunya. Kalau kita tak mengubah cara pandang terhadap alam akan menuju katastropi,” katanya.
Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan
Saat ketahanan pangan masyarakat kota terancam karena pandemi, kata Rukka, masyarakat adat tetap bekerja memastikan kebutuhan pangan tercukupi. Karena itu, pemerintah harus melihat hal semacam ini pendorong untuk melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan publik dan menjadikan mereka mitra dalam pemulihan ekonomi nasional.
“Masyarakat adat tak menginginkan uang negara. Karena sebetulnya dengan apa yang dilakukan selama ini, masyarakat adat justru sudah memberi lebih. Pemerintah hanya perlu melindungi dan investasi untuk pemenuhan hak-hak masyarakat adat,” katanya.
Di Brazil, retorika dari Presiden Jair Bolsonaro dan pemerintahnya menjadi berita utama tetapi seringkali mengalihkan perhatian dari perlindungan bagi hak-hak masyarakat adat. Antara Maret dan Mei 2020, pemerintah Brazil mengeluarkan 195 tindakan yang bertujuan langsung atau tidak langsung membongkar atau melewati UU lingkungan hingga memberikan impunitas atas perampasan tanah ilegal di wilayah adat. Deforestasi di Amazon pada 2020 juga mencapai level tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
“Pemerintah Bolsonaro berbicara terbuka tentang motivasi oportunistik di balik kampanye mereka untuk membatalkan perlindungan hak-hak masyarakat adat,” kata Sofea Dil, peneliti di Yale Law School yang mengerjakan laporan ini.
Pada awal 2021, kata Sofea, para pemimpin Suku Kayapó dan Paiter Surui mengajukan gugatan ke pengadilan kriminal internasional meminta jaksa menyelidiki aksi Pemerintah Brazil itu. Menurut mereka, perlakuan agresif pemerintah terhadap masyarakat adat dan lingkungan memenuhi definisi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Di Kolumbia, pembunuhan pemimpin masyarakat adat dan pembela hak asasi manusia meningkat selama karantina COVID-19, dan deforestasi di Amazon melonjak lebih dari 80%.
Selama pandemi, negara ini juga mendorong langkah-langkah kontroversial untuk melemahkan perlindungan untuk persetujuan bebas tanpa paksaan (free prior informed dan concent/FPIC) untuk masyarakat adat.
Bahkan, ada rencana menggunakan penyemprotan udara herbisida beracun untuk mengatasi tanaman ilegal. Masyarakat adat, petani kecil dan kelompok Afro-Kolombia, katanya, menuntut FPIC, memprotes potensi pelanggaran hak, masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan.
Baca juga: Orang Pahou Hidup Sulit Kala Ada Perusahaan Sawit
Di Republik Demokratik Kongo (DRC), pengakuan hukum atas hak-hak masyarakat adat selalu tidak memadai dan cenderung mundur. Negara ini memiliki sejarah epidemi — termasuk wabah Ebola — yang menciptakan konteks kesehatan berisiko tinggi yang digunakan pemerintah dalam mengendalikan populasi.
Pandemi COVID-19 telah menghancurkan ekonomi Kongo, dan mengancam perlindungan terbatas hak-hak masyarakat adat yang saat ini ada.
Di Peru, ombudsman pada 2019 mendokumentasikan lebih dari 134 konflik sosial aktif terkait isu sosial-lingkungan dan pertambangan. Selama pandemi, kecepatan pemerintah dalam membantu sektor-sektor ekonomi ini kontras dengan penundaan yang berlarut-larut — terkadang selama puluhan tahun — dalam menangani konflik-konflik ini.
Pada Mei 2020, Pemerintah Peru mengumumkan bahwa ekonomi akan buka kembali dalam empat tahap, dengan kehutanan, pertambangan, dan minyak menjadi sektor pertama yang akan mulai dengan menangguhkan denda lingkungan dan menangguhkan laporan pemantauan lingkungan dan sosial.
Laporan ini menyebut, pemerintah negara-negara ini mengesampingkan perlindungan sosial dan lingkungan hidup demi proyek pembangunan destruktif yang merugikan masyarakat adat dan hutan.
“Tambang terbuka, perkebunan industri pertanian, infrastruktur skala besar, dan pembangkit listrik tenaga air adalah beberapa proyek yang memicu meningkatnya pelanggaran hak asasi manusia dan deforestasi di lima negara ini,” kata Cathal Doyle, peneliti dan pemimpin proyek penelitian ini saat peluncuran laporan.
Myrna Cunningham, pimpinan Lembaga Pendanaan Pengembangan Masyarakat Adat Amerika Latin dan Karibia, mengatakan, penelitian ini membuktikan kebijakan pemerintah dan produsen komoditas di lima negara ini bertentangan secara langsung dengan meningkatnya permintaan di negara konsumen yang ingin rantai pasokan bebas dari pelanggaran HAM, deforestasi dan merusak keragaman hayati.
Selama pandemi, katanya, pemerintah tak hanya gagal menghentikan perampasan tanah dan pelanggaran hak asasi manusia oleh korporasi, juga membalikkan kebijakan untuk melindungi HAM dan menghentikan perusakan eksosistem tak ternilai yang sudah diperoleh dengan susah payah.
“Tentu salah memprioritaskan pembangunan ekonomi daripada perlindungan masyarakat adat dan hutan tropis terutama saat pandemi,” kata James Whitehead, direktur Forest Peoples Programme.
Tahun ini, katanya, dua konferensi internasional besar akan membahas perubahan iklim dan hilangnya keragaman hayati yang menakutkan secara global.
Studi ini, katanya, memberikan lebih banyak bukti lagi bahwa komunitas dan bisnis internasional perlu segera menjaga dan memperkuat perlindungan HAM juga hutan tropis serta secara proaktif mendukung masyarakat adat untuk melindungi wilayah mereka.
Temuan utama laporan ini yakni, pertama, negara-negara memprioritaskan perluasan sektor energi, infrastruktur, pertambangan, penebangan dan pertanian industri di dalam atau dekat wilayah adat tanpa melindungi hak-hak masyarakat adat.
Kedua, negara tidak menegakkan hukum domestik dan internasional yang melarang perampasan tanah. Sebaliknya, memfasilitasi deforestasi ilegal, perluasan agribisnis dan pertambangan yang mempengaruhi wilayah adat. Akibatnya, deforestasi melonjak pada 2020 dan kemungkinan meningkat pada 2021.
Ketiga, negara mengembangkan dan memberlakukan kebijakan dan peraturan tata guna dan perencanaan lahan yang melemahkan perlindungan sosial dan lingkungan saat ini. Juga melanggar hak-hak masyarakat adat terutama hak berkonsultasi sebelum proyek mulai.
Keempat, masyarakat adat yang mencoba menuntut hak mereka menghadapi peningkatan kekerasan, penangkapan dan tuntutan pidana.
James Silk, Profesor Klinis Hak Asasi Manusia Binger di Sekolah Hukum Yale mengatakan, korporasi industri ekstraktif secara agresif mendorong pemerintah membiarkan mereka mengeksploitasi sumber daya di tanah adat, menjanjikan revitalisasi ekonomi, tetapi mengabaikan efek yang menghancurkan pada masyarakat adat.”
“Hasilnya, serangkaian pelanggaran hak asasi manusia dan percepatan kontribusi terhadap pemanasan global.”
Jadi, laporan ini mendesak pemerintah negara berhutan tropis untuk memperkuat perlindungan bagi masyarakat adat dan wilayah mereka. Juga, mendesak investor internasional dan pemodal menerapkan pengamanan ketat untuk menghormati hak asasi manusia dan melindungi hutan dalam semua pembiayaan untuk proyek dan program pemulihan COVID-19.
Makin menguras, makin terpinggirkan
Lebih detil soal kondisi di Indonesia terlihat dalam kajian, “Indonesia: Pelemahan Regulasi di Tengah Pandemi COVID-19” yang dikerjakan AMAN, FPP dan Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari.
Laporan ini menyebutkan, betapa impunitas negara dalam perampasan tanah makin meningkat dan menurunnya kapasitas negara memantau hutan selama pandemi. Keadaan ini serius mengancam hak masyarakat adat atas tanah, kesehatan dan kesejahteraan.
Kajian ini membagi status masyarakat adat dalam ketahanan pangan dan akses lahan untuk budidaya pangan selama pandemi dengan melihat komunitas paling terancam, kelompok paling membutuhkan pasokan bantuan pangan, seperti masyarakat Tobelo terancam pembangunan smelter di daerah mereka di Halmahera, Kepulauan Maluku. Ada Orang Rimba di Sumatra tak dapat mengakses hutan terdekat karena telah jadi bagian dari nasional.
Ada soal komunitas yang berisiko, kelompok tidak dapat berkebun atau bertani karena tanah telah diklaim dan diambil alih perkebunan sawit. Banyak masyarakat adat di komunitas-komunitas ini telah menjadi pekerja perkebunan sawit.
Pembagian lain, komunitas yang aman, yakni, masyarakat adat yang masih menguasai wilayah adat dan mampu hidup dari hutan dan tanah sendiri.
Kerawanan pangan jadi masalah dengan menyoroti bagaimana pentingnya hutan dan kepemilikan lahan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal.
“Hutan sebagai penyelamat masyarakat adat selama pandemi, menyediakan tanaman pangan dan tanaman obat,” kata Mia Siscawati, antropolog dai Universitas Indonesia.
Apai Janggut, Kepala Rumah Panjang Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kata Mia, menilai, hutan itu seperti gudang yang menyediakan segala keperluan masyarakat adat, dari makanan hingga ritual adat.
Kuat lagi, katanya, peran penting perempuan dan pemuda adat memimpin upaya pengelolaan lahan sumber pangan, maupun penelusuran pengetahuan lokal terkait pengelolaan sumber pangan dan sumber daya alam lain.
Tantangan masyarakat adat selama pandemi ini, katanya, jadi pelajaran penting soal membangun ketahanan dengan mengelola lahan dan sumber daya alam. Masa pandemi juga makin memperlihatkan, betapa akses terjamin ke tanah dan sumber daya alam sangat penting dalam kelangsungan hidup masyarakat dengan mata pencaharian bergantung hutan dan pertanian.
Perlindungan dan pengakuan atas hak-hak masyarakat atas wilayah mereka pun hadapi tantangan makin berat. Dengan kebijakan-kebijakan tak transparan dan lebih condong pada investasi haus lahan.
Rukka mengatakan, makin dekat ruang hidup masayrakat dengan perusahaan, akan makin menderita. Jual beli lahan untuk industri, katanya, jadi kesejahteraan semu. Akses akan lahan dan sumber daya alam, makin menjauh.
AMAN mencatat, ada 40 kasus kirminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat sepanjang 2020. Sebagian besar kasus mulai tahun-tahun sebelumnya, tetapi terus berlanjut karena tak ada penyelesaian negara.
“Ini menunjukkan, negara melakukan pembiaran dan bersikap diskriminatif terhadap masyarakat adat,” katanya.
Ancaman regulasi
Rukka juga menekankan soal ancaman kebijakan terhadap masyarakat adat dan lingkungan hidup. Omnibus law berpotensi berdampak negatif pada cara masyarakat hutan mendapatkan akses ke lahan dalam persaingan dengan korporasi ekstraktif seperti sawit dan lain-lain.
Selain soal UU Cipta Kerja, saat rilis laporan Indonesia, secara daring, dia juga menyoroti revisi UU Minerba. UU ini, katanya, juga memungkinkan perluasan pertambangan yang dapat menyebabkan deforestasi maupun mengancam masyarakat adat. Deforestasi, kebakaran hutan dan lahan serta perampasan lahan kalau terus berlanjut, katanya, bakal makin mengancam keberadaan masyarakat adat.
Selain itu, pelanggaran HAM, dampak pandemi ekonomi dan ketahanan pangan, muncul kekhawatiran bakal makin menyulitkan masyarakat adat.
Mia pun menekankan, penting perlindungan hak-hak masyarakat adat melalui kerangka hukum. Selama pandemi, yang menjadi prioritas malah bukan RUU Masyarakat Adat. Padahal UU ini, urgen dalam memberikan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Regulasi itu, katanya, jadi pijakan kuat dalam perlindungan, tetapi kata Mia, proses harus dikawal.
Menurut Rukka, pengakuan hutan adat ini lambat karena UU saling tumpang tindih, diperparah permasalahan sektoralisme. RUU Masyarakat Adat, katanya, mencoba mengurai jebakan sektoralisme masa lampau hingga upaya perlindungan masyarakat adat jadi lebih jelas.
Dia pun mendesak DPR dan DPRD mengembangkan aturan efektif menjamin peningkatan kualitas hidup masyarakat adat dan komunitas lokal, terutama perempuan, pemuda, anak-anak dan kelompok-kelompok rentan.
Emil Ola Kleden, pendiri Yayasan Pusaka mengatakan, ancaman ganda ketika masyarakat dipaksa melepas hubungan dengan tanah dan memilih menjadi masyarakat industri.
“Kelompok tradisional itu malahan selaras hubungannya lebih survive antara sosial ekonomi dan lingkungan. Kelompok rentan adalah yang mengikuti perkembangan zaman. Ia jadi bagian dari komunitas industri kapitalisme global.”
****
Foto utama: Hutan adat Laman Kinipan, terus terkikis, tanpa perlindungan dan terancam jadi kebun sawit perusahaan. Foto: Save Our Borneo