Mongabay.co.id

Setelah Puluhan Tahun Beroperasi, Mengapa PT. Timah Dituntut Pemerintah Bangka Belitung dan Nelayan?

Seorang nelayan mengangkat jaring di sekitar perairan Pulau Semujur. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesi

 

 

PT. Timah Tbk [TINS] sudah beroperasi di Kepulauan Bangka Belitung sejak 1976. Namun, hingga saat ini berbagai reaksi datang dari masyarakat dan pemerintah di kepulauan seluas 8.172.506 hektar, terhadap perusahaan penambangan timah terbesar di Indonesia tersebut. Mengapa?

Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung meminta saham sebesar 14 persen PT. Timah Tbk. Mereka juga menuntut kenaikan royalti dari 3 persen menjadi 10 persen. Permintaan atau tuntutan tersebut disampaikan Erzaldi Rosman, Gubernur Kepulauan Bangka-Belitung, saat beraudiensi dengan Komisi VII DPR RI, Rabu, [07/4/2021] lalu.

Dikutip dari cnbcindonesia.com, Erzaldi mengatakan eksploitasi timah sudah berlangsung selama 350 tahun di Kepulauan Bangka Belitung, tapi apa yang didapatkan pemerintah daerah tidak sebanding dengan kerusakan alamnya.

“Kerusakan alam yang kami rasa tidak bisa dinilai dengan apapun,” katanya.

Dia pun menjelaskan Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung rela jika kekayaan alamnya diambil demi kepentingan bangsa dan negara, tapi apa yang didapatkan daerahnya tidak sebanding dengan kekayaan alam yang diambil.

Katanya, kapasitas fiskal yang dimiliki daerah sangat kecil, terlebih dalam pandemi COVID-19. Bahkan beberapa daerah kesulitan melakukan pembangunan karena tidak ada biaya.

Sebagai informasi kepemilikan saham PT. Timah Tbk sebesar 65 persen milik Pemerintah Indonesia, dan 35 persen milik publik.

Anggi Siahaan, Kepala Bidang Humas PT. Timah Tbk, kepada Mongabay Indonesia, Selasa [20/4/2021] mengatakan, “Tentang saham, kami [PT. Timah Tbk] tunduk kepada negara sebagai pemilik saham majority.”

Sebagai perusahaan, kewenangannya tidak sampai di situ [saham]. “Fokus perusahaan saat ini adalah bagaimana perusahaan dapat melaksanakan operasi produksi yang berpedoman good mining practise hingga dapat memberikan kontribusi kepada negara,” jelasnya.

Baca: Berharap Ratusan Pulau di Bangka Belitung Tetap Terjaga

 

Ketika Bangka dan pulau-pulau sekitar dikeruk habis timahnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

KEK hingga KIP

Awal 2021, Erzaldi mempersoalkan sikap PT. Timah Tbk terkait proyek KEK [Kawasan Ekonomi Khusus] Pariwisata Tanjung Gunung dan Sungailiat. Sebab, sejak 2017 hingga saat ini, belum ada kepastian batas antara pengusul KEK Pariwisata dengan PT. Timah Tbk.

Dikutip dari babelprov.go.id, Erzaldi menjelaskan antara pengusul KEK yakni PT. Pan Semujur Makmur dan PT. Pantai Timur Sungailiat telah membuat perjanjian dengan PT. Timah Tbk terkait pembangunan KEK Pariwisata. Namun, pemerintah pusat masih ingin memastikan bahwa setelah diputuskan sebagai KEK, apakah PT. Timah Tbk tidak lagi menjalankan aktivitas penambangan di sekitar KEK.

Katanya, kementerian [Dewan Nasional KEK] telah sepakat dan mendukung visi Gubernur Kepulauan Bangka Belitung untuk melakukan transformasi ekonomi. “Hanya waktu itu catatannya, tolong dipastikan bahwa lahan yang masuk KEK tidak ditambang lagi. Maka diminta membuat perjanjian dengan PT. Timah,” kata Erzaldi.

Terkait persoalan ini, dikutip dari Republika.co.id, sebelumnya PT. Timah Tbk menyatakan mendukung pembentukan KEK Pariwisata di Pulau Bangka. “Kami siap menyerahkan lahan yang berada di kawasan izin usaha pertambangan timah untuk mempercepat pembentukkan KEK Pariwisata Bangka,” kata Anggi Siahaan, Kepala Bidang Humas PT. Timah Tbk.

Lanjutnya, PT. Timah Tbk berkewajiban mendukung program pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Aktivitas Kapal Isap Produksi [KIP] PT. Timah Tbk di perairan Pulau Bangka juga dinilai menimbulkan persoalan bagi nelayan. Mereka yang berada di sejumlah wilayah di Pulau Bangka, seperti Matras, Tuing dan Teluk Kelabat [Kabupaten Bangka], serta Belo Laut [Kabupaten Bangka Barat] dan Batu Perahu [Kabupaten Bangka Selatan], berulang kali protes agar aktivitas KIP dihentikan.

Erzaldi melakukan Rapat Dengar Pendapat [RDP] dengan Komisi IV DPR RI membahas persoalan tersebut. Rapat juga dihadiri Bupati Bangka, Bupati Bangka Barat, KLHK RI, dan KKP RI, Kamis [03/12/2020] lalu.

Dikutip dari babelprov.go.id, rapat memutuskan 7 poin kesepakatan untuk menyelamatkan hidup para nelayan di Pulau Bangka, pariwisata, dan lingkungan dari kerusakan akibat tambang KIP milik PT. Timah Tbk di perairan Pulau Bangka.

Salah satu poin dari kesepakatan tersebut, Komisi IV DPR RI mendorong Pemerintah Pusat c.q. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Pemerintah Daerah c.q. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Bupati Bangka, dan Bupati Bangka Barat untuk melakukan penghentian kegiatan operasional KIP di perairan Bangka Belitung yang dilakukan oleh PT Timah Tbk dan mitra kerja serta perusahaan lainnya.

Kegiatan itu terbukti berdampak pada kerusakan lingkungan ekosistem perairan dan merugikan masyarakat atau nelayan, dengan kewenangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tampaknya, aktivitas KIP tetap berjalan. Sebab pada 5 April 2021 lalu, ratusan nelayan dari Matras, Tuing dan Teluk Kelabat [Kabupaten Bangka], serta Belo Laut [Kabupaten Bangka Barat] dan Batu Perahu [Kabupaten Bangka Selatan], melakukan aksi ke kantor PT. Timah Tbk di Pangkalpinang. Mereka menuntut PT. Timah Tbk mencabut Surat Perintah Kerja [SPK], sebab aktivitas penambangan dinilai mengancam kehidupan nelayan.

Baca: Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?

 

Aktivitas tambang dekat bibir pantai membuat nelayan resah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Persoalan ini kemudian membuat Erzaldi menginiasi Rapat Koordinasi Pembahasan Operasional Penambangan Lepas Pantai oleh PT. Timah bersama aliansi dan kelompok nelayan, di Kantor PT. Timah Tbk, Kamis [15/4/2021].

Dalam rapat tersebut, selain menuntut pencabutan SPK, para nelayan juga menolak kehadiran KIP di wilayah tangkapnya selama ini. Sebab, kehadiran KIP menyebabkan perairannya tercemar dan menurunkan hasil tangkapan ikannya.

Agung Pratama, Direktur Operasi dan Produksi, mengatakan pihaknya tidak mungkin menghentikan kegiatan tambang perairan laut, dikarenakan banyak pegawai PT. Timah Tbk yang hidupnya bergantung dari kegiatan tambang tersebut.

“Ada sekitar 6.900 karyawan dan 90 persen itu masyarakat Bangka Belitung. Kalau dipaksa harus off tidak bisa, karena ada ribuan pegawai bergantung dengan kegiatan di kapal tambang laut,” katanya seperti dikutip faktaberita.co.id.

Rapat atau pertemuan yang tidak menghasilkan kesepakatan tersebut membuat Erzaldi mengusulkan rapat ulang, dan hal ini disetujui PT. Timah Tbk.

Baca: Selain Rusak Lingkungan, Tambang Timah di Bangka Juga Makan Korban Jiwa

 

Nelayan tradisional di Kepulauan Bangka Belitung kian terdesak ruang tangkapannya akibat berbagai aktivitas yang mengubah bentang pesisir dan laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Baik dan buruk

Dr. Ibrahim, Dosen Universitas Bangka Belitung mengatakan bahwa reaksi pemerintah maupun masyarakat terhadap PT. Timah Tbk, pada dasarnya bukan hanya disebabkan eksistensi perusahaan tersebut selama ini, namun juga kondisi kontekstual yang terjadi.

“Kondisi ekonomi global dan nasional yang lagi goyah, apalagi adanya pandemi, membuat semua pihak prihatin. Dan masing-masing, sepertinya sedang mencoba mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dari kondisi tidak baik ini, termasuk masyarakat yang sumber pendapatannya semakin berkurang” katanya.

PT. Timah Tbk sebenarnya sudah banyak membantu pemerintah maupun masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung. “Setidaknya turut menggerakan perekonomian di Kepulauan Bangka Belitung dan kontribusinya nyata. Namun, banyak pihak masih merasa ini masih harus dioptimalkan melalui pembagian saham sehingga nominal cash back lebih terasa,” ujarnya.

Jadi, terkait tuntutan adanya pembagian saham dan kenaikan royalti dari Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung terhadap PT. Timah Tbk, kata Ibrahim, harus dipahami sebagai upaya untuk sharing yang lebih luas dalam rangka menyelamatkan masyarakat dan roda pembangunan di Bangka Belitung dari kondisi tidak baik ini.

Dijelaskan Ibrahim, dalam beberapa tahun terakhir Kepulauan Bangka Belitung mengalami kondisi keuangan yang fluktuatif dan defisit, termasuk di beberapa daerah. “Pembagian Saham akan mendorong penambahan sumber anggaran tambahan. Lumayan untuk diputar,” katanya.

Selain itu, sebagai pemilik de facto wilayah [lahan] sudah sewajarnya jika pemerintah pusat mempertimbangkan untuk membagikan sahamnya ke pemerintah daerah. “Saya percaya jika hal ini didiskusikan dan dirundingkan sebagai upaya positif bersama, semuanya akan berjalan baik, meski kita harus sadari bahwa ini tidak hanya menyangkut soal political will, tapi juga soal yuridis.”

Terkait soal tuntutan para nelayan, sebenarnya ini merupakan tanggung jawab bersama. Persoalan ini dapat diatasi dengan cara berunding dan mencari solusi terbaik. Penambangan itu memberi makan banyak orang, sementara di sisi lain banyak orang juga kehilangan mata pencahariannya karena wilayah tangkap yang menjauh.

“Saya percaya ada solusi terbaik jika berbagai pihak dapat mengurangi tensi dan tuntutan masing-masing. Prinsipnya, mendengar dan bijak disertai sosialisasi yang persuasif menjadi kata kunci. Pemerintah menurut saya harus mengambil jalan tengah, bukan berat sebelah.”

Baca juga: Bangka, Sejarah dan Situasi Panas Perebutan Timah

 

Kolam eks tambang yang terlihat jelas di Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Lembaga bersama

Seperti halnya di berbagai daerah lainnya di Indonesia, persoalan lingkungan dan sosial menjadi hal yang menonjol dari berbagai aktivitas ekonomi skala besar saat ini. Baik tambang, perkebunan, pertanian, hingga pertambakan.

Ibrahim setuju jika ada lembaga atau forum yang fokus pada persoalan ekoregion di Kepulauan Bangka Belitung.

Lembaga ini kelak akan mengusung isu mangrove dan laut yang saat ini menjadi isu nasional dan internasional. Lembaga ini terdiri berbagai unsur, dari pemerintah, akademisi, NGO, masyarakat dan perusahaan.

“Tujuannya bukan untuk menghentikan aktivitas ekonomi, tapi mengoptimalkan peran kepedulian semua pihak terhadap lingkungan dan sosial. Sehingga sebuah pembangunan akan berjalan secara berkelanjutan. Semua pihak diuntungkan.”

Lembaga ini jika memang hadir akan bekerja berdasarkan semua UU atau kebijakan pemerintah terkait dengan penataan lingkungan.

“Termasuk, komitmen Pemerintah Indonesia di dunia international terhadap upaya pencegahan perubahan iklim global. Sebab, jika komitmen ini tidak diwujudkan dampaknya sangat besar bagi aktivitas ekonomi di Indonesia,” jelasnya.

 

 

Exit mobile version