Mongabay.co.id

Masyarakat Tanjung Punai yang Tidak Bisa Jauh dari Laut dan Mangrove

 

 

Mari [69] bersama dua anak perempuannya Santi [32] dan Masiha [35] panen kerang darah di tambaknya seluas 200 meter persegi, di pantai berlumpur Dusun Tanjung Punai, Rabu [28/4/2021] siang. Kerang darah ditumpuk dalam perahu. Sekitar tiga jam, terkumpul sekitar 40 kilogram.

Tanjung Punai merupakan satu dari tujuh dusun di Desa Belo Laut, Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung. Topografi dusun seluas 600 hektar ini adalah mangrove, dataran rendah, dan rawa. Letaknya diapit Sungai Ahoy dan Sungai Sukai yang masuk DAS [Daerah Aliran Sungai] Selang. Sekitar 175 kepala keluarga hidup mencari ikan, menambak kerang darah, dan berkebun.

“Kami memanen kerang darah setiap hari jika harga jualnya bagus. Dipanen hingga habis, sekitar satu hingga tiga bulan. Sebelum dipanen, kami menunggu enam bulan sejak bibit dimasukkan ke tambak,” kata Mari kepada Mongabay Indonesia, sambil mengumpulkan kerang darah menggunakan tangan.

Saat ini, dari tangan petambak, kerang dibeli seharga Rp20 ribu per kilogram ukuran sebesar jempol kaki orang dewasa. Sementara, Rp15 ribu per kilogram seukuran jempol tangan orang dewasa. “Setiap hari kisaran Rp500-600 ribu dihasilkan,” katanya.

Baca: Mangrove di Bangka Belitung, Beda Dulu dan Sekarang Perlakuannya

 

Proses pencarian kerang darah yang berada di dalam lumpur, di sepanjang pantai Tanjung Punai, Kabupaten Bangka Barat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Namun, penghasilan itu harus dikurangi modal untuk membeli bibit dari nelayan di Sungsang [Sumatera Selatan]. Harganya Rp3-3,5 juta per ton, serta pengeluaran untuk membeli jaring ikan pembatas tambak, yang harus diganti setiap tahun.

“Dari satu ton bibit, dipanen rata-rata tiga ton. Setahu kami, hampir semua kebutuhan kerang darah di Bangka banyak diambil dari dusun ini. Bahkan sebagian lagi dijual ke Palembang,” lanjutnya.

Dijelaskan Mari, pertumbuhan kerang darah di pesisir lumpur dusunnya sangat baik, dibandingkan dusun lainnya di Desa Belo Laut. “Sebab bakau [mangrove] di sini masih bagus. Kami tahu, bakau ini yang menghasilkan makanan bagi ikan dan kerang, sehingga kami tetap menjaganya.”

Seperti warga lainnya di Dusun Tanjung Punai, Mari juga memiliki kebun yang tidak hanya ditanami lada, tapi juga pisang, cabai, terong, labu, dan kangkung.

“Alhamdulillah, alam memberi kehidupan yang baik bagi kami. Kami sangat bersyukur dan terus menjaga bakau ini,” jelasnya.

Baca: Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka

 

Kerang darah di Pantai Tanjung Punai, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ardianeka, Kasi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan KPHP Rambat Menduyung Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjelaskan, luas tambak kerang darah di pesisir Dusun Tanjung Punai sekitar 150 hektar. Dikelola sekitar 50 kepala keluarga.

“Setiap kepala keluarga tidak merata luasan tambaknya. Tergantung modal. Ada yang hanya sanggup mengelola 1 ton per tahun, tapi ada yang hingga 10 ton. Ada ratusan ton kerang darah yang dijual setiap tahunnya, baik untuk kebutuhan masyarakat Bangka hingga ke Palembang,” jelasnya.

Sebagian besar pesisir Dusun Tanjung Punai masuk kawasan Hutan Lindung Tanjung Punai yang luasnya sekitar 2.000 hektar. Letaknya membentang dari Dusun Tanjung Punai hingga ke Kampung Ahoy, di tepi Sungai Ahoy. Pengelola kawasan lindung mangrove ini KPHP Rambat Menduyung.

Baca: Terasi Toboali Bergantung pada Kelestarian Laut Bangka

 

Mari bersama dua anaknya Masiha dan Santi menunjukkan kerang yang mereka dapatkan di sekitar pantai Tanjung Punai, Kabupaten Bangka Barat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mangrove terjaga, hasil laut melimpah

Damsah [42], Kepala Dusun Tanjung Punai, menjelaskan pentingnya mangrove yang lestari. “Kami kalau melaut pasti mendapatkan hasil,” katanya yang setiap hari mencari ikan.

Ikan yang didapat mulai sembilang, belanak, jumpul, teri, tamban, kepetek, pari, selanget juga udang, dan kepiting bakau. “Bahkan kami sering mendapatkan ikan bawal, kerapu, bambang, kakap, yang harganya lumayan tinggi,” katanya.

Dijelaskan Damsah, keberadaan mangrove juga sebagai penanda musim ikan. “Saat mangrove menghijau, tandanya banyak ikan. Kami melaut.”

Baca: Rempah dan Jejak Peradaban Bahari di Kepulauan Bangka Belitung

 

Belangkas yang didapatkan nelayan di pesisir Dusun Tanjung Punai. Setiap kali tertangkap, langsung dilepaskan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di sekitar Dusun Tanjung Punai juga banyak didapatkan belangkas [Limulidae]. Namun, belangkas yang dilindungi ini tidak diburu nelayan. Mongabay Indonesia melihat seorang nelayan langsung membuang belangkas yang tertangkap di jaringnya.

“Diambil hanya untuk obat. Belangkas sering merusak jaring,” kata Damsah.

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, mangrove di Tanjung Punai terdiri empat lapis, sepanjang 200 meter dari garis pantai. Lapisan pertama, yakni perepat [Sonneratia alba]. Lapisan kedua bakau [Rhizophora], ketiga adalah nyiri batu [Xylocarpus moluccensis], keempat berupa nipah [Nypa fruticans Wurmb], dan nibung [Oncosperma tigillarium syn. O. filamentosum].

Baca juga: Terasi Batu Betumpang Bertahan karena Laut dan Mangrove Terjaga

 

Pertambakan kerang darah yang dikelola sederhana, menggunakan jaring sebagai pembatas tambak. Para pemiliknya mengawasi dari pondok kecil. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Potensi ekonomi dan wisata pendidikan

Ardianeka menilai, berbagai potensi yang ada di Dusun Tanjung Punai dapat dikembangkan sebagai sumber ekonomi berkelanjutan.

Pertama, pertambakan kerang darah yang perlu ditata dengan tambak permanen dan diatur luasan petaknya. Tujuannya, agar setiap warga dapat terlibat serta tidak ada pengeluaran setiap tahun untuk membeli jaring baru. Serta, pengembangan produk hiliran dari kerang darah. Misal, dijual dagingnya dalam bentuk kalengan. Sementara kulitnya yang mengandung kalsium karbonat dapat diolah sebagai pakan ternak.

“Jika ditata produksinya jauh lebih optimal, bisa menjadi pemasukan pemerintah daerah.”

 


 

 

Kedua, penangkaran belangkas. Hewan yang dikenal sebagai horseshoe crab ini, selain memiliki khasiat sebagai pendeteksi racun, juga menjadi daya tarik wisatawan karena merupakan hewan purba yang telah hidup sekitar 430 juta tahun lalu.

“Untuk mangrove, selain terus menjaga kelestariannya perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi semua jenis dan potensinya.”

Terakhir, sekitar tiga kilometer dari garis pantai terdapat Karang Berang Berang. Lokasi ini merupakan spot diving wisatawan.

“Lokasi ini dikenal keindahan karangnya. Banyak ditemukan bulu babi dan kerang kima serta clownfish yang menjadi tokoh film kartun “Finding Nemo” yang terkenal itu,” katanya.

 

Jajaran pohon perepat sebagai lapisan pertama Hutan Lindung Mangrove Tanjung Punai. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sukirman, Bupati Bangka Barat, kepada Mongabay Indonesia, Rabu [28/04/2021], mengatakan sangat mendukung upaya pemerintah pusat untuk melindungi mangrove. Namun, pihaknya menginginkan perlindungan itu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.

“Upaya melindungi mangrove sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat sangat kami dukung. Kami juga tengah mengupayakan hal tersebut, seperti di Dusun Tanjung Punai dan Desa Pusuk,” paparnya.

 

 

Exit mobile version