- Sejarah peradaban Kepulauan Bangka Belitung sebagian besar dibentuk oleh masyarakat penambang timah.
- Dalam 20 tahun terakhir, banyak kawasan mangrove rusak oleh penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung.
- BRGM yang akan melakukan restorasi mangrove di Kepulauan Bangka Belitung harus juga memperhatikan mangrove yang masih terjaga. Sebab RZWP3K memberikan zonasi tambak dan wisata di wilayah pesisir Kepulauan Bangka Belitung.
- Pemanfaatan wilayah pesisir atau mangrove sebagai tambak dan wisata dinilai ada sisi positifnya, dan banyak juga sisi negatifnya.
Sejarah peradaban Kepulauan Bangka Belitung sebagian besar dibentuk oleh masyarakat penambang timah. Dimulai dari masa Kedatuan Sriwijaya, Kesultanan Palembang, hingga VOC, Inggris, dan Belanda. Para penambang, perajin dan pedagang timah ini didatangkan dari Johor, Malaka, Vietnam, Patani, Laos, Kamboja, Siam, hingga Tiongkok [Hakka]. Namun, selama ratusan tahun, penambangan tersebut tidak merusak mangrove.
“Dari berbagai sumber yang kami dapatkan, pada saat itu tidak ada penambangan timah dilakukan di wilayah pesisir atau mangrove. Jadi, saat itu diperkirakan mangrove tetap terjaga, meskipun aktivitas penambangan timah sudah dilakukan,” kata Zulvan Setiawan, Manager GIS dan Data Base Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [25/2/2021].
“Aktivitas penambangan timah dipesisir Bangka Belitung mulai terjadi pada masa pemerintahan Indonesia seperti sekarang ini,” ujar Zulvan.
Dengan kondisi mangrove terjaga, akhirnya membuat sejumlah suku laut menetap dan hidup di wilayah pesisir. “Mangrove menyediakan sumber pakan, papan [kayu untuk kapal], air bersih, habitat ikan, dan pelindung permukiman dari badai,” katanya.
Masyarakat melayu Kepulauan Bangka Belitung, serta para pendatang terkait aktivitas penambangan timah, terus menjaga mangrove. “Sebagai sebuah kepulauan yang masuk jalur angin muson, ancaman badai dan angin kencang sangat besar, sehingga mereka menjaga mangrove sebagai benteng atau pelindung,” jelasnya.
Baca: Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka
Dengan terjaganya mangrove selama eksploitasi timah yang berlangsung ratusan tahun, kata Zulvan, membuktikan jika peradaban masyarakat Bangka Belitung seperti yang dikatakan Dato Akhmad Elvian [budayawan dan sejarawan Bangka Belitung] sebagai peradaban timah, tetap arif dengan lingkungan, khususnya mangrove.
Mengapa penambangan timah tidak dilakukan di wilayah mangrove pada masa Sriwijaya, Kesultanan Palembang, VOC, Inggris dan Belanda? “Sebab mereka tidak memiliki pengetahuan dan teknologi bagaimana penambangan tidak akan merusak lingkungan mangrove. Jadi, mereka memutuskan untuk tidak melakukannya.”
Lalu, pada saat ini, ketika dilakukan penambangan timah di wilayah mangrove di Kepulauan Bangka Belitung, apakah sudah didukung pengetahuan dan teknologi yang menjaga lingkungan? “Tampaknya tidak. Buktinya banyak dampak lingkungan yang dirasakan. Mangrove hilang, laut tercemar. Terutama dilakukan penambangan tambang inkonvensional,” katanya.
Dr. Ibrahim, Rektor Universitas Bangka Belitung, yang menulis buku “Sengkarut Timah dan Gagapnya Ideologi Pancasila” berdasarkan penelitiannya memaparkan, di masa lalu [sebelum pemerintahan Indonesia] belum pernah dilakukan penambangan timah di wilayah mangrove.
“Ratusan tahun dieksplorasi timah di Bangka Belitung, lingkungan tetap terjaga. Tapi setelah reformasi, 20 tahun terakhir, kerusakan lingkungan cukup parah, termasuk kawasan mangrove,” kata Ibrahim kepada Mongabay Indonesia, Kamis [25/2/2021].
Baca juga: Berharap Mangrove di Pesisir Barat Pulau Bangka Tetap Terjaga
Bukan hanya restorasi yang rusak
Dijelaskan Zulvan, Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung dan pemerintah pusat sebenarnya sudah tahu jika banyak mangrove di wilayah ini mengalami kerusakan akibat penambangan timah.
Berdasarkan kajian Walhi Bangka Belitung, yang dikutip dari sejumlah data, selama 20 tahun terakhir, kepulauan ini kehilangan hutan mangrove sekitar 240.467,98 hektar atau tersisa 33.224,83 hektar.
“Jadi, kami sangat mendukung upaya pemerintah melakukan restorasi mangrove melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove [BRGM]. Tapi sasarannya, menurut kami, bukan hanya mangrove yang rusak, juga yang masih terjaga,” kata Zulvan.
Mengapa?
Sebab berdasarkan SK No.3 Tahun 2020 tentang RZWP3K [Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil] Kepulauan Bangka Belitung, wilayah pesisir [mangrove] juga akan dimanfaatkan untuk usaha pertambakan. Pertambakan ini juga memanfaatkan puluhan pulau lainnya.
“Kami kurang setuju jika mangrove yang rusak solusinya dijadikan tambak. Sebab, tambak tidak akan berfungsi seperti mangrove sebagai benteng, habitat ikan, penjaga arus laut, dan penjaring air laut ke daratan,” kata Zulvan.
Wacana pemanfaatan mangrove yang rusak sebagai lokasi tambak udang pernah dilontarkan Abdul Fatah, Wakil Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, dikutip dari Kompas.com. “Jadi hutan mangrove yang rusak, solusinya dikembalikan kondisinya seperti semula. Direstorasi,” ujarnya.
Selain itu, penetapan kawasan wisata dan tambak di kawasan mangrove juga menjadi ancaman. “Sebab wisata dan tambak itu kemungkinan besar akan membuka lahan untuk infrastruktur penunjangnya. Selain menumpuknya sampah dan adanya limbah,” lanjutnya.
Jika pertambakan dan wisata sebagai solusi ekonomi, kata Zulvan, masih dapat dilakukan upaya lain. “Misalnya, pertambakan tradisional dengan pakan alami dilakukan di perairan, serta pengembangan ekonomi dari hasil hutan mangrove, seperti obat-obatan, madu, dan lainnya. Coba hal tersebut yang dioptimalkan,” katanya.
Positif dan negatif
Arthur M. Farhaby, peneliti mangrove dari Universitas Bangka Belitung menilai, pemanfaatan mangrove sebagai tambak dan wisata, dapat berdampak positif maupun negatif bagi keberlanjutan ekosistem pesisir di Pulau Bangka.
“Itu semua tergantung pada fungsi pengawasan yang dilakukan pemerintah maupun dinas terkait. Menurut saya, semua aturan terkait aktivitas tersebut telah dirumuskan dengan baik oleh pemerintah. Seperti pemanfaatan kawasan, sesuai dengan zona peruntukannya: zona inti, zona penyangga, zona konservasi, dan zona pemanfaatan” katanya kepada Mongabay Indonesia, Kamis [25/2/2021].
Tetapi menurut Arthur, ancaman yang besar disebabkan adanya pembukaan lahan tidak bertanggung jawab di kawasan mangrove, serta proses pengelolaan limbah yang tidak ramah lingkungan.
“Ancaman aktivitas tambak sudah muncul sejak pembukaan lahan [mangrove], belum lagi limbah pakan serta proses sterilisasi awal kolam tambak yang menggunakan bahan kimia, berbahaya bagi lingkungan. Oleh karena itu, instalasi pengelolaan air limbah sangat penting,” lanjutnya.
Begitu pun dengan wisata, pembanguan fasilitasnya harus tetap berdasarkan aturan yang telah ditetapkan, jangan sampai mengubah bentang ekosistem mangrove. Ancaman-ancaman yang bersumber dari aktivitas antropogenik, seperti pembangunan, limbah, sampah, dan sebagainya, menjadi ancaman serius kelestarian mangrove, yang hari ini mempunyai peran penting dalam lingkungan.
“Keseimbangan antar-zona inti, penyangga, dan konservasi dengan pemanfaatan harus diperhatikan. Setiap aktivitas pemanfaatan, baik untuk tambak maupun wisata harus sesuai prosedur yang telah ditetapkan, dari awal perencanaan, pengelolaan hingga pengawasan,” katanya.