Mongabay.co.id

Siklon Tropis Seroja Rusak Tanaman Pertanian di NTT 

 

Dampak Siklon Tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur (NTT) bukan saja mengakibatkan korban jiwa dan berbagai kerusakan infrastruktur, namun juga terhadap sektor pertanian. Badai ini menyebabkan rusaknya tanaman pertanian dan lahan pertanian.

Seperti dikutip dari rri.co.id, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Nagekeo, Oliva Monika Mogi, menjelaskan terjadi kerusakan lahan sawah milik petani seluas 30,48 ha di dua kecamatan.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Belu, Gerardus Mbulu seperti dikutip dari timex.com mengakui terjadi kerusakan tanaman hortikultura dan perkebunan.

Gerardus menyebutkan, di Kecamatan Raihat terjadi kerusakan lahan sawah di Desa Asumanu seluas 31,02 ha, Desa Tohe 6 ha dan Desa Manumutin 12,1 ha. Juga kerusakan tanaman cabai di Desa Tohe sejumlah 5 ha dan Desa Manumutin 26 ha. Lahan kacang hijau seluas 0,5 ha di Desa Manumutin juga terdampak.

Geradus katakan kerusakan terjadi akibat meluapnya air dari Bendungan Maubusa akibat rusaknya saluran irigasi. Kerusakan lahan dan tanaman pertanian ini masuk kategori ringan dan berat.

Ia menambahkan kerusakan tanaman pertanian juga terjadi di Desa Takirin, Kecamatan Tasifeto Timur. Luas lahan padi yang terdampak 2,36 ha dan masuk klasifikasi rusak ringan.

baca : COVID-19 Berdampak pada Petani dan Ketahanan Pangan di NTT. Apa Solusinya?

 

Tanaman tomat di lahan pertanian di Kelurahan Wailiti, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, NTT yang daunnya mengering dan buah tomatnya kecil dan terserang hama akibat dampak Siklon Tropis Seroja. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, di Desa Fatuketi, Kecamatan Kakuluk Mesak terdapat 2,5 ha lahan padi progam food estate mengalami rusak ringan akibat banjir dari Bendungan Rotiklot.

Sementara di Desa Tasain, Kecamatan Rai Manuk, lahan padi yang rusak 8,6 ha, lahan jagung 24,7 ha, kacang tanah 3,58 ha, cabai merah 32,32 ha, sayuran 11,91 ha dan bawang merah 0, 39 hektare rusak diterjang banjir.

Kabid Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Kabupaten Malaka, Fransiskus Nahak seperti dikutip dari koranntt.com, menyebutkan dari total 5.082 ha sawah di Kabupaten Malaka, tercatat 3.491 ha sawah rusak.

  

Lingkungan Lembab

Selain padi, tanaman serelia lainnya seperti sorgum juga terkena dampak. Hampir semua sentra produksi sorgum di NTT terkena dampak badai siklon tropis Seroja.

Pegiat sorgum Maria Loretha kepada Mongabay Indonesia mengakui ada penurunan produksi akibat badai Siklon Tropis Seroja yang mengakibatkan tingginya curah hujan.

Menurutnya, di sentra produksi sorgum Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, hanya 5 petani saja yang menanam sorgum di bulan Februari.

“Saya meminta petani jangan menanam dahulu saat musim hujan telah tiba di bulan Desember 2020 karena telah ada himbauan dari BMKG soal akan adanya badai siklon tropis,” ucapnya.

baca juga : Food Estate di NTT Jangan Hanya di Lahan Basah. Kenapa?

 

Sorgum jenis kwali yang belum dipanen dan bulirnya berwarna kehitaman saat disaksikan di sentra produksi sorgum di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ketua kelompok tani sorgum Likotuden, Bonifasius Soge Kolah yang ditemui Mongabay Indonesia di dusunnya, Selasa (18/5/2021) mengakui banyak biji sorgum yang berwarna hitam akibat curah hujan tinggi.

Boni sapaannya mengatakan jumlah sorgum yang bijinya berwarna hitam bisa mencapai 50% dari total produksi. Dari total 46 anggota kelompok, hanya 5 petani yang menanam di bulan Februari sehingga tidak terdampak.

Warna hitam pada sorgum tersebut, jelasnya, hanya di bagian kulit arinya saja sementara isi atau berasnya tidak. Dia mengakui semua produksi sorgum dijual ke koperasi sorgum di kelompok taninya.

“Semua hasil produksi sorgum petani dijual ke kelompok dalam bentuk gelondongan. Tapi harus ditapis terlebih dahulu dan kadar airnya 9,5 persen,” jelasnya.

Boni mengaku petani harus memisahkan dahulu biji sorgum yang berwarna hitam. Harusnya sorgum yang rusak ini bisa dijadikan makanan ternak seperti babi. Namun babi milik warga mati semua akibat terserag virus Demam Babi Afrika (ASF).

Dia paparkan produksi sorgum kelompok taninya tahun 2020 lalu sebanyak 31 ton dan panen kedua 7 ton. Untuk musim tanam tahun 2020/2021, petani sedang melakukan proses penjemuran pasca produksi.

“Hasil produksi tahun ini diperkirakan turun drastis. Pemerintah mau membeli sorgum dari petani sebanyak 12 ton tapi dalam tiga tahap hingga akhir tahun 2021,” ucapnya bangga.

perlu dibaca : Pemerintah Berencana Kembangkan Sorgum secara Komprehensif di NTT. Seperti Apa?

 

Perempuan Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur pulang dari ladang sorgum. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Serelia, Balitbangtan Kementerian Pertanian, Dr. Marcia Bunga Pabendon saat ditanyai Mongabay Indonesia menyebutkan curah hujan tinggi menyebabkan kondisi lingkungan jadi lembab sehingga hama dan utamanya penyakit tumbuh subur.

Selain itu, malai menjadi hitam karena serangan jamur (penyakit). Penyakit lain adalah munculnya karat daun dan antraknose pada batang sorgum.

“Usahakan panen pada saat musim kemarau. Saat panen raya jangan dijual semua hasil produksinya, harus ada stok untuk hal tidak terduga,” pesannya.

Marcia meminta petani agar memperhatikan rambu-rambu dari BMKG. Ia sebutkan, sejak awal BMKG sudah menginformasikan bahwa periode musim hujan akan lebih panjang.

Hal tersebut, terkait erat dengan waktu tanam supaya bisa dipanen saat musim kemarau. Khusus untuk sorgum, sambungnya, potensi ratun bisa dimanfaatkan dengan cara memotong batangnya segera jika sudah panen dengan menyisakan 5-10 cm di atas permukaan tanah.

“Tunas akan segera keluar, mudah-mudahan masih ada sisa-sisa air atau masih cukup lembab sehingga ratun dapat tumbuh dengan baik. Biasanya tunas yang keluar terlalu banyak sehingga sisakan satu  atau dua tunas saja supaya batang dan malai dapat tumbuh optimal,” sarannya.

baca juga : Mimpi NTT Menjadi Ikon ‘Republik Sorgum’ (Bagian 2)

 

Sorgum yang ditanam di pinggir jalan raya di Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Berikan Ganti Rugi

Petani sorgum Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Lukas Lewar saat ditemui Mongabay Indonesia, Selasa (18/5/2021), sibuk menapis biji sorgum yang baru selesai diproses di mesin perontok.

Lukas mengaku kewalahan menapis dan menggunakan alat pengayak pasir sebab banyak sekali biji sorgum berwarna kehitaman. Dia menjual hasil panen seharga Rp10 ribu per kilogram di koperasi kelompok tani.

Ia bersedih produksi sorgum tahun 2021 turun hingga 50% dibandingkan tahun 2020 lalu yang mencapai lebih dari 1 ton.

Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (8/5/2021) menyarankan agar pemerintah harus melakukan ganti rugi terhadap petani sebagaimana perintah Undang-Undang No.19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Umbu Wulang sebutkan dalam pasal 7 poin e, pemerintah melakukan ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa. Ia tegaskan, badai Seroja merupakan kejadian luar biasa, maka pemerintah harus melakukannya.

“Petani, kelompok tani dan organisasi petani bisa meminta hak mendapatkan ganti rugi tersebut kepada pemerintah,” sarannya.

baca juga : Boro Tinggalkan Kemapanan di Belanda, Garap Sorgum di Pulau Adonara, Apa yang Dicarinya?

 

Hamparan lahan sorgum yang telah panen dan memasuki ratun pertama di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary.Mongabay Indonesia.

 

Umbu Wulang menegaskan proses ini harus dilakukan untuk memastikan petani merasa dilindungi. Kalau tidak, petani akan malas bertani lagi dan ini berbahaya bagi keberlanjutan pangan.

Ia meminta pemerintah harus melakukan pemulihan kawasan pertanian serta memetakan ulang daya dukung lingkungannya. Selain itu, kedepannya, pemerintah perlu memperkuat dan melakukan penyadartahuan tentang adaptasi dan mitigasi terhadap pertanian kita.

Dia menjelaskan adaptasi yang dimaksud, pemerintah harus mendorong pangan yang cocok dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang tetap memperhitungkan unsur kebencanaan.

“Misalnya tanaman pangan yang bisa cepat dipanen sebelum bencana terjadi misalnya. Bencana seperti siklon Seroja kan bisa di prediksi waktunya,” ucapnya.

Menurut Umbu Wulang, mitigasi yang dimaksud adalah pemerintah sudah harus peka dengan perubahan iklim. Sarannya, mitigasi termasuk peringatan dini harus dilakukan terus menerus.

Ia sebutkan, Siklon Seroja merupakan bagian dari dampak perubahan iklim dan oleh karena itu, pemerintah harus benar serius mengelola ini. Jika tidak, ancaman krisis pangan akan membesar dan meluas.

Dia menambahkan untuk memperkuat proses ini, pemerintah provinsi NTT perlu membuat Peraturan Daerah (Perda) perlindungan dan pemberdayaan petani.

“Pemerintah juga berhenti meluaskan ekspansi investasi industri skala besar, terutama di kawasan penghidupan petani. Hal ini justru kontra produktif dengan upaya perlindungan lahan pertanian dan petani,” pungkasnya.

 

Exit mobile version