Mongabay.co.id

Warga Minta Aktivitas Tambang Galian C di DAS Konga Dihentikan, Kenapa?

Aktivitas penambangan di kawasan Gunung Paleteang, Pinrang, Sulsel, dinilai merusak lanskap alam, menimbulkan polusi dan sedimentasi, berdampak pada lingkungan, kesehatan dan ekonomi warga. Foto: Walhi Sulsel

 

Warga dan pemerintah Desa Konga, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur meminta agar pemerintah segera mencabut izin tambang bahan galian golongan C di Kali Konga. Aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh PT.Telenta Jaya Relatindo sejak 2006 itu telah berulangkali dipersoalkan warga.

Pada Agustus 2014, warga Desa Konga mengadukan permasalahannya ke Komisi A DPRD Flores Timur. Warga menuntut Bupati Flores Timur mencabut izin usaha pertambangan (IUP) tersebut.

“Tuntutan warga mengacu pada perintah bupati setahun sebelumnya agar kontraktor melakukan normalisasi sungai, tapi tidak dilaksanakan. Selain itu warga menilai IUP tersebut cacat hukum karena tidak ada AMDAL (analisis dampak lingkungan) yang menyertainya,” sebut Antonius Blantaran de Rozari, warga Desa Konga saat ditemui Mongabay Indonesia di Kantor Desa Konga, Selasa (18/5/2021).

Toni sapaannya menjelaskan, menindaklanjuti pengaduan warga, Pemda melalui Dinas PU dan LHK melakukan survey. Hasilnya perlu ada normalisasi Sungai Konga dengan memasang kawat bronjong sepanjang DAS mulai dari bendungan sampai dengan jembatan, dan harus dilakukan penghijauan DAS diikuti penanaman bambu sepanjang DAS. Tapi kenyataannya kawat bronjong hanya dipasang di satu lokasi dan terbukti tidak efektif.

“Untuk memperlambat kerusakan, warga bekerja sama dengan Gereja Katolik melalui program Aksi Puasa Pembangunan 2017 melakukan penanaman pohon bambu di sejumlah titik DAS Kali Konga di bulan April 2017,” terangnya.

baca : Rusak Lingkungan, Tambang Galian C Resahkan Warga Sumba

 

Bagian tengah Kali Konga, Desa Konga, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, NTT yang tertimbun batu dan difungsikan sebagai jalan bagi kendaraan untuk mengangkut material. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Terjadi Abrasi dan Longsor

Sejak puluhan tahun, warga mengandalkan air dari Kalo Konga untuk mengairi hamparan areal persawahan terluas di Kabupaten Flores Timur.

Areal persawahan di Desa Konga seluas 280 ha dan masih bisa diperluas, yang dikelola warga Desa Konga, Kobasoma dan Lewolaga. Mayoritas warga Desa Konga hidup dari pertanian. Selain padi dan jagung, warga juga menanam hortikultura dan tanaman perkebunan seperti mete, kelapa dan kakao.

Desa Konga ketinggiannya berkisar 0-30 mdpl, topografi sebagian besar wilayahnya berupa hamparan datar yang dikelilingi perbukitan. Suhu rata-rata harian antara 27-31 ˚C dan kelembaban berkisar 80-100%.

Pola iklimnya,musim kemarau (Ekan Kolin) bulan April sampai Oktober dan musim hujan (Ekan Warat) bulan November sampai dengan Maret dengan jumlah hari hujan dalam setahun berkisar antara 50 sampai 100 hari.

Dalam dokumen laporan yang dikirimkan ke Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disebutkan izin Usaha Penambangan (IUP) galian golongan C Kali Konga diberikan kepada Kontraktor Talenta Jaya Retalindo pada tahun 2006.

Tidak ada informasi yang pasti menyangkut keberadaan AMDAL yang menyertainya. Yang ada hanyalah informasi kontribusi per tahun untuk Desa Konga sebesar Rp6 juta/tahun.

Selain kontrak dengan Pemda, ada kontrak lain yaitu penyewaan lahan milik warga desa untuk lokasi pengolahan agregat batu kali. Kontrak ini berakhir pada bulan Juli 2017 dengan pilihan perpanjangan setiap selama lima tahun.

Toni menjelaskan penggalian material kali berdampak pada abrasi di kiri kanan alur kali, dan penyempitan lahan pertanian karena sering terjadi longsor. Penambangan juga meruntuhkan tembok penahan di sisi utara pada April 2017.

“Hujan deras yang terjadi pada tanggal 26 dan 28 Maret serta 2 April 2017, menyisakan tumpukan pasir yang makin tinggi. Bila hal ini berlanjut maka permukaan air semakin tinggi saat terjadi hujan deras dan meluap menggenangi areal persawahan,” terangnya.

baca juga : Akademisi: Hati-hati! Tambang Galian C Palu dan Donggala Rawan Gempa

 

Areal persawahan di Desa Konga,Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Kepala Desa Konga, Aloysius Sinyo Kung menambahkan, selain abrasi dan longsor, penambangan berdampak pada berkurangnya pasokan air untuk sawah bagi petani.

“Kalau dulu lapisan batunya besar tapi karena sering digali hingga lapisan tanah maka terjadi peresapan air di sisi selatan areal persawahan Kali Konga. Lahan pertanian mulai tergerus air karena perusahaan mengubah alur aliran sungai,” ungkapnya.

Aloysius menyebutkan, bronjong yang dipasang perusahaan yang telah hancur pun dibiarkan tidak diperbaiki, Dia menduga, kalau diperbaiki maka perusahaan tidak bisa mendapatkan batu. Ia katakan, saat hujan maka tanah di pinggir kali akan longsor dan terbawa banjir, menyisakan bebatuan yang akan diambil perusahaan.

 

Perlu Investigasi

Di Desa Konga, telah dibentuk tim penolakan yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuda, BPD dan pemerhati lingkungan. Tim tersebut telah melakukan kajian dampak penambangan dengan kesimpulan jenis tanah lempung di kawasan DAS tersebut adalah tanah lempung berpasir yang mengakibatkan perembesan air ke lokasi-lokasi yang rendah di sekitarnya.

Akibat penggalian dasar sungai, kata Toni, air dibelakang bendungan merembes ke sungai dan berakibat menurunnya debit air irigasi untuk mengairi persawahan dan kawasan budi daya aneka cabai.

Kedua, luapan air sungai, timbunan tanah dan pasir lambat laun akan membentuk sedimentasi dasar sungai yang berakibat pendangkalan sungai.  Terbukti, pada musim hujan, permukaan air sungai semakin meninggi dari tahun ke tahun.

“Cepat atau lambat luapan air di musim hujan akan membanjiri areal persawahan dan mengakibat petani gagal panen,” ungkapnya.

perlu dibaca : Banjir Bandang Melanda Wilayah NTT. Apa yang Harus Dilakukan?

 

Tanah di lahan pertanian yang berada di bantaran Kali Konga, Desa Konga, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, NTT yang mengalami longsor dan tergerus air saat hujan. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Toni tegaskan, apabila tidak ditindaklanjuti kedua potensi kerusakan di atas akan menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang akan dirasakan oleh penduduk  Desa Konga, Kobasoma dan Lewologa yang hidupnya bertani di areal persawahan Konga.

Dia paparkan, berdasarkan hasil kajian tim maka direkomendasikan penghentian aktivitas penambangan galian golongan C di Kali Konga dan izin penambangan tidak boleh diperpanjang. Serta perlu investigasi keberadaan AMDAL yang menjadi persyaratan IUP penambangan galian golongan C di Kali Konga.

Bila Amdal terverifikasi, perlu ditelusuri pelaksanaan kewajiban kewajiban sesuai Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).

“Perlu survey dan evaluasi tingkat kerusakan yang dilakukan oleh pihak
independen. Perlu tindakan kuratif dan preventif untuk mencegah kerusakan lebih
jauh yang berdasarkan rekomendasi dari tim independen desa,”ungkapnya.

Tim itu sendiri telah mengirimkan hasil kajian tentang DAS Konga kepada Komisi B DPRD Flores Timur pada 5 Mei 2021.

 

Harus Dihentikan

Wakil Bupati Flores Timur, Agustinus Payong Boli kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (22/5/2021) mengatakan galian golongan C memang berdampak besar terhadap lingkungan.

Agus sapaannya sebutkan, apabila dalam kajian merugikan masyarakat dan merusak lingkungan maka izin tentu tidak diberikan. Jika ada kerugian maka penyelesaiannya bisa melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan.

“Sebelum diperpanjang kontrak akan dilakukan kajian lingkungan hidup. Tambang Galian Golongan C memang kewenangannya di pemerintah provinsi tapi kabupaten berhak melakukan kajian,” ucapnya.

Agus katakan, ada tiga aturan yang jadi rujukan yakni Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), Peraturan Pemerintah No.27/2012 tentang Izin Lingkungan, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.17/2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan dan Isi Lingkungan.

Dia jelaskan, apabila ada pribadi atau badan hukum yang melakukan pengrusakan lingkungan hidup maka penyelesaiannya bisa melalui tiga langkah, yakni yakni lewat penggadilan pidana,perdata dan jalur administrasi atau penyelesaian lahan sengketa di luar pengadilan atau nonlitigasi (mediasi).

“Apabila setelah dilakukan kajian aktifitas penambangan Galian Golongan C dampaknya merugikan lingkungan dan masyarakat maka lebih baik tidak diberikan izin,” tegasnya.

baca juga : Survey Walhi : Rapor Merah Kinerja Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Pemprov NTT

 

Kondisi Bendungan Konga yang berada di DAS Desa Konga, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, NTT yang mengalami kerusakan akibat tergerus air. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Divisi Sumber Daya Alam WALHI NTT, Yuvensius Nonga kepada Mongabay Indonesia, Minggu (23/5/2021) menegaskan, akibat Galian Golongan C di DAS menyebabkan terjadinya privatisasi air.

Yuven sapaannya katakan, rata-rata izin diperoleh di DAS, dan perusahaan selalu melakukan aktivitas di daerah hulu. Akibatnya, lahan pertanian di daerah hilir akan terkena dampak.

“Kami sering mendapatkan pengaduan masyarakat soal galian golongan C di kali atau sungai. Kami merekomendasikan aktivitas ini harus dihentikan,” tegasnya.

Yuven beralasan, penambangan di wilayah hulu sementara areal pertanian masyarakat di daerah hilir akibat dari kebijakan pemerintah yang basisnya tidak berdasarkan daya tampung dan daya dukung lingkungan.

Ia paparkan, UU No.32/2009 tentang PPLH menyebutkan apabila ada pembangunan maka di sekitar lokasinya di cek ada sektor apa yang dikembangkan. Ada pemukiman, lahan pertanian ataukah wilayah kelola masyarakat.

“Ini yang dikaji kalau secara hukum di Undang-Undang PPLH yang disebut Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS),” terangnya.

Yuven sesalkan, pemerintah biasanya bicara itu sudah sesuai RTRW. padahal sebutnya, Undang-Undang PPLH menegaskan rencana detail tata ruang harus berbasis pada KLHS.

***

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Aktivitas penambangan di kawasan Gunung Paleteang, Pinrang, Sulsel, dinilai merusak lanskap alam, menimbulkan polusi dan sedimentasi, berdampak pada lingkungan, kesehatan dan ekonomi warga. Foto: Walhi Sulsel

 

Exit mobile version