Eksploitasi tambang galian C untuk industri asphalt mixing plant (AMP) di Aibabara, Kelurahan Lambanapu, Kecamatan Kambera Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) dikeluhkan warga karena tak memperhatikan aspek lingkungan. Terlebih lagi, pengerukan tambang ini tanpa disertai selembar izinpun.
Kala pengangkutan, bahan tambang dalam truk tak ditutup terpal hingga debu beterbangan. Jalan juga banyak rusak karena terlalu sering dilintasi truk ukuran besar. Setidaknya, dalam sehari ada lebih dari 50 truk melintas di pemukiman warga.
“Kami sudah mendampingi warga dalam menuntut perbaikan atas penurunan kualitas lingkungan hidup mereka. Kami mendapatkan rekomendasi dari DPRD, maupun dari Badan Lingkungan Hidup Sumba Timur,” kata Arfian, aktivis Bengkel Tolak Tambang NTT, ditemui di kantor Jatam Jakarta, Jumat (7/2/14).
Dia mengatakan, ada dua perusahaan AMP menggunakan bahan galian C di lokasi itu. AMP milik PT Teratai di Kecamatan Kanatang, dan PT Nusa Jaya Abadi (Nusa Jaya) di Kecamatan Papu. Jarak kedua perusahaan ini terpaut 20 kilometer.
Sebenarnya, kata Arfian, sudah ada kesepakatan hasil mediasi 5 Juni 2013. Mediasi antara pengusaha, perwakilan masyarakat dan pemerintah diwakili BLH dan Dinas Pertambangan. “Dalam kesepakatan itu, ada beberapa poin disepakati, antara lain, keinginan masyarakat dan lembaga keagamaan di loaksi tambang galian C diakomodir. “Kepentingan membangun pemukiman masyarakat dan rumah ibadah diakomodir.”
Kesepakatan lain, mobilitas pengangkutan galian C menggunakan kendaraaan 190 PS dihentikan sementara sambil menunggu proses pengurusan izin pertambangan rakyat.
“Artinya, lokasi itu tidak ada izin. Juga tidak ada dokumen Amdal. Tidak ada sama sekali. Di kesepakatan itu ditulis menunggu perizinan pertambangan rakyat. Jadi tambang itu ilegal. Pemerintah sudah mengakui ini.”
Lalu, dalam mobilitas pengangkutan galian, perusahaan harus menutup bak truk pengangkut material dengan terpal agar debu tak beterbangan. Pengangkutan juga harus disesuaikan tonase jalan yang dilewati. Pengusaha bersama PLN harus memindahkan empat tiang listrik yang terkena galian C.
Kemudian, Dinas Pertambangan dan Energi Sumba Timur bersama instansi terkait akan membuat perda retribusi tentang galian C dan bahan tambang lain. “Artinya, ini belum ada perda. Izin tak ada, perda juga tidak ada,” ucap Arfian.
Sayangnya, kesepakatan ini tak pernah dijalankan meskipun sudah hampir setahun.“Masyarakat, terutama di sumber galian merasa tak nyaman. Jalan mereka rusak, berisiko kecelakaan. Kalau di lokasi produksi AMP banyak masyarakat mengalami penyakit.”
Di Nusa Jaya, ada sekitar enam balita sakit saluran pernafasan berat karena pengelolaan tak memperhatikan lingkungan. Pencemaran debu dan hidrokarbon dilepas bebas.
“Keduanya sama-sama bermasalah. Di sekitar Teratai tidak ditemukan masyarakat terkena penyakit karena perusahaan sudah membangun tembok, ada tahapan-tahapan pengelolaan lingkungan, meskipun belum bisa dikatakan layak,” kata Arfian.
Dia merasa heran, karena izin pengambilan material tambang belum ada walaupun izin perusahaan resmi. Seharusnya, kedua perusahaan ini mempunyai izin tambang pengambilan material. “Disitu ada kendala. Kita mempertanyakan dokumen lingkungan mereka. Mereka penuhi dokumen pengelolaan lingkungan. Seharusnya, dokumen evaluasi atau amdal untuk AMP.”
Dokumen lingkungan UKL UPL kedua perusahaan ini juga baru dibuat tahun 2012. Padahal, Teratai beroperasi 2003 dan Nusa Jaya sejak 2008. “Aneh lagi Nusa Jaya tidak ada upaya pengelolaan lingkungan, mengapa punya UKL UPL?”
Pemerintah daerah mengatakan lokasi galian C dipilih berdasarkan permintaan masyarakat supaya meratakan dataran. “Kita bertanya, meratakan tempat kok model seperti ini?”
Arfian berharap, pemerintah bisa konsen terhadap isu lingkungan terlebih NTT diarahkan menjadi koridor pariwisata dan ketahanan pangan. “Tolong diperhatikan proses pembangunan infrastuktur harus sesuai konsep pariwisata dan ketahanan pangan. Bukan memperlancar investasi pertambangan.”
Senada diungkapkan Ki Bagus Hadi Kusuma, Pengkampanye Jatam Nasional. Dia mengatakan, hampir semua proyek-proyek pembangunan infrastruktur tidak memperhatikan keperluan masyarakat dan daya dukung lingkungan. Kondisi ini, langsung berkontribusi besar terhadap peningkatan krisis di sekitar tambang.
Dalam pembangunan infrastruktur, katanya, memerlukan pasokan material galian C sangat besar. “Conton di Sumba Timur, bagaimana pembangunan dermaga meningkatkan eksploitasi galian C. Pasir, batu krikil banyak dalam penggalian sampai pengolahan merusak sumber air masyarakat,” kata Bagus.