Mongabay.co.id

Mencari Formula Tepat untuk Kelola dan Konservasi Hiu dan Paus agar Tidak Punah

 

Hiu dan Pari adalah dua satwa laut yang memiliki tingkat kerentanan sangat tinggi. Walau keduanya masih bisa ditemukan di alam bebas, namun ancaman penurunan populasi kini terus mengintai mereka setiap saat. Pemanfaatan yang berlebihan oleh manusia, menjadi salah satu indikator hal tersebut.

Selain pertimbangan di atas, Hiu dan Pari termasuk satwa laut yang beresiko tinggi, karena karakteristik biologisnya yang lambat untuk mencapai kematangan secara seksual. Kemudian, tingkat fekunditas yang rendah, dan pertumbuhan yang lambat membuat keduanya rentan mengalami kepunahan.

Jika masih ada yang belum tahu apa fekunditas, itu adalah jumlah telur ikan yang sudah matang dan ada di dalam ovari yang nantinya akan dikeluarkan pada saat melakukan pemijahan. Teknik pemijahan sendiri adalah proses mengeluarkan sel telur oleh induk betina dan sperma oleh induk jantan yang kemudian diikuti dengan perkawinan.

Dengan karakteristik yang unik namun terancam oleh kepunahan, Hiu dan Pari menjadi satwa laut yang harus mendapatkan perhatian dari semua pihak. Tak terkecuali, dari Pemerintah Indonesia dan semua pemangku kepentingan yang ada di Indonesia.

Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah memasukkan Hiu dan Pari ke dalam kelompok 20 jenis ikan yang menjadi target konservasi secara nasional pada periode waktu dari 2020 hingga 2024.

Hal yang sama juga terjadi di tingkat internasional, di mana Hiu dan Pari masuk dalam kategori Apendiks pada Konvensi Perdagangan Fauna dan Flora Terancam Punah (CITES). Status tersebut disematkan, karena pemanfaatan Hiu dan Pari sangat tinggi, baik sebagai tangkapan target atau tangkapan di luar target (by catch).

baca : Bagaimana Cara Hentikan Eksploitasi Hiu dan Pari di Indonesia?

 

Salah satu penjual hiu menunggu pembeli di TPI Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Hampir setiap hari ada aktifitas jual beli hiu di TPI yang berada di pesisir Lamongan tersebut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP Tb Haeru Rahayu mengatakan, Hiu dan Pari merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang sangat penting. Perannya bagi ekosistem perairan dan kontribusinya bagi ekonomi masyarakat pesisir sangatlah signifikan.

“Keberadaan jenis ikan ini di suatu perairan merupakan salah satu indikator kunci kesehatan laut,” ujar dia, belum lama ini dalam sebuah acara di Bandung, Jawa Barat.

 

Perlindungan Penuh

Tentang masuknya Hiu dan Pari ke dalam kelompok 20 jenis ikan yang menjadi target konservasi, salah satu prosesnya karena telah diterbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perlindungan Jenis Ikan.

Dalam peraturan tersebut, 20 jenis ikan bersirip (pisces) masuk dalam kelompok yang mendapakan perlndungan. Peraturan tersebut ditandatangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada 4 Januari 2021.

Kemudian, pada 7-8 April 2021 digelar Simposium Hiu dan Pari 2021 yang digelar secara virtual tahun ini. Simposium tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengumpulkan masukan ilmiah tentang kebijakan konservasi Hiu dan Pari di Indonesia.

“Kegiatan ini juga bagian dari implementasi Rencana Aksi Nasional Konservasi yang telah disusun,” terang Tebe Haeru.

Setelah kegiatan simposium digelar, KKP fokus merumuskan ringkasan kebijakan (policy brief) tentang strategi pengelolaan dan konservasi Hiu dan Pari di Indonesia. Dari situ, kemudian mengerucut menjadi lima rekomendasi untuk pengelolaan dan konservasi Hiu dan Pari.

baca juga : Diantara Pasar dan Jaminan Kebijakan: Mencermati Ancaman Eksistensi Hiu dan Pari di Indonesia

 

Perburuan hiu dilakukan karena sudah turun temurun, ditambah ada pemodal yang menyediakan perahu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kelima rekomendasi yaitu pertama adalah meningkatkan upaya pengumpulan data dan informasi Hiu dan Pari dalam identifikasi habitat kritis, pemetaan distribusi, pengumpulan data biologi, dan populasi. Kedua, menggunakan format yang seragam dan legal dalam pengumpulan dan pelaporan data Hiu dan Pari secara nasional.

“Termasuk sentralisasi data hiu dan pari melalui insiatif pembentukan kelompok kerja,” jelas dia.

Ketiga, adalah penguatan pengelolaan Hiu dan Pari di Indonesia, melalui mitigasi by catch atau modifikasi alat tangkap, peraturan perlindungan penuh atau terbatas beberapa spesies Hiu dan Pari yang terancam punah, peraturan terkait pendaratan utuh Hiu dan Pari di lokasi pendaratan, pengaturan ukuran tangkap minimum, dan legalisasi serta implementasi Rencana Aksi Nasional (RAN).

Keempat, dokumentasi data dan informasi yang berbasis ilmiah untuk mendukung pengelolaan dalam bentuk buku putih pembaharuan status Hiu dan Pari, termasuk kisah sukses (success story) sebagai pembelajaran bagi pihak yang lebih luas.

Kelima, meningkatkan kolaborasi antar pihak termasuk lembaga adat, pemerintah daerah dan penegak hukum melalui peningkatan kapasitas dan bimbingan teknis di lokasi-lokasi target dengan terus memperhatikan kesetaraan gender.

“Rekomendasi kebijakan ini dihasilkan berdasarkan beberapa temuan penting, isu, dan kesenjangan pengelolaan sesuai hasil simposium, baik dari aspek biologi dan ekologi, sosial dan ekonomi, serta pengelolaan dan konservasi,” papar Tb Haeru Rahayu.

baca juga : Masyarakat Harus Jadi Aktor Utama Kendalikan Eksploitasi Hiu dan Pari

 

Perdagangan ikan hiu di TPI Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timur, NTB pada Minggu (16/02/2014). Foto : LPSN Lombok Timur/Mongabay Indonesia

 

Habitat Penting

Terpisah, Direktur Konservasi dan Kenakeragaman Hayati Laut (KKHL) KKP Andi Rusandi mengatakan, sebagai satwa penting yang harus dilindungi, Hiu dan Pari memiliki sejumlah habitat penting di Indonesia.

Contohnya, perairan Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi habitat penting untuk Hiu Tikus, demikian juga dengan Pari, khususnya Pari Mobula yang memiliki habitat penting yang ada di perairan Selat Bali.

Temuan penting lainnya, terungkap bahwa laju eksploitasi Hiu Martil dan Pari Kekeh di Laut Jawa ditemukan sudah dalam tingkatan yang tinggi. Untuk itu, menurutnya diperlukan pengaturan penangkapan di Laut Jawa agar tetap lestari kedua jenis Hiu dan Pari tersebut.

Berkaitan dengan masuknya Hiu dan Pari ke dalam kelompok 20 jenis ikan yang mendapatkan perlindungan penuh, itu adalah perlindungan pada seluruh tahapan siklus hidup, termasuk pada bagian tubuhnya dan produk turunannya.

Adapun, ke-20 jenis ikan tersebut, adalah Pari Sungai Tutul, Pari Sungai Raksasa, Pari Sungai Pinggir Putih, Arwana Kalimantan, Belida Borneo, Belida Sumatera, Belida Lopis, Belida Jawa, ikan Balashark, Wader Goa, ikan Batak, Pasa, Selusur Maninjau, Pari Gergaji Lancip, Pari Gergaji Kerdil, Pari Gergaji Gigi Besar, Pari Gergaji Hijau, Pari Kai, ikan Raja Laut, dan Arwana Irian.

“Untuk ikan Arwana Irian statusnya dilindungi terbatas, sedangkan untuk 19 jenis lainnya statusnya dilindungi secara penuh,” tegas dia.

baca juga : Kisah Para Pemburu Hiu Pulau Ambo [1]

 

Hiu macan tangkapan nelayan Pulau Ambo, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Direktur Program Kelautan WWF Indonesia Imam Musthofa dalam siaran pers KKP mengungkapkan bahwa dari seluruh hasil tangkapan Hiu yang ada selama ini, sebanyak 72 persen di antaranya adalah tangkapan sampingan atau bycatch.

Fakta tersebut menjelaskan bahwa jika semua pemangku kepentingan ingin sama-sama memberikan perlindungan penuh dan melaksanakan konservasi pada Hiu dan Pari, maka upaya konservasi yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi bycatch.

Untuk itu, agar target bycatch bisa menurun dari waktu ke waktu, Imam Musthofa menilai bahwa sejak saat ini diperlukan pengembangan teknologi mitigasi bycatch. Melalui pengembangan inovasi teknologi yang harus terus dilakukan, maka upaya perlindungan penuh dan konservasi bisa dilakukan.

Sementara, menurut CEO Yayasan WWF Indonesia Dicky P Simorangkir, tantangan terberat dalam melaksanakan konservasi jenis Hiu dan Pari adalah data yang hingga saat ini masih sulit diperoleh. Padahal, data tersebut sangat penting untuk menyusun rencana aksi konservasi yang efektif.

“Laut kita sangat luas, kita perlu kolaborasi dari semua pihak, mulai dari nelayan, petugas penyuluh perikanan, mahasiswa, sampai pengelola wisata selam bersama hiu,” sebut dia.

perlu dibaca : Perdagangan Hiu : Pasar Memicu Kepunahan (3)

 

Pari kikir dan pari kekeh yang diperjualbelikan di tempat pelelangan ikan di Kota Rembang, Jawa Tengah. Pari kikir dan pari kekeh sudah masuk kategori terancam punah oleh IUCN pada 2019. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Kepala Badan Riset Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP Sjarief Widjaja pada momen berbeda mengatakan bahwa dukungan riset Hiu dan Pari akan menjadi kunci dari keberhasilan perlindungan penuh dan aksi konservasi.

Untuk itu, salah satu riset yang sudah dilakukan adalah dengan dengan menelaah dan mendeskripsikan daerah-daerah yang menjadi habitat asuhan Hiu dan Pari seperti di perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 572 yang mencakup perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera, dan Selat Sunda.

“Berdasarkan hasil tangkapan nelayan dan analisis habitat maka, perairan Lampung yang dijadikan area kajian diduga kuat sebagai habitat asuhan atau nursery ground Hiu dan pari,” beber dia.

 

Exit mobile version